Peningal

23.1K 2.6K 63
                                    

"Apa kabar?" 

Grahita lantas menatap laki-laki yang mengenakan seragam PDL lengkap itu. Setelah sempat bertemu di makam tadi, Gandhi mengajak dirinya menepi ke sebuah warung di dekat makam.

"Baik." Ujar gadis itu pelan dengan wajah tanpa ekspresinya, khas Grahita tentunya.

Gandhi terlihat menggaruk belakang kepalanya. Ia bingung harus berkata apa lagi. Ucapannya untuk mengajak Grahita ke warung tersebut adalah refleks.

"Kamu nggak keberatan 'kan saya ajak kemari?"

Grahita menatap sekitarnya. Hanya warung kopi dan gorengan biasa. Ia jarang pergi ke tempat seperti ini. Terakhir ia pergi ke tempat seperti ini adalah ketika diajak oleh salah satu teman SMA-nya untuk membolos pelajaran fisika yang membosankan baginya itu.

Grahita menggeleng pelan, "nggak. No problem. Dimana pun itu, saya nyaman saja."

Gandhi tersenyum tipis. Terakhir kali bertemu dengan gadis di depannya itu adalah seminggu yang lalu. Ketika terakhir kali ia bertemu dengan Grahita, gadis itu masih dilingkupi oleh duka yang mendalam.

"Maafkan saya dan bawahan saya tadi. Saya kira ada penampakan di siang bolong begini."

Gandhi berucap agak canggung. Secara tak langsung ia tadi juga menganggap gadis cantik di depannya itu adalah penampakan dan membuat kegaduhan kecil dikalangan anggotanya.

Grahita lalu tertawa pelan. Tawa yang jarang Gandhi lihat dan itu terlihat menawan. Lalu mengapa Grahita terlihat semakin cantik dan menarik dengan tawa pelannya itu? Padahal ia selalu skeptis dengan perempuan yang menyemir rambutnya, tetapi kali ini ia justru merasa itulah Grahita. Gadis yang menunjukkan bahwa itu dia. Terlepas penampilan gadis itu yang agak berbeda dengan kebanyakan perempuan di luar sana. Namun gadis itu lah yang selalu membuat dirinya merasa aneh dan sering menari-nari di pikirannya.

"Apakah saya sekarang terlihat seperti hantu Belanda?"

Suara Grahita yang khas membuat Ghandi sejenak terdiam. Mengapa terlihat semakin menawan saja? Pikirannya memang sedang eror sekarang!

Ghandi ikut tertawa kecil. "Ah bukan. Saya yang terlalu berlebihan ternyata."

Gandhi tak berani mengakui kecantikan Grahita. Laki-laki itu malah memilih diksi lain untuk menjawabnya. Ia terlalu canggung dengan gadis blasteran itu.

"Oh iya, kamu baik-baik saja kan? Saya mengirimi pesan sehari setelah meninggalnya Oma. Tetapi kamu belum membalasnya sama sekali. Disisi lain saya khawatir terjadi sesuatu padamu, namun disisi lain saya merasa kamu masih butuh waktu dan mungkin sibuk dengan pekerjaan juga."

Ingatkan Gandhi setelah ini untuk memukul pelan mulutnya itu. Ia gemas sendiri dengan mulutnya yang asal berbicara itu. Padahal ia hanya sekedar basa-basi untuk menanyakan kabar saja. Namun ini malah lebih.

Grahita terdiam sejenak. Lalu mengambil gawainya itu.

"Ah iya. Maaf, saya belum sempat menscroll ke bawah pesan-pesan saya. Tetapi saya baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli dengan saya." Ujar gadis itu setelah melihat riwayat chatnya.

Lantas terjadi kecanggungan di antara mereka. Ghandi yang seharusnya kembali ke kesatuan, kini malah terjebak disituasi canggung yang ia buat sendiri.

Sebenarnya Gandhi ke makam sebab salah satu anggota yang meninggal karena sakit sehingga seluruh anggota di kesatuannya melayat dan ternyata bertemu dengan Grahita. Gandhi juga baru sadar jika pemakamannya sama dengan pemakamannya oma Grahita.

Suasana canggung akhirnya pecah ketika salah satu anggota Gandhi datang. Laki-laki berperawakan tinggi dan berkulit sawo matang itu datang dengan santainya.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now