Kaningaya

21.5K 2.4K 49
                                    

Hari ini, Soeroso Pramonoadmodjo sudah diperbolehkan untuk pulang. Penyakit asam urat, kelelahan serta sesak nafas yang beliau derita, kini sering kambuh diusia senjanya. Bahkan setiap minggu, Tuan Soeroso menghabiskan waktunya satu hari untuk kontrol dan berobat demi kesehatannya itu.

Grahita kembali harus menemani eyangnya itu atas permintaan sekaligus permohonan dari sang eyang sendiri. Antara tega tak tega, akhirnya Grahita menuruti kemauan sang eyang dan mengantarkannya pulang dari rumah sakit.

Di antara drama tersebut, terselip drama lain yaitu mobilnya yang tiba-tiba tidak bisa digunakan. Alhasil, Grahita harus menelpon Yessy dan berujung dengan dirinya dijemput oleh supir keluarga.

Dengan ditemani anak cucunya, Tuan Soeroso begitu nampak bahagia. Setelah pulang dari rumah sakit, Tuan Soeroso meminta mereka semua untuk berkumpul di ruang makan.

Grahita duduk diantara Yosi dan Yessy. Sedangkan di depannya ada Agnes, Diana, dan sang ayah. Mereka semua berkumpul layaknya keluarga besar yang sedang mengadakan acara keluarga yang intim. Pemandangan ini nampak tak biasa di keluarga Pramonoadmodjo. Mereka semua sibuk sehingga momen ini nampak luar biasa di mata Tuan Soeroso, ralat, seluruh anggota klan Pramonoadmodjo lebih tepatnya.

"Eyang senang melihat kalian semua berkumpul. Kadang eyang berpikir, apakah eyang harus sekarat dulu baru kalian mau datang ke gubuk ini?"

Lantas semua menatap Tuan Soeroso. Wajah anak tertuanya terlihat kecewa tentunya karena ucapan ayahnya itu ibarat sindiran karena memang mereka jarang bisa berkumpul bersama. Satu tahun sekali ketika lebaran pun hanya bisa dihitung dengan jari berapa lama mereka bisa berkumpul untuk sekedar basa-basi. Mereka lebih sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing sehingga acara keluarga menjadi prioritas yang kesekian. 

Sementara itu, Grahita hanya bisa diam. Ia kira ia tak akan menginjakkan kakinya lagi di sini kecuali benar-benar penting. Namun sekarang justru ia kembali masuk dalam rumah yang tak ia harapkan untuk ia kunjungi.

"Lama sekali eyang tak mendapatkan momen seperti ini. Jika kita berkumpul, pasti minus Tata. Tapi sekarang Tata berada di tengah-tengah kita. Eyang sangat bersyukur. Terima kasih ya Nak, kamu sudah sudi berkumpul dengan kami."

Semua mata tertuju pada Grahita. Sedangkan gadis itu hanya melirik mereka satu-satu, lalu tersenyum ke arah sang eyang. Diana dan Agnes yang sering berbicara kini memilih diam menyimak.

"Sudah sewajarnya kan kita sebagai keluarga?" ucap Grahita.

"Hmm, sepertinya kita lebih baik menyegerakan makan siang. Tak baik menganggurkan makanan lebih lama lagi. Tata tahu rasanya ketika makanan yang sudah lelah dimasak tetapi tak disentuh sama sekali."

Grahita sebenarnya mengalihkan pembicaraan supaya tak terpusat padanya. Ia benci menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Ah iya, kita makan dahulu. Nanti eyang ingin bicara sesuatu dengan kalian."

"Selamat makan."

Lalu mereka semua menikmati makan siang bersama, kecuali Grahita yang memandang kosong selat Solo yang terhidang di depannya itu.

"Dek makan," ucap Yessy mengingatkan pada Grahita yang melamun.

"Ah iya."

Lalu Grahita memakan makan siangnya itu. Tak ada istimewa baginya saat ini. Hanya keheningan dan keresahan yang ada di sana, begitu batin Grahita merasa.

Akhirnya makan siang mereka selesai. Pekerja di sana langsung membersihkan meja dan kini hanya tersisa rasa penasaran tentang ucapan eyang tadi.

"Kalau ayah belum sehat, besok saja ya bicaranya. Nakula nggak mau ambil resiko lebih banyak lagi."

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now