Pralapa

21.6K 2.4K 60
                                    

Grahita kembali menumpahkan air matanya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia terkesan mudah mengeluarkan air mata dan bersedih. Ia bosan harus menghadapi berbagai masalah hidup yang nyatanya kerap mengiringinya. Belum juga masalah keluarga lenyap, kini muncul Sultan si pemilik cinta di masa lalu yang terobsesi padanya. Ia ingin hidup tenang, namun nyatanya ketenangan itu kian jauh tak terjangkau olehnya.

Grahita hanya bisa terduduk lemah di atas ranjangnya. Setelah meninggalkan Gandhi tadi, ia masuk ke dalam restoran untuk mengambil barangnya dan pulang. Ia bahkan hanya berpamitan pada Riska, padahal biasanya ia berpamitan dengan karyawannya yang lain jika pulang lebih awal.

Mengenai Gandhi, ia tak suka laki-laki itu mengklaim bahwa ia kekasihnya walaupun untuk melindunginya dari Sultan. Ia tahu Sultan. Semakin disulut, akan semakin berkobar apinya. Ia tak ingin memperpanjang urusannya. Namun di lain sisi, ia juga ingin lepas dari jeratan Sultan yang tak kasat mata itu, tetapi mampu membuat dirinya seakan terjebak dengan lingkaran yang dibuat oleh laki-laki bajing*n itu. Mungkin Sultan sudah tidak dengannya, namun laki-laki itu selalu membayanginya. Bukan karena Grahita masih cinta, tetapi ketakutan akan jeratan itulah yang membuat gadis itu trauma.

Lantas Grahita mengambil gawainya yang ia lempar asal di ranjangnya tadi. Ia ingin menelpon Lili. Ia berharap gadis itu sudah tidak sibuk karena sebulan ini Lili sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan di hari pembukaan restorannya, Lili sedang berada di Jepang.

Jemarinya hendak mencari nama Lili, namun nama Gandhi-lah yang terlihat jelas di layar gawainya. Grahita ingin melewatinya, namun ia juga sudah berjanji akan melihat pesan laki-laki itu, tempo lalu.

"Maafkan saya yang sudah lancang mengklaim kamu sebagai pacar saya. Saya melakukan hal ini karena saya tahu laki-laki itu sangat berbahaya buat kamu. Saya hanya berharap kamu bisa aman setelah saya klaim sebagai kekasih saya. Namun sayang, ternyata saya telah lancang kepada kamu. Saya minta maaf Grahita."

Grahita menghembuskan nafasnya panjang setelah itu. Ia kembali meletakkan gawainya di sampingnya.

Grahita semakin tak tahu dengan apa yang ia lakukan setelah ini. Dunianya mendadak seperti panca rasa. Semuanya bercampur hingga ia muak rasanya. Dari hal yang tak pernah ia sangka, mendadak semuanya terjadi di dalam hidupnya. Padahal Grahita hanya berharap setelah kembali ke Indonesia, ia bisa hidup dengan caranya sendiri. Ia bisa menikmati hidup bersama sang oma dan restoran yang baru dilirisnya. Namun ternyata, belum sempat restoran jadi, oma sudah pulang dan menemui opanya. Ia lelah merangkai hidup sesuai impiannya jika semuanya luluh lantak termakan takdirnya sendiri.

Lalu Grahita mengambil gawainya kembali yang sempat ia letakkan di sampingnya itu. Ia mantap untuk menghubungi Lili. Ia berharap gadis itu memiliki waktu luang.

Grahita menggigit bibir bawahnya. Keadaan kamar yang gelap dan tirai jendela yang masih terbuka dengan berterangkan lampu teras, menambah suasana muram. Hingga pukul 12 malam ini, gadis itu masih terjaga dengan perasaan yang tak terdefinisikan.

"Halo, Ta."

"Li," ucap Grahita pelan.

"Are you okay?" tanya Lili di seberang. Perasaan gadis itu mendadak tak enak terhadap keadaan Grahita.

"So bad," jawab Grahita lirih.

"Ta, gue ke sana ya?"

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now