Samagata

20.2K 2.5K 80
                                    

Grahita menatap dirinya di depan cermin. Gadis itu menatap wajah polos tanpa make upnya. Wajah tirusnya begitu kentara. Berat badannya terus turun semenjak ia di Indonesia. Mungkin setelah ini ia harus menaikkan berat badannya supaya terlihat ideal.

Tangan kanannya kemudian mengambil pelembab yang mungkin jadi andalannya ketika hendak berpergian dan mengoleskannya perlahan. Gadis itu lalu menyapu pelan wajahnya dengan bedak tipis-tipis. Setelah itu, Grahita mengambil blush on dan menggunakannya tipis-tipis agar tidak terlihat pucat. Setelah itu, ia mengambil eye shadow agar lebih berwarna. Terakhir ia menggunakan lip cream berwarna pink muda. Warnanya sangat kalem dan natural hingga mungkin terlihat tak memakai apa-apa jika berada di bibir Grahita yang pink alami itu.

Grahita tersenyum pada dirinya di depan cermin. Ia merasa dirinya cantik tentunya. Bukan maksud narsis, namun ia lebih menghargai dirinya yang mampu bertahan hingga sekarang. Ia cantik, supaya ia bisa bersyukur dengan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Terkadang di balik wajahnya yang cantik, masih ada segelintir orang yang menganggap dirinya pucat seperti mayat. Bahkan masih ada yang menyebutnya 'cungkring' karena badannya yang kurus. Padahal ia merasa bahwa setiap perempuan itu cantik dengan ciri khasnya. Menurutnya cantik adalah relatif. Cantik versinya adalah bagaimana seorang perempuan bisa menerima apa yang dimilikinya. Seorang perempuan juga harus percaya diri dengan dirinya sendiri. Tak pantas juga jika sesama menusia saling memberikan komentar buruk, apalagi sekarang banyak sesama perempuan yang justru saling menjatuhkan.

Sementara itu, Gandhi melangkahkan kakinya ke pos portal yang berada di pintu masuk Batalyon. Laki-laki itu hendak mengambil flashdisk yang tertinggal di sana. Ia kembali harus bertemu dengan Lettu Nohan, si bujang yang bucin.

"Wah Kapten rapi sekali. Mau kemana Kapt?" tanya Nohan yang kebetulan baru keluar dari ruangan yang berada di dalam pos tersebut.

"Kondangan,"

Nohan tersenyum, "Kapan Kapten yang dikondangin? Perasaan kondangan mulu dari dulu," kelakarnya yang langsung membuat anggota di sana ikut tertawa. Sementara Gandhi sudah menatap Nohan dengan kesal.

"Nggak usah sok bijak dan bertanya kalau masih belum bisa move on dari mantan," ucap Gandhi sambil berlalu. Sedangkan Nohan menatap kasuhnya itu tak percaya.

Nohan hanya bisa pasrah. Mana mungkin ia marah pada Gandhi? Yang ada dia dihadiahi sikap tobat seharian penuh di lapangan Batalyon sambil menjadi tontonan anggota lain. Lagipula apa yang Gandhi katakan benar, ia belum bisa move on dari sang mantan yang memilih mengejar pendidikannya ke Austria. Hubungan mereka sebenarnya bisa dipertahankan, namun karena suatu hal yang hanya diketahui oleh mereka berdua, akhirnya mereka memilih mengakhirinya. Nohan memang bucin, setidaknya pada satu wanita yang setia menemani dan mendukungnya sejak zaman SMA.

Meninggalkan masalah Nohan dan gagal move onnya, Gandhi yang sudah rapi dengan kemeja berwarna putih serta celana abu-abunya itu kini sedang menuju rumah Grahita alias rumah eyang gadis itu. Laki-laki itu menjemput Grahita pukul 1 siang karena acara akan dilaksanakan pukul 2 siang.

Sebenarnya acara yang dilaksanakan di weekend ini adalah acara privat yang dihadiri beberapa orang saja. Ibaratnya pesta untuk teman terdekat.

Seperti sudah biasa, Gandhi yang sudah sampai di depan gerbang tinggi itu langsung dibukakan dan masuk ke dalam rumah besar yang ditempati Grahita. Laki-laki itu sudah kenal baik dengan penjaga di depan.

Gandhi turun dari mobil dan langsung berjalan menuju teras depan. Namun ia melihat seorang laki-laki yang berdiri di sana sambil menatap ke arah dirinya. Ia seperti familiar dengan wajah tersebut. Namun Gandhi tetap berusaha sopan dan memberikan salam serta mencium punggung tangan kanannya.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now