Kawur

20.7K 2.5K 32
                                    

Grahita kini terdampar di salah satu rumah sakit terlengkap di Jakarta. Gadis itu baru mendapat kabar jika eyangnya kolaps sehingga ia segera ke rumah sakit. Secuek-cueknya dirinya, ia juga masih peduli dengan eyangnya, apalagi eyang menanyakan dirinya semenjak sadar dari pingsannya.

Sedari tadi pula, tangan kanannya digenggam terus oleh tangan renta milik Tuan Soeroso. Grahita hanya diam karena ia juga tak tahu apa yang bisa ia lakukan sekarang.

"Eyang kangen banget sama kamu, Ta. Apa eyang harus sakit dulu biar kamu datang mengunjungi eyang? Kalau begitu, eyang rela sakit biar kamu peduli sama eyang."

"Ck! Apaan sih eyang! Tata nggak suka eyang bilang kayak gitu," sahut Grahita cepat.

Perlahan Tuan Soeroso tersenyum kecil. Ternyata Grahita kecilnya masih punya empati walaupun mungkin kecil. Namun setidaknya, hati Grahita tak mati untuknya.

"Maafkan eyang ya, Ta?"

Grahita yang awalnya menatap ke depan kini menatap sang eyang. "Sudah ya? Grahita nggak mau denger kata maaf lagi."

"Sakit," lirih Grahita pelan dengan raut wajah datar.

Lalu tangan eyang menggapai wajah ayu sang cucu. "Kamu sudah terlalu banyak menerima sakit dari Pramonoadmodjo. Mana mungkin eyang melupakanya begitu saja. Kata maaf pun nyatanya nggak bisa nyembuhin sakit hatimu, Ta."

"Eyang tahu rasanya sakit hati yang kamu terima. Eyang pernah diposisimu. Hidup dalam keluarga yang hancur. Figur ayah yang seharusnya eyang dapatkan sebagai hak anak, nyatanya lenyap. Ibu? Ibu memilih menikah dengan orang lain. Rasanya ketika melihat kamu, eyang juga melihat diri eyang di masa lalu. Lalu eyang memilih kerja keras demi menjadi orang sukses dan membungkam mulut-mulut jahat yang sudah menghina eyang. Dan disaat eyang berada di puncak kesuksesan, ayahmu justru-"

"Ayah?"

Grahita dan Tuan Soeroso langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki bertubuh tinggi, wajahnya mirip dengan Sadewa tetapi lebih terlihat matang.

"Nakula?"

Lantas laki-laki yang bernama Nakula itu mendekat dan memeluk sang ayah cepat.

"Maaf, ayah," lirih laki-laki itu.

Mereka berpelukan layaknya dua orang yang terpisah lama. Ada kerinduan di sana, namun ada juga kekecewaan yang tertinggal di antara mereka.

"Maaf, saya baru bisa menjenguk ayah sekarang," ujar laki-laki bernama Nakula itu.

Tuan Soeroso tak menjawab dan memilih tersenyum tipis di antara wajah tuanya. Beliau hanya memandang wajah putra sulungnya itu lamat-lamat.

"Grahita?"

Grahita tersenyum tipis dan bangkit dari duduknya. Lalu ia mencium punggung tangan omnya itu.

"Bagaimana kabarmu Nak? Lama om nggak lihat kamu? Kamu semakin cantik saja."

"Baik Om. Saya juga baru kembali dari Prancis. Lama tidak melihat Om," ujar gadis itu kembali dnegan kalimat yang cenderung mempertanyakan eksistensi dari laki-laki di depannya itu.

"Om jarang pulang ke Indonesia, Ta. Bisnis di Amerika saja cukup membuat om lelah dan tidak punya waktu."

Kembali Grahita tersenyum polos. Lalu ia memilih menggelengkan kepalanya.

"Kalian memang klan sejati Pramonoadmodjo yang sangat pekerja keras. Baik, Grahita keluar dulu ya Om? Om bisa lanjut berbincang dengan eyang."

"Eyang? Tata keluar dulu ya?" ujar Grahita sopan. Tuan Soeroso mengangguk cepat. Lalu Grahita langsung keluar dari ruangan inap sang eyang.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now