Abhipraya

20.4K 2.5K 112
                                    

Grahita terdiam menatap sang papa yang sama diamnya. Setelah seminggu dari kejadian tersebut, Sadewa akhirnya membuat pertemuan dengan sang putri.

"Maaf jika kemarin membuatmu marah besar," ucap laki-laki itu pelan. Sadewa masih enggan menatap sang putri karena malu dan rasa bersalahnya.

"Nggak seharusnya Diana seperti itu. Papa yang salah dengan tidak memberikan dia teladan yang baik."

Grahita diam sembari menatap restoran mewah yang berada di Jakarta Pusat itu. Tiba-tiba dirinya diminta untuk datang. Awalnya ia hendak menolak, namun membaca pesan dari sang papa yang sarat dengan nada pesimis itu, membuat sisi welas asih seorang perempuan yang berada di diri Grahita muncul.

"Papa sudah menceraikannya."

Kalimat yang barusan diucapkan oleh lelaki di depannya itu mampu membuat Grahita menatap Sadewa cepat. Hal itu terlalu membuat dirinya kaget. Setahu dirinya ketika tinggal di rumah eyangnya, ia jarang mendengar pertengkaran mereka. Hal ini karena Sadewa juga jarang di rumah, begitu pun Diana yang lebih suka keluar untuk belanja atau sekedar acara sosialita yang banyak menghabiskan uang.

"Is this because of me?"

Sadewa menggeleng. "Dari awal hubungan kita tidak sehat. Kita hanya mementingkan kebutuhan pribadi, tanpa adanya cinta. Mungkin orang lain melihat papa mencintai Diana, itu hanya omong kosong. Semua itu hanya sandiwara."

Grahita tersenyum miring. Begitu menyeramkan hidup dalam lingkaran munafik.

"Lalu setiap saya mendapat intimidasi dari perempuan itu dan papa tahu, why you choose to be quite? This is very confusing and it's all like a joke."

Grahita tertawa mengejek. Namun tersirat sebuah kesedihan di sana. Ia sedih karena harus menghadapi orang yang menurutnya memuakkan, sekalipun adalah papanya sendiri.

"Maaf,"

Hanya kata itu yang mampu Sadewa ucapkan. Ia tak berdaya sekarang.

Grahita menghembuskan napasnya kasar. Lalu ia menegakkan cara duduknya dan melipat tangannya di depan dada.

"Jika papa hanya meminta maaf, lebih baik saya pulang karena sudah malam."

Memang sekarang sudah pukul 10 malam. Namun restoran ini baru ramai-ramainya. Restoran yang mereka gunakan saat ini adalah restoran yang banyak digunakan pesta hingga larut malam.

"Jangan, papa mohon," cegah Sadewa segera.

Beberapa detik kemudian, pesanan mereka datang. Grahita sebelumnya hanya memesan Beef Tenderloin Salad. Gadis itu tak minat dengan menu yang ditawarkan. Bukan karena tak suka, tetapi karena keadaan yang ada. Mungkin jika suasana hatinya bagus, ia tak ragu untuk mencicipi berbagai makanan di sini.

"Kita makan dulu. Setelah itu, papa ingin bicara sama kamu."

Grahita menatap sang papa tanpa ekspresi. Setelah itu, mereka memilih memakan makanan yang mereka pesan.

"Papa bingung memulai dari mana," ujar lelaki itu pelan setelah mereka sama-sama telah menyelesaikan makanannya.

"Yang pasti, papa bingung harus berbuat apa. Papa terlanjur tak punya nyali untuk sekedar menyapamu. Papa diam bukan berarti papa tidak peduli sama kamu. Papa sudah kepalang malu dan tak punya muka untuk sekedar memberi perhatian ke kamu. Papa sadar jika tindakan papa sangat buruk bahkan papa pantas disebut pria brengsek." Sadewa berkata dengan tatapan mata jatuh. Ia sedih rasanya. Perasaannya hancur harus berhadapan dengan sang putri.

"Papa sadar jika semua ini salah papa. Papa yang menelantarkan kalian. Papa yang memilih wanita lain dan menjauh darimu. Papa ingin mendekat, namun papa takut justru tambah melukai perasaanmu. Sudah banyak kekecewaan yang menumpuk di hatimu akibat ulah papa,"

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now