Sakanti

20.1K 2.5K 81
                                    

Gandhi mengusap wajahnya pelan kala ia selesai dengan urusannya. Sekarang dirinya sedang berada di Surakarta karena keluarga besarnya mengadakan acara memperingati 1000 hari wafatnya mbah buyutnya. Laki-laki itu langsung izin sebelum uminya mengeluarkan dalil andalannya. Ia baru bisa menghadiri acara semacam ini setelah kemarin-kemarin tak sempat. Daripada kultum umi mampir terlebih dahulu, Gandhi memilih mengalah dengan mengambil cutinya untuk pulang ke Surakarta walaupun setelah sampai, ia tetap mendapat kultum wajib.

Tadi setelah acara selesai, umi kembali memberikan ceramah kepada dirinya. Ia kerap kali mendapat sasaran ceramah semenjak gagal menikah beberapa tahun yang lalu. Umi seakan takut jika putranya merasa trauma terhadap perempuan sehingga enggan menikah. Padahal, Gandhi merasa jika ini belum waktunya untuk bersama dengan sang jodoh.

"Om, Om, keretanya mau berangkat ke Stasiun Senen yak? Tut, tut, tut,"

Seorang bocah laki-laki mengajak Gandhi untuk bermain kereta yang sudah dirangkai di lantai dengan mainan lainnya. Tak lama kemudian seorang bocah perempuan datang membawa boneka barbienya.

"Om Ndi, barbienya nangis, titip dulu ya, Lala mau ambil susunya."

Begitulah celetukan para keponakan yang berkumpul di rumahnya saat ini. Para keponakan yang jumlahnya banyak itu selalu antusias ketika omnya datang, salah satunya Gandhi. Bahkan di suasana seperti ini, para bocah itu tetap bermain di ruang tengah rumah yang lumayan luas itu. Sementara para orang tua berada di depan karena ada acara keluarga di sana.

Acara haul sudah dilaksanakan tadi malam. Sedangkan pagi ini baru acara kumpul keluarga besar. Gandhi berangkat dari Jakarta jumat fajar dan sampai Surakarta jumat sore. Malamnya laki-laki itu langsung ikut acara haul dan tentunya amat melelahkan setelah seharian menyetir. Memang Gandhi bisa cuti, namun hanya hari jumat saja karena dadakan juga.

"Om mau ke depan ya? Nanti main lagi," ujar pria itu karena dirasa cukup menemani mereka bermain. Bila tak mau, salah satu dari mereka merajuk dan menangis. Makanya Gandhi meminta izin terlebih dahulu.

Mereka mengangguk, lalu Gandhi bangkit dan berjalan menuju depan. Syukurlah ia tak disandera mereka.

"Aku heran, Ndi. Kenapa bocah-bocah kui seneng ketika kamu pulang?"

Salah satu dari sepupunya berceletuk karena anaknya juga senang jika Gandhi datang. Sementara Gandhi hanya terkekeh pelan.

Mereka suka dengan Gandhi karena laki-laki itu sabar menghadapi anak kecil. Gandhi juga mau diajak bermain, entah mobil-mobilan sampai boneka. Mereka semua betah dan mengajak omnya itu untuk bermain bersama.

"Dia 'kan sabar Mas sama anak-anak. Coba Mas sendiri yang main mereka, pasti nggak sabar. Mas Gandhi emang paling sabar menghadapi mereka, aku aja kadang gregeten sama bocah," sahut Asma, sang adik bungsu. Asma mengakui sifat sabar dan ke-bapak-an Gandhi.

"Dih aku sabar juga loh," sahut laki-laki yang merupakan sepupu Gandhi itu.

Tiba-tiba mereka dihampiri oleh salah satu pakdhenya. Hal ini karena melihat Gandhi yang jarang berada di rumah.

"Loh Ndi, suwe gak ketemu kuwe. Kapan balik nang Solo?" (Lho Ndi, lama nggak bertemu kamu. Kapan kamu balik ke Solo?)

"Kalawingi sonten, Pakdhe," jawabnya pada seorang laki-laki yang merupakan saudaranya. Ia balas menjawab menggunakan bahasa Jawa inggil ketika pakdhenya itu mengenakan bahasa Jawa. (Kemarin sore, Pakdhe)

"Piye kabare? Sehat-sehat tho?" (Gimana kabarnya? Sehat-sehat 'kan?)

"Nggih Pakdhe. Alhamdulillah kula diparingi kesarasan. Panjenengan pripun?" tanya Gandhi dengan sopan layaknya unggah-ungguh anak muda ke orang yang lebih tua. (Iya Pakdhe. Alhamdulillah saya diberi kesehatan. Pakdhe gimana?)

Aksara Dan SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang