Palar

19.5K 2.5K 98
                                    

Sepuluh bulan kemudian

"Umi... Gandhi bukannya sudah bilang kalau jangan banyak memforsir tenaganya. Umi punya darah tinggi 'kan?"

Umi yang terbaring di brankar rumah sakit hanya bisa terdiam ketika sang putra sulung memberikan pengertian kepadanya. Sekarang Gandhi berada di Surakarta setelah mendengar kabar jika umi masuk rumah sakit. Segera Laki-laki itu mengambil cuti dadakan untuk pulang.

"Toko rame, Ndi. Karyawan umi ada yang cuti melahirkan. Jadinya umi yang harus turun tangan," bela umi. Sedangkan abah yang berada di belakang Gandhi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Istrinya itu memang ada aja alasannya.

"Abah nggak ngontrol pola makan umi?"

Kini gantian Gandhi bertanya pada abah yang berdiri dengan sarung kebesarannya. Maklum, beliau habis shalat ashar di masjid rumah sakit. Gandhi baru datang sekitaran 30 menit yang lalu.

"Abah udah ngontrol, Ndi. Kamu kayak nggak tahu uminya kayak gimana," ujar laki-laki itu dengan tenang.

Sementara itu, umi langsung cemberut. Ternyata suaminya juga tak mau membela dirinya di hadapan putra sulungnya.

"Abah juga yang nggak mau nyariin karyawan sementara di toko. Jadinya umi yang capek."

Kini alasan lain dikeluarkan oleh umi. Sedangkan Asma yang sedang bermain gawai itu menahan tawanya. Batinnya berkata bahwa Perang Bubat babak 2 akan terjadi antara abah dengan uminya.

"Loh abah udah nyariin. Tapi nggak ketemu sesuai dengan kriteria umi. Umi selalu bilang, 'jangan itu abah, umi takut nggak amanah. Jangan itu abah, kasihan masih ada anak kecil. Jangan itu abah, dia janda kembang.' Gimana abah bisa nyariin kalau semua ditolak sama umi?"

Abah berkata dengan menirukan gaya sang istri ketika berbicara. Umi tambah cemberut. Suaminya itu memang tak bisa diajak kompromi sama sekali.

"Abah yang nggak bisa nyari karyawan tho? Bilang aja abah lebih milih tenis sama pak RT ketimbang bantu umi."

"Ya sallam umi... Kenapa tenis sama pak RT dibawa-bawa? Abah juga masih bantu umi. Umi aja yang disuruh makan susahnya minta ampun kayak bocah cilik. Abah kudu piye?"

"Jadi umi bocah cilik?!"

Gandhi memejamkan matanya. Kini justru orang tuanya beradu mulut layaknya bocah. Kepalanya tambah pening rasanya. Lalu tatapannya jatuh pada Asma yang masih menahan tawanya. Langsung saja lelaki itu melotot. Seketika Asma langsung membekap mulutnya.

"Astaghfirullah umi, abah. Kenapa kalian malah berantem? Umi katanya sakit. Kenapa malah marah-marah? Nggak sayang sama kesehatannya?"

"Abah yang mulai loh Le! Umi rasane anyel dipojokin abah," tutur perempuan itu dengan nada kesal.

Gandhi berusaha kalem. "Sudah ya? Kalian jangan berantem lagi. Umi jangan menyalahkan abah juga. Ingat kata dokter, pola makan umi harus dijaga. Nggak boleh capek atau mengabaikan kesehatan."

"Tuh dengerin," sahut abah yang mendapat pelototan sang istri.

Sedangkan abah yang bawaannya santai memilih tertawa kecil dan menggeleng. Lalu ia memilih keluar ruangan. Beliau memilih mencari udara lepas di luar.

"Umi istirahat dulu ya? Kesehatan umi jauh berharga," ucapnya lembut pada perempuan yang telah melahirkannya itu.

Umi mengangguk dan merilekskan tubuhnya. Setelah itu, Gandhi memilih duduk di samping Asma yang tampak sibuk dengan sosial medianya.

Aksara Dan SuaraKde žijí příběhy. Začni objevovat