Lawya

20.4K 2.5K 46
                                    

Gandhi menghela nafasnya panjang. Setelah ia mengurus semuanya, kini ia duduk bersama dengan Januar. Mereka duduk di ruang tunggu yang kini mulai sepi.

"Gimana, Jan?"

"Berdasarkan pasal 351 KUHP ayat 2, hukuman paling lama 5 tahun penjara. Itu untuk penganiayaan. Untuk teror yang menjadi bagian dari laporan tadi, masih dalam tahap penyelidikan juga. Berkas dari korban masih dalam tahap proses. Begitupun dari Kepolisian masih memeriksa tersangka."

Gandhi mengangguk. Setelah berada di kantor Polda selama kurang lebih 3 jam bersama Yosi, akhirnya urusannya sementara ini selesai. Laporan diterima dan langsung diproses sesuai dengan prosedur yang ada.

"Gue minta diproses seadil-adilnya, Jan. Gue nggak rela dia hanya dapat hukuman ringan."

Januar yang awalnya menatap depan kini menatap Gandhi. Gandhi adalah teman satu Kontingen Pasukan Garuda yang dipertemukan 5 tahun yang lalu. Dan saat ini mereka masih berkomunikasi dengan baik bahkan bisa dikatakan menjadi sahabat baiknya.

Januar mengangguk, "Gue usahain, Ndi. Gue juga punya istri dan anak perempuan. Jadi melihat kasus kekerasan terhadap perempuan, gue juga merasakan kemarahan buat kaum kita yang sudah menjadi brengs*k."

"Ngomong-ngomong, dia siapa? Pacar lo?"

Gandhi langsung menatap Januar cepat. "Hah?"

Bukannya mengulang pertanyaannya, justru Januar terkekeh pelan sambil menepuk bahu Gandhi pelan. Mungkin benar.

"Bener 'kan itu pacar lo atau nggak minimal kalian deket lah."

Gandhi terdiam sebelum akhirnya tersenyum simpul. "Do'ain aja yang terbaik, Jan."

Januar mengangguk, "Pasti dong. Gue nggak pernah lihat lo sebrutal gitu dalam amarah. Sampai-sampai si bajing*n itu harus dipanggilkan dokter terlebih dahulu."

Memang benar jika Sultan akhirnya ditangani oleh dokter karena tak kunjung sadar. Setelah ditangani oleh dokter, akhirnya laki-laki itu siuman dan langsung diinterogasi oleh pihak berwenang.

"Terima kasih, Jan."

Januar kembali mengangguk, "Kayak ke siapa sih, Ndi. Ini juga tugas gue kok."

Gandhi mengangguk, lalu memilih bangkit dari duduknya. "Gue balik duluan ya. Kalau ada apa-apa hubungi gue."

Januar ikut bangkit dari duduknya. "Siap, Kapt!"

Gandhi terkekeh pelan, "Bisa aja lo. Duluan Jan" ucap Gandhi sambil menepuk bahu Januar.

Setelah itu, Gandhi langsung menuju parkiran. Gandhi harus kembali ke kantor karena ada sesuatu yang harus ia selesaikan terlebih dahulu. Yosi sudah kembali tepat mereka selesai mengurus itu semua. Sementara Gandhi masih berbincang sebentar dengan Januar tentunya.

Di dalam mobil, Gandhi membuang nafasnya panjang. Ia mencengkeram kemudi mobilnya sebentar seraya memikirkan sesuatu sebelum akhirnya memutar kunci dan melajukan mobilnya di jalanan ibukota.

*****

"Mbak,"

"Tuhan marah ya sama aku?"

Yessy yang awalnya membalas pesan sang mama lantas menoleh cepat ke arah adik sepupunya itu. Mereka sekarang bersama di dalam kamar Grahita.

Grahita sekarang duduk dengan kepala menyender kepala ranjang. Pandangannya lurus ke depan. Akhirnya Grahita sudah bisa tenang setelah tadi sebelumnya menangis.

"Tuhan pasti marah karena aku nggak dekat sama Dia,"

Grahita berkata dengan pelan. Pandangannya masih lurus ke dapan menatap jendela yang berada di depannya. Tatapannya begitu kosong.

Aksara Dan SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang