Wiyoga

19.6K 2.4K 58
                                    

Marcella menggelengkan kepalanya keras, "Tidak Nak, mama mohon. Ini adalah sisi yang ingin mama ceritakan ke kamu. Bahkan oma dan opa enggan menceritakan kepadamu sebelum waktunya tiba."

Marcella lalu menatap ke depan lurus, seakan menerawang kejadian yang menimpanya puluhan tahun yang lalu. Mungkin ini memang menyakitkan untuk digali kembali, namun hal ini harus ia lakukan untuk menjawab alasan rasa kecewa sang putri. Begitulah harapannya.

"Kamu pasti paham dengan keadaan mama dulu. Mama melahirkan kamu diusia 19 tahun. Sebuah usia yang menurut mama sangat muda untuk menjadi seorang ibu. Tetapi dulu mama menganggap itu hal wajar."

Marcella menghela nafasnya kembali. Ia bagai merangkai mosaik yang telah lama ia simpan dalam-dalam. Ia seperti menggali sebuah memori pahit yang lama ia bawa bersama nafasnya.

"Mama adalah teman satu kelas papamu selama 3 tahun di SMU. Kami dekat hingga pacaran. Singkat cerita, opamu tidak suka dengan mama yang pacaran. Opa ingin mama fokus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun mama keras kepala dan menganggap bahwa opa terlalu mengekang. Mama tetap saja melanggar aturannya hingga nilai sekolah mama turun gara-gara terlalu asik merajut cinta ala remaja. Disitulah kemarahan opa tercipta ketika mengetahui jika mama tetap pacaran."

Marcella lalu meringis. Ia merutuki dirinya yang sebegitu buta akan cinta dan mengabaikan nasihat orang tuanya.

"Sampai ketika opa marah karena mengetahui mama membolos sekolah demi berkencan. Padahal mama harus mempersiapkan diri untuk study lanjut ke Belanda, tempat keluarga opamu berada, Nak,"

"Opa langsung marah besar dan mengancam akan memisahkan kami. Namun dengan beraninya, papamu menjamin hidup mama. Papamu bahkan akan menikahi mama setelah lulus SMA supaya mama tidak terkekang lagi oleh opamu. Waktu itu mama menganggap papamu bagai pahlawan dan mencintai mama begitu dalamnya. Mama memaksa untuk menikah muda, padahal oma dan opamu melarang keras. Tetapi mama tetap keras kepala hingga opa dan omamu menyerah. Mereka akhirnya menyetujui pernikahan kami. Kami menikah setelah ujian kelulusan."

Grahita menghela nafasnya dalam. Ia merasa jika dirinya tercipta dari keegoisan orang tuanya.

"Waktu itu mama sangat senang. Mama bisa hidup dengan laki-laki yang mama cintai. Mama bisa merajut harapan mama yang indah. Mama juga beruntung bisa mendapatkan papamu karena papamu juga menjamin pendidikan mama hingga lulus. Mama waktu itu menganggap bahwa ini privilege mama karena menjadi bagian dari Pramonoadmodjo. Hidup mama terjamin walaupun nikah muda. Itulah bodohnya mama waktu itu,"

"Awal-awal pernikahan, mama sangat bahagia. Papamu yang romantis dan tak pernah kasar. Hingga kita masuk ke perguruan tinggi yang sama. Waktu itu mama mengambil konsentrasi peternakan, sedangkan papamu ekonomi bisnis. Perjalanan cinta yang indah semasa mahasiswa baru sempat mama cicipi. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya berubah. Kami menjadi sibuk dengan tugas dan kegiatan masing-masing. Papamu yang awalnya peduli mendadak tak ada waktu untuk mama. Mama seperti dicampakkan. Kita sering beradu mulut hingga bertengkar untuk hal-hal yang kecil. Mama merasa bahwa papamu mengingkari janjinya. Bahkan untuk sekedar menghabiskan weekend bersama pun jarang dilakukan. Papamu memilih pergi dengan teman-temannya. Mama disitu merasa terabaikan. Entah mama yang tak tahu sifat asli papamu atau memang papamu sudah mengingkari janjinya sendiri. Rumah tangga mama waktu itu juga mengalami pasang surut yang cukup menguras emosi."

Marcella tersenyum getir di akhir kalimatnya. lalu ia bersiap untuk melanjutkan kisahnya itu.

"Hingga akhirnya mama dinyatakan hamil. Mama hamil kamu saat semeter satu akhir menjelang ujian. Mama ingat mama menangis di toilet kampus karena mual yang terasa menyakitkan, padahal mama harus ujian lisan,"

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now