Mahatma

20.1K 2.4K 79
                                    

"Bagaimana bisa aku nggak tahu jika mama sudah meninggal. Oh ya Tuhan. Anak macam apa aku ini?"

Terus saja perempuan berusia 45 tahunan itu menangis dengan gumaman penyesalan tiada henti. Sementara Grahita hanya terdiam duduk di samping mbok Yati.

"Maaf Mbak Cella, mbok sudah menghubungi Mbak, tetapi Mbak tidak bisa dihubungi. Mbok baru ingat kata ibuk dulu, Mbak pergi ke Afrika dan sulit dihubungi. Akhirnya mbok menyerah menghubungi Mbak untuk sementara waktu."

Perempuan cantik dengan rambut coklat itu hanya bisa menangis meratapi kepergian sang mama tanpa dirinya tahu. Bahkan setelah beberapa bulan, ia baru tahu. Mungkin jika ia tak ke Indonesia, ia tak akan tahu jika perempuan yang telah melahirkannya itu meninggal. Ia juga tak menyalahkan mbok Yati. Ia saja yang terlalu sibuk hingga lupa menghubungi sang mama.

"Aku berdosa banget, Mbok. Bahkan aku telah berjanji bakal pulang setelah bertahun-tahun tidak pulang. Anak macam apa aku ini?"

Kembali Marcella menangis tertunduk di samping kanan mbok Yati yang mengelus pelan punggung perempuan tersebut. Perempuan itu hanya mampu memberikan dukungan semampunya.

"Ibuk sudah bahagia di sana Mbak Cella. Ibuk sudah ketemu bapak di sana. Ibuk juga bilang rindu sama cinta sejatinya. Semua sudah takdir. Mbak Cella jangan berlarut sedihnya. Ibuk juga berpesan kalau dia pulang, artinya dia sudah bahagia, dia bakal ketemu sumber kekuatannya dulu,"

Kembali mbok Yati memberikan kata-kata penyejuk kepada Marcella yang menangis tersedu. Mbok Yati yang sudah berpuluh tahun mengabdi di keluarga oma sehingga perempuan itu tahu seluk beluknya. Memang benar, cinta seorang Shinta Soejanto untuk William Van Dirk bagaikan kisah cinta yang tak lekang dimakan oleh zaman. Perbedaan budaya hingga pertentangan tak menyurutkan cinta mereka berdua. Justru ikatan itu semakin kuat hingga mereka menua. Cinta seorang perempuan cantik berdarah Betawi itu abadi untuk sang suami, William Van Dirk yang benar-benar asli berdarah Belanda. Bahkan cinta mereka dibawa hingga ke liang lahat.

Sedangkan Grahita hanya bisa diam. Berada di kondisi seperti ini membuatnya rindu dengan sang oma. Ia rindu, ia rindu ucapan meneduhkan dari perempuan senja yang masih cantik itu.

Lalu Grahita mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang laki-laki berdarah Turki-Serbia itu sedang menenangkan sang istri, Marcella. Sergei bahkan terlihat sabar menghadapi istrinya yang sempat histeris tadi.

Grahita memilih beranjak. Gadis itu memilih keluar ke teras dimana Gandhi berada. Laki-laki itu tak masuk dan masih menunggu Grahita di sana.

"Kamu balik dulu nggak apa-apa, Ndi. Terima kasih buat hari ini," ujar Grahita dengan suara pelan dan wajah yang bisa dikatakan tak baik-baik saja itu.

"Terus kamu balik ke rumah eyang gimana?" tanya Gandhi yang nampak tak yakin dengan gadis di depannya itu.

"Gampang nanti. Masih ada hal yang perlu aku selesaikan. Maaf ya," balas Grahita dengan senyum singkat untuk menyakinkan Gandhi.

Gandhi mengangguk dan tak bertanya lebih. Mungkin Grahita masih ada urusan yang harus diselesaikan. Peristiwa yang dilihat Gandhi tadi adalah urusan internal keluarga Grahita sehingga ia cukup melihat saja, tak perlu untuk tahu terlalu dalam lagi.

"Aku balik dulu ya? Jaga diri. Sampaikan salam buat yang lainnya,"

Grahita mengangguk dan Gandhi berjalan menuju mobilnya. Gadis itu menatap Gandhi hingga mobil laki-laki itu menjauh.

Grahita menghela nafasnya panjang. Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Niat hati ingin mengambil sejumlah sepatu dan baju, justru ia harus bertemu dengan sang mama. Entah takdir macam apa ini. Ia kira hidupnya akan berjalan sendiri-sendiri dari sang mama. Ia kira, pertemuannya 10 tahun yang lalu adalah pertemuan terakhir dengan Marcella. Grahita tak pernah berharap lebih untuk bertemu dengan sang mama secepatnya.

Aksara Dan SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang