Balun

20.1K 2.5K 175
                                    

Grahita kembali berpikir, kapan terakhir kali menginjakkan kaki di tempat ini? Yang ia ingat adalah ketika menjemput eyangnya dulu. Dan sekarang? Sama saja, duduk sambil berharap pria lansia itu bangun dari pingsannya setelah kembali drop dan penyakit darah tingginya kambuh.

Baru saja. Baru saja ia menjalani hidup tanpa rasa tertekan dan bebas, namun kembali lagi ia ditarik ke dalam lingkaran yang sama. Lingkaran yang ia hindari namun menjadi bagian dari hidupnya.

'Eyang kangen kamu, Ta. Sudah seminggu ini kamu kembali ke rumah lama. Eyang merasa kurang dan tak nafsu makan. Bahkan eyang berharap kamu selamanya di sana. Eyang begitu menyayangimu. Kuakui, kau adalah cucu tersayangnya.'

Grahita hanya mampu menghela napasnya berat. Ucapan Yosi barusan membuat dirinya kembali larut dalam pikirannya. Apakah keputusannya ini benar apa salah? Ia hanya ingin menjalani hidup dengan caranya sendiri. Namun apakah dia bijak?

"Bang, itu bukan tempatku. Aku hanya singgah sementara. Kamu tahu kalau aku nggak bisa ninggalin hal yang amat berharga bagiku walaupun rumah itu juga menyimpan hal kelam."

Rumah sederhana yang memiliki sejarah panjang itu adalah bagian dari napas Grahita. Walaupun pernah menyimpan catatan kelam, namun Grahita tetap nyaman di sana. Demi menghilangkan masa kelam itu, ia rela mengubah tatanan ruangnya. Grahita mengubah total tata letak ruangan yang menjadi saksi dirinya dalam masa terpuruk.

Yosi terdiam. Ia juga tak bisa menyalahkan siapapun. Grahita berhak memilih. Lagipula, mereka yang terlambat. Andai dulu mereka cepat sadar, mungkin keadaannya tak seperti sekarang, runyam dan pelik. Apalagi ditambah bumbu drama yang berkepanjangan. Melelahkan dan menguras emosi.

Mata lelah itu kemudian menatap seorang perempuan cantik dengan balutan dress di bawah lutut berwarna pastel. "Mbak, aku tahu kalian belum makan malam. Mbak Zoya makan malam dulu aja nggak apa-apa bareng Bang Yos."

"Aku akan tetap di sini," pungkas Grahita untuk mengikis kekhawatiran Yosi. Lalu mereka berdua keluar dari ruangan inap kelas ekslusif ini.

Grahita lelah sebenarnya. Ia baru pulang dari restoran setelah diberitahu jika sang eyang masuk rumah sakit. Gadis itu segera pamit lebih awal dan pergi ke rumah sakit. Beberapa minggu ini ia tambah sibuk dengan pekerjaannya. Restoran sedang sibuk-sibuknya dan diisi dengan dirinya yang kerap kali mendapat undangan menjadi juri di kompetisi memasak ibu-ibu.

"Ta,"

Grahita yang sedang melamun langsung tersentak ketika panggilan lirih nan berat itu terdengar. Segera ia mendekat ke arah sang eyang. Lalu ia menekan nurce call.

Seorang dokter masuk dan tersenyum ramah padanya. Lalu gadis itu memberi ruang bagi dokter untuk memeriksa eyangnya.

"Bapak jangan banyak mikir yang berat dulu ya? Kontrol juga gula darahnya," ucap dokter itu setelah memastikan keadaan sang eyang.

Lalu pandangan dokter laki-laki yang berumur sekitar lima puluh tahunan itu mengarah ke Grahita.

"Saya cucunya dok."

Dokter itu tersenyum, "Dijaga ya kakeknya. Memang usia bapak sudah rentan terhadap berbagai penyakit. Usahakan pikirannya tetap tenang dan jangan bebani berbagai hal yang berat. Diperhatikan juga pola makannya. Jangan sampai stres dan kelelahan."

"Baik dok, terima kasih."

"Sama-sama, saya undur diri, ya. Bapak cepat sembuh, ya," ucap dokter itu pada Tuan Soeroso dengan ramah.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now