Nisita

19.7K 2.4K 68
                                    

Tak terasa sudah 2 bulan Grahita berada di Belanda. Gadis itu menikmati perannya yang menjadi pengajar sementara serta memantau restoran lewat Riska dan Yosi.

Komunikasi antara Gandhi dan Grahita pun berjalan lancar walau tidak setiap saat mereka saling memberi kabar. Paling hanya memberi kabar ketika sudah longgar. Apalagi waktu antara Indonesia dan Belanda tidak sama. Jika di Belanda pagi, di Indonesia bagian barat sudah siang.

Hari ini hari minggu. Grahita memilih berdiam diri di rumah dibandingkan pergi. Biasanya jika libur, Grahita bisa jalan-jalan ke berbagai tempat di Belanda atau berkunjung ke rumah saudara. Namun kali ini ia tidak pergi. Grahita memilih memasak telur balado dan beberapa makanan Indonesia yang akan ia bagi dengan bibi Emine.

Tepat ketika mematikan kompor, bel rumah berbunyi. Gadis itu segera membukakan pintu rumah.

Grahita sempat tersentak sepersekian detik ketika seorang pria berusia 45 tahunan itu berdiri di depan rumahnya. Namun selanjutnya gadis segera sadar dan langsung mempersilahkan sang papa untuk masuk.

"Maaf tidak memberitahu kamu kalau papa datang ke sini."

Grahita mengangguk. Lalu gadis itu mempersilahkan sang papa untuk duduk.

"Sebentar, Tata mau ambil minum dulu," ujar gadis itu dan langsung pergi ke dapur.

Tak lama kemudian, Grahita membawa dua cangkir teh dan kue kering yang diletakkan di dalam toples kaca mini. Gadis itu duduk di single sofa, sedangkan sang papa di sofa panjang yang langsung menghadap ke perapian.

Mereka tampak diam. Sadewa belum mengeluarkan suaranya. Sedangkan Grahita menunggu sang papa untuk berbicara terlebih dahulu.

"Maaf jika papa mengganggu waktu liburmu," ucap Sadewa kemudian. Laki-laki itu tampak duduk dengan posisi canggung.

Sementara itu, Grahita berusaha bersikap santai. Ia masih terkejut dengan kedatangan Sadewa.

Grahita mengangguk pelan. "No problem. Tata memang sedang di rumah," ujarnya dengan berusaha bersikap tenang.

"Perjalanan bisnis?" tanya Grahita kemudian. Mungkin saja papanya sedang perjalanan bisnis dan mampir ke sini.

"Niet, papa sengaja datang ke sini."

Grahita menaikkan alisnya kaget. Ia tak percaya dengan pengakuan papanya ini. Namun setelah melihat pancaran matanya yang jujur, membuat gadis itu perlahan percaya.

"Tindakan papa ini belum sebanding dengan tindakan papa di masa lalu. Papa memang sengaja datang ke Belanda hanya untuk menemui kamu, tidak ada unsur bisnis sama sekali."

"Ini ceritanya papa mau menebus kesalahan papa yang dulu?" tanya gadis itu kemudian dengan nada santainya. Ia hanya ingin bertanya. Namun tetap saja, nada bicara gadis itu terkesan mengintimidasi.

Sadewa tersenyum dan mengangguk. "Bahkan tindakan papa ini belum berarti apa-apa. Papa masih banyak kurangnya ke kamu. Papa masih banyak salahnya ke kamu. Jadi, papa hanya bisa melakukan apa yang papa pikirkan itu benar untuk kebaikan. Maaf, papa terlambat bertindak untuk memperbaiki hubungan dengan kamu, Ta." Lalu pandangan Sadewa menurun.

Bibir Grahita berkedut pelan. "Memang terlambat."

"Tapi Tata menghargai usaha papa kali ini."

Ucapan Grahita barusan membuat Sadewa menatap Grahita cepat. Ia tak menyangka sang putri bisa sedikit menerimanya. Ia kira Grahita akan memberikan tatapan sinis dan tak menerimanya.

Perlahan Sadewa tersenyum menatap sang putri yang juga menatapnya. Ia bahagia hanya dengan kata menghargai yang terlontar dari bibir Grahita. Baginya ini suatu hal yang melegakan hatinya.

Aksara Dan SuaraOù les histoires vivent. Découvrez maintenant