Sangsaya

21.1K 2.6K 96
                                    

"Bagaimana tadi ke dokter Jihannya, Ta?" tanya Tuan Soeroso yang duduk di ayunan bersama dengan Grahita. Di sore ini gadis itu menikmati semilir angin di taman rumah sembari menatap kolam renang di depannya.

"Baik, eyang."

Tuan Soeroso hanya mengangguk pelan. Lalu mereka sama-sama menyelami pemikirannya masing-masing. Di sore ini, rumah terasa begitu sangat sepi, hanya Grahita dan sang eyang saja yang ada di rumah. Sementara tantenya, Mila dan omnya, Nakula telah kembali sementara ke Pennsylvania, sedangkan Yosi kini harus mengurus pekerjaannya di Texas. Padahal Yosi tadi pagi masih di rumah. Namun tiba-tiba siang tadi ia harus segera kembali untuk urusan yang mendadak dan sangat penting. Yessy sendiri telah kembali ke Nevada karena ada urusan mendadak kemarin. Mungkin gadis cantik itu akan kembali ke Jakarta jika sudah selesai pekerjaannya.

Berbicara mengenai sang papa, Sadewa, Grahita sementara memilih bungkam. Beberapa kali mereka bertemu dan saling tatap, tetapi hanya kebisuan yang ada di antara mereka. Grahita tak memungkiri ada hal yang mengganjal di hatinya. Dan yang utamanya adalah, Grahita mengakui jika dirinya masih belum bisa berdamai dengan masa lalu maupun dirinya sendiri.

"Dulu eyang selalu berharap kecil tentang kehidupan ini. Bisa menua bersama eyang putri dan melihat kerukunan serta kesuksesan putra-putra eyang. Namun eyang sadar, jika ada harga yang pantas untuk membayar suatu hal," ucap Tuan Soeroso seakan ingin berbagi dengan sang cucu.

"Eyang menganggap bahwa harta adalah segalanya. Menganggap bahwa bisa mengusai seluruh saham yang ada adalah suatu kesuksesan. Namun semakin menua, justru eyang merindukan masa kecil putra-putra eyang. Eyang merindukan masakan sederhana istri eyang yang sangat membekas rasanya."

"Ternyata kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan sekali pun. Bahkan eyang harus menyaksikan  sendiri bagaimana dinginnya rumah ini, bagaimana hampanya istana yang eyang bangun dengan susah payah-

"Eyang sadar jika eyang tidak mengajari putra eyang untuk menghargai sesuatu. Tidak mengajari moral yang baik sehingga kelakuan menyimpang maupun keburukan sudah lumrah terjadi. Eyang salah memanjakannya. Walaupun eyang sudah keras dalam menempa dan menanamkan jiwa pebisnis pada mereka, tetapi tetap saja eyang tak kuasa atas segala hal yang diperbuat oleh mereka."

Tuan Soeroso menghela nafasnya panjang. Laki-laki renta itu lantas menyentuh tangan Grahita pelan. Walaupun Grahita diam, namun gadis itu menyimaknya dengan baik.

"Maaf jika kamu akhirnya menjadi korban atas tindakan kami, Ta. Eyang selalu merasa bersalah kepada semua cucu eyang jika mereka menerima konsekuensi buruk yang dilakukan eyang maupun ayahnya."

"Jika manusia diberi pilihan untuk dirinya lahir dimana, Tata juga nggak ingin lahir di keluarga ini," sahut Grahita pelan namun sangat menusuk hati bagi Tuan Soeroso.

"Namun Tata nggak ada kuasa buat itu. Tata akhirnya menerimanya. Yang Tata harapkan nyatanya berkhianat. Ada banyak memori yang Tata putar ulang dan begitu menyedihkan ternyata. Terlambat memang, tetapi memori bawah sadar sudah terlanjur melekat sempurna, bahkan bayang-bayangnya sudah seperti bayangan Tata sendiri."

Matahari yang bersinar semakin redup cahayanya. Rotasi bumi menyebabkan matahari perlahan pulang ke peraduannya, meninggalkan semburat jingga dan angin sore yang menyapu kulit secara lembut.

"Sekarang Tata berusaha paham bahwa tak ada yang harus disesali sekalipun itu sebuah luka. Tapi ternyata, sulit juga buat melakukannya. Atau Tata saja yang terlalu enggan melakukannya?"

Tuan Soeroso tersenyum tipis. Lalu tangannya menyentuh kepala Grahita dan mengelusnya pelan.

"Harapan eyang hanya satu, kamu bisa bahagia. Lakukan apa yang menurut kamu terbaik, Ta."

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now