Hastu

20.8K 2.6K 70
                                    

Grahita tak bisa memejamkan matanya. Memang beberapa hari ini ia terserang insomnia parah hingga terpaksa minum obat tidur sekali. Namun setelah ia pergi ke psikiater, ia baru bisa tidur walaupun masih saja tidur di atas pukul 1 dini hari. Setidaknya ia bisa tidur, tidak seperti setelah kejadian kemarin ia tidak tidur sama sekali hingga pagi menyapa. Alhasil, ia gelisah dan merasa takut lagi.

Gadis yang mengenakan kaos oblong warna abu-abu itu menghembuskan nafasnya kasar. Kemudian ia bangun dari berbaringnya dan memilih untuk berjalan menuju balkon kamar dan membuka pintunya. Ketika ia membuka pintu yang terbuat dari kaca itu, angin malam langsung masuk dan terasa dingin. Akhirnya Grahita mengambil selimut dan memilih duduk di balkon tersebut.

Sekarang pukul setengah 12 dan orang rumah pasti sudah terlelap semua. Ia bosan. Ia juga tak bisa tidur. Rasanya ia ingin melakukan sesuatu tetapi ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Daripada pusing memikirkan hal yang rumit, Grahita akhirnya memilih duduk dengan memeluk lututnya. Dagunya ia letakkan di atas lutut sembari menatap langit malam yang cerah kali ini.

Ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Gandhi tadi. Laki-laki itu sempat mengucapkan kalimat yang membuat dirinya bungkam seribu bahasa. Sampai akhirnya Gandhi memilih pamit dan tersenyum padanya. Sebelum benar-benar pergi laki-laki itu juga sempat mengucapkan sesuatu padanya.

'Aku janji bakal ngajak kamu ke suatu tempat nanti. Lekas membaik ya, Ta. Seorang teman nggak akan tega ketika melihat temannya dalam kesedihan dan keterpurukan.'

"Apa maksud laki-laki itu?" gumam Grahita pelan sembari mengeratkan selimutnya.

"Jika kamu datang sama halnya dengan yang lain, rasanya aku bodoh ya?"

"Tapi dia satu-satunya laki-laki yang berani menghadapi judes dan dinginnya diriku dengan tenang."

Grahita kembali lagi berbicara dengan dirinya sendiri. Sering kali ia melontarkan pertanyaan pada dirinya dan berakhir dengan perang batin untuk menjawabnya. Namun satu hal yang ia dapat, ia bisa jujur dengan dirinya sendiri. Grahita menjadi lebih tahu mengenai dirinya yang tak selamanya baik-baik saja. Terkadang perbuatan tak lazim itu cukup menjadi temannya saat dirinya memilih menarik diri dari orang lain. Tak semuanya ia bisa bagikan kepada orang lain, cukup ia dan perdebatan panjang batin yang tahu.

Kembali Grahita menghembuskan nafasnya panjang. Rasanya bosan ia harus duduk tanpa melakukan apa-apa selain perang batin. Ketika ia mencoba berdamai, terasa jika tubuhnya tidak sekedar membutuhkan sebuah jawaban yang pasti, tetapi dukungan penuh dari orang lain yang ia anggap percaya. Terkadang pula sudah mengatakan bahwa dirinya bisa sendiri, tanpa orang lain. Namun nyatanya Grahita juga butuh sistem yang mampu mengatakan padanya bahwa ia bisa melewati semuanya dengan baik.

Lantas Grahita memilih bangkit dan masuk ke dalam kamar. Ia langsung menutup kembali pintu yang menghubungkan kamar dan balkonnya itu. Lalu ia menuju meja rias. Di atas sana ada dua gawai. Satunya gawai yang rusak karena laki-laki bajing*n itu dan yang satu lagi adalah gawai yang dibelikan Yosi tadi siang.

Grahita duduk sambil menatap gawainya itu. Gawai keluaran terbaru dari merk yang sudah sangat mendunia itu terlihat begitu nyata perbedaannya dengan gawai lamanya. Gawai lamanya hanyalah gawai biasa yang ia beli 3 tahun yang lalu di Prancis.

Akhirnya Grahita mengambil dan menyalakan gawai barunya itu. Yosi mengatakan jika semua SIM cardnya sudah masuk. Tinggal Grahita saja yang mau menyalakan gawai itu.

Seketika banyak notifikasi yang masuk ketika dirinya menyalakan data selulernya. Ia mendesah pelan. Lalu memilih meletakkan di atas meja rias dan berjalan menuju ranjangnya. Tak ada hal yang bisa ia lakukan untuk membuat dirinya merasa mengantuk.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now