Mara

20.2K 2.6K 82
                                    

Sekitar 15 menit Gandhi mondar-mandir tak jelas di pinggir jalan. Laki-laki itu bingung harus bertindak apa. Orang-orang tak ada yang bisa ia hubungi kecuali gadis itu sendiri. Apalagi baru saja kejadian buruk menimpa Grahita, membuat Gandhi begitu khawatir. Ia takut kejadian memilukan itu kembali terjadi.

Gandhi lantas menyenderkan tubuhnya di samping mobil seraya mengusap wajahnya kasar. "Hah! Ayo Ndi, lo harus mikir!"

Namun tak kunjung Gandhi mendapatkan jawabannya. Justru khawatir yang semakin menggerogoti dirinya. Dirinya yang biasanya tenang, kini mendadak kalang kabut ketika melihat rumah Grahita yang kosong.

Berkali-kali Gandhi menghembuskan nafasnya kasar ke udara. Laki-laki itu bingung harus bertindak apa. Justru kekhawatirannya semakin bertambah di situasi saat ini.

Cukup lama berpikir, Gandhi tiba-tiba melihat seorang perempuan setengah baya sedang membuka pintu gerbang rumah Grahita. Gandhi langsung berjalan mendekati ibu-ibu tersebut dengan cepat.

"Permisi,"

Perempuan yang ternyata adalah mbok Yati itu terlonjak kaget. Lantas perempuan itu mengucapkan istighfar. Ia kaget dengan kedatangan Gandhi yang tiba-tiba.

"Ada apa ya?" tanya mbok Yati ramah.

"Mohon maaf sebelumnya sudah mengagetkan ibu."

"Kalau boleh tahu, penghuni rumah ini kemana ya, Bu? "

"Neng Tata?" Gandhi langsung mengangguk cepat. Secercah harapan nampak di sana.

"Anda siapa?" tanya mbok Yati yang agak curiga. Ia takut kalau orang itu hendak berbuat jahat dan menyakiti Grahita lagi.

"Saya temannya Bu. Tenang, saya juga bukan orang jahat," ucap Gandhi berusaha menyakinkan mbok Yati. Ia tahu jika perempuan itu curiga. Ia juga maklum dengan sikap waspada mbok Yati terhadap orang baru.

Mbok Yati menatap Gandhi lekat-lekat. Ia takut jika Gandhi berniat buruk. Bagaimana pun juga mbok Yati tetap waspada terhadap hal yang menyangkut Grahita. Grahita sudah mbok Yati anggap seperti putrinya sendiri walaupun gadis itu terlihat judes dan dingin. Grahita tetaplah seperti gadis kecil yang polos dan penyayang terhadap orang terdekatnya.

Namun melihat wajah Gandhi yang menyakinkan itu membuat mbok Yati percaya jika laki-laki itu benar-benar teman Grahita.

Mbok Yati lantas mengangguk, "Neng Grahita ada di rumah utama sementara waktu ini."

"Rumah utama?"

Mbok Yati kembali mengangguk, "Rumah milik eyangnya, Tuan Soeroso."

Gandhi menghembuskan nafasnya lega. Akhirnya keberadaan Grahita sudah jelas. Hampir saja ia seperti orang frustasi jika gadis itu tak jelas keberadaannya.

Namun batinnya masih belum lega. Ia belum lega jika tak melihat keadaan Grahita secara langsung.

"Mohon maaf Bu, kalau boleh tahu, rumahnya di mana ya?"

Lalu mbok Yati menyebutkan alamatnya secara lengkap kepada Gandhi. Gandhi lantas mengucapkan terima kasih dengan sopan.

Setelah itu, Laki-laki tersebut langsung menuju alamat yang disebutkan oleh mbok Yati. Seingatnya kawasan itu masuk dalam kawasan yang dihuni oleh kaum borjuis ibu kota.

Saat masuk kawasan tersebut, akses masuknya juga sulit. Bahkan Gandhi rela meninggalkan KTP-nya pada gerbang depan jika dipersulit dengan membuang-buang waktunya.

Namun oleh petugas keamanan, justru KTP Gandhi dikembalikan. Petugas itu juga nampak sungkan pada Gandhi yang sudah tak sabar untuk bertemu dengan Grahita dan memastikan kekhawatirannya itu.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now