Griya

34.4K 3.5K 36
                                    


Setelah pamit undur diri kepada teman satu dapurnya, Grahita langsung pergi ke rumah milik Soeroso Pramonoadmodjo yang terletak tak jauh dari restoran tempat ia bekerja. Dengan mengendarai BMW keluaran tahun 2010 milik sang mendiang opanya, Grahita meluncur tanpa hambatan. Setengah jam kemudian Grahita sampai di rumah dengan gaya Mediterania yang kental sekali dengan kata mewah.

Grahita menunduk sopan pada satpam yang setia menjaga keamanan disana. "Neng Tata?" Pak Slamet, satpam yang sudah mengabdi hampir 30 tahun itu kaget melihat nona muda mereka datang lagi setelah 6 tahun tak menampakkan wajahnya. Grahita lalu tersenyum pada pak Slamet yang kini semakin menua.

"Selamat malam Pak. Pak Slamet gimana kabarnya?" Tanya Grahita setelah perempuan itu menyalami pak Slamet dengan sopan.

Pak Slamet yang masih kaget pun menjawab, "Alhamdulillah baik neng. Ya Allah akhirnya bapak ketemu neng lagi. Neng Tata gimana kabarnya? Sudah lama neng nggak datang kemari."

"Alhamdulillah baik Pak. Saya beberapa tahun ini memang tidak pulang. Saya fokus sama cita-cita saya pak."

Lalu pak Slamet melebarkan matanya, "Wahhh.. Berarti sekarang sudah jadi chef dong." Grahita tertawa kecil dan mengangguk. "Iya pak."

"Eh saya masuk dulu ya pak. Lain kali kita bicara panjang lebar." Pamit Grahita dan di angguki oleh pak Slamet. Lalu Grahita melajukan kembali mobilnya untuk di masukkan ke dalam garasi luar yang tersedia di rumah sang eyang.

Sejenak Grahita memandangi rumah yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun itu. Suasananya masih sama, hanya saja perubahan bentuk taman depan yang nampak sedikit di rubah, namun ciri khas rumah tersebut masih kental sekali. Grahita lalu menghembuskan nafasnya pelan. Sejak dulu ia malas untuk sekedar datang ke rumah tersebut. Ada banyak alasan yang membuatnya enggan untuk menginjakkan kakinya disana. Jika bukan acara penting, Grahita lebih baik pergi ke tempat lain daripada harus menginjakkan kakinya disana.

Perlahan Grahita berjalan menuju pintu depan. Grahita memencet bel rumah tersebut. Bisa saja ia langsung masuk, tapi Grahita enggan melakukannya.

Kemudian seorang pelayan muda membukakan pintunya dan Grahita langsung masuk setelah di persilahkan. Grahita langsung di bawa di ruang makan yang sudah penuh dengan keluarga yang lainnya.

"Selamat datang Grahita cucu eyang. Sini nduk, eyangmu rindu sama kamu." Grahita masih memegang teguh unggah-ungguh sebab ia juga masih memiliki darah Jawa yang kental oleh karena itu ia mendekat ke arah eyangnya dan mencium tangan sang eyang dengan takjim.

Kemudian tuan Soeroso memeluk erat sang cucu yang sudah di rindukannya bertahun-tahun. Bertahun-tahun pula tuan Soeroso memendam rindu dan rasa bersalah secara bersama, menggerogoti hingga raganya kini tak sekuat dahulu.

Lalu tuan Soeroso menggiring Grahita untuk duduk di dekatnya. Mata Grahita sekilas menatap orang-orang yang menjadi alasannya untuk enggan sowan ke rumah sang eyang.

"Gimana kabarmu? Gimana juga sekolahmu? eyang harap kabar baik yang eyang terima."

Grahita tersenyum tipis. Sebenarnya Grahita tak membenci sang eyang, justru alasannya ia datang hanya untuk beliau, mungkin karena satu hal yang membuat Grahita agak menjaga jarak yaitu sang eyang yang membiarkan orang-orang yang menjadi alasannya untuk menjadi orang pembenci itu justru hidup seatap dengan beliau. Grahita benci dan malas untuk sekedar main kemari. Namun ia juga punya hati sehingga kadang kala dulu juga pergi kemari, bukan untuk apa, hanya sekedar menjenguk eyangnya.

Grahita bisa dibilang sebagai cucu kesayangan tuan Soeroso. Hal itu tentu menimbulkan gesekan di antara keluarga besarnya. Tapi Grahita tak peduli. Perempuan itu juga tak peduli semisal di anak emaskan oleh keluarga besar Pramonoadmodjo. Lebih baik ia hidup sederhana bersama sang oma dan opanya. Itu lebih dari cukup.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now