Asta

23K 2.7K 125
                                    

Setelah seminggu kematian sang oma, Grahita akhirnya keluar rumah. Sebelumnya, gadis itu memilih untuk mengurung di rumah dan menepi dalam kedukaannya. Untuk masalah makan dan sebagainya, ia minta bantuan orang yang pernah bekerja di rumah oma.  Selama di rumah, Grahita hanya melakukan kegiatan seperti memasak, membaca buku, menonton televisi, dan kembali bersedih ketika malam hari seusai pengajian sang oma digelar. Namun setelah 7 hari pasca kematian oma, sedikit demi sedikit Grahita bisa menerima takdir yang menimpanya itu.

Seperti saat ini, Grahita berada di kantor managemen Dirga. Gadis itu datang dengan mengenakan kemeja hitam dan rok panjang hitam pula. Untung saja ia memakai bando berwarna biru laut sehingga tak terkesan membawa duka yang mendalam. Namun begitu, Grahita tetap masih merasa sedih dan berduka.

"Yakin lo mau keluar Ta?" tanya Dirga tak yakin dengan perempuan cantik berambut pirang itu.

Grahita mengangguk yakin. "Iya Ga. Gue mau mengundurkan diri dari restoran lo. Gue sudah banyak cuti dan mengabaikan pekerjaan gue. Gue merasa bersalah sama lo, Ga. Tapi gue janji kok bakal cariin pengganti gue nanti."

Dirga menghela nafasnya. Menatap surat pengunduran diri Grahita, entah mengapa membuat dirinya tak bersemangat.

"Ta, gue nggak berharap lo jadi disiplin Ta. Gue juga paham lo yang akhir-akhir ini terkena musibah." Ujar Dirga yang seakan tak rela bila Grahita mengundurkan diri dari head chef.

Grahita kembali menggeleng, "pardon me, gue bener-bener minta maaf ke lo. Selama 3 bulan ini gue belum bisa maksimal kerja di tempat lo, Ga. Gue juga masih mengurusi restoran gue yang baru merintis ini. Daripada gue telantarin tugas gue, lebih baik gue mundur dan gue cari pengganti untuk chef di restoran lo. Sekali lagi gue minta maaf ya, Ga. Gue harap lo mengerti gue."

Dirga menghela nafasnya panjang. Lalu laki-laki itu mengangguk, "iya Ta, gue paham kok. Kalau ini memang jadi keputusan lo, gue bisa apa? Yang terpenting juga kenyamanan lo. Gue berharap lo bisa main-main ke dapur gue lagi. Pasti yang lain kangen lo."

Grahita tergelak pelan. Anak-anak dapur di restoran Dirga memang menyenangkan dan sudah membuat Grahita nyaman. Namun karena berbagai hal, Grahita memutuskan untuk keluar dari posisinya sekarang.

"Pasti. Gue juga kangen sama panci harga 10 juta lo yang dibeli di Ausie." Ujar Grahita mengungkit benda di dapur yang paling legend.

Dirga tergelak dengan guyonan yang kerap kali dilontarkan oleh anak dapur. Mereka sering membuat jokes mengenai harga-harga alat dapur yang rata-rata memiliki harga tinggi itu. Namun yang paling legend adalah panci tersebut.

"Masih aja lo bahas panci butut itu." Ujar Dirga.

"Gila lo bilang butut! Panci di dapur gue aja cuma 200 ribu aja. Itupun sudah 7 tahun yang lalu, mungkin."

Dasarannya Dirga yang memang tak peduli dengan harga-harga alatnya di dapur, semuanya dianggap wajar. Berbeda dengan Grahita yang sangat paham dengan dunia perdapuran. Ia tipe yang enggan membeli barang mewah jika benar-benar tak diperlukan.

Dirga tertawa. "Kan semua juga buat restoran Ta. Gue aja kali ya punya restoran, tapi bukan basic chef atau dunia kuliner. Gue justru lulusan Teknik Sipil. Nggak nyambung banget. Mending kalau lulusan ekonomi."

Grahita tergelak pelan. "Tapi kan lo main banget di bisnis. Emang sih, keluarga lo basic pengusaha. Jadi nggak ada yang nggak mungkin, Ga."

Dirga tertawa pelan. "Justru gue merasa tertekan ndul. Gue merasa kalau ada tuntutan kuat di pundak gue. Gue ada beban moral kalau gue nggak bisa meraih sukses seperti bokap dan kakek gue."

Aksara Dan SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang