Wibana

24.2K 2.9K 77
                                    

"Ngapain disini?"

Grahita tertawa miring seraya mendengus, "bukan urusan anda."

Laki-laki bersetelan rapi itu menatap Grahita tajam. "Ayo ikut papa." Ucap Sadewa tegas. Lalu laki-laki itu meraih lengan Grahita cepat. Hal itu membuat Grahita menatap tak suka.

"Lepas! Anda nggak berhak memaksa saya!" Sengit Grahita kemudian. Matanya menyipit tajam menatap sang papa. Demi apapun ia muak harus bertemu laki-laki yang menyebabkan dirinya ada di dunia ini. Hatinya terlalu keras untuk sekedar berlagak biasa saja di depan laki-laki tersebut.

"Kamu nggak ada sopan santun ya sama orang tua!" Grahita langsung membalas ucapan sang papa dengan tertawa mengejek. "Sopan santun?"

"Omong kosong!" Tekan Grahita kemudian. Nafasnya mencoba ia atur supaya tak terkesan memendam emosi berlebih. Bertemu dengan laki-laki di depannya itu menyebabkan rasa benci dan dendam bercampur menjadi satu, terasa sangat menyakitkan bila diingat sedikit saja. Terasa sangat panas dan membakar sampai begitu kejamnya rasa marah dan kecewanya dia pada sang papa.

"Ikut papa." Ucap Sadewa kemudian. "Ini permintaan seorang papa. Tolong." Nada Sadewo melembut, tak setajam dan sekeras tadi. Beliau hanya ingin berbicara dengan sang putri. Demi apapun, ia juga sakit di musuhi oleh sang putri. Tetapi ia pun sangat sadar dan mengakui bahwa ia salah dan terlambat untuk sekedar membuat Grahita memaafkan dirinya. Sadewa paham dengan sakit hati yang dialami sang putri, tapi ia tak berdaya untuk sekedar memperbaiki. Ego dan gengsi terlalu menutup mata sehingga kesalahan hanya di biarkan sia-sia, melapuk dan menghancurkan kepercayaan yang sempat di tawarkan melalui hati yang mau membuka. Tapi sayang, semuanya seakan terlihat terlambat.

"Disini juga cukup? Kenapa saya harus beranjak dari tempat duduk saya?" Sahut Grahita kemudian. Baginya ruang yang di ciptakan sempit sehingga tak ada lagi ruang kosong yang mampu mengisi, terlalu keras untuk sekedar di tetesi air. Hanya waktu dan kesabaranlah yang bisa melunakkan, tapi kapan?

Sadewa lalu menghembuskan nafasnya panjang, lantas matanya menatap Grahita yang wajahnya sudah menjadi datar, tak ada ekspresi apapun kecuali perasaan yang memendam rasa sakit yang kian tertanam kuat. Dengan melihat Grahita, beliau serasa melihat dirinya sendiri. Perempuan cantik itu sangat mirip dirinya dengan versi perempuan. Wajah campurannya tak dapat di bohongi jika wajah Sadewa lah yang nampak di sana. Hatinya tiba-tiba nyeri, kelakuan iblis apa yang membuat dirinya terjebak dalam situasi dan peristiwa seperti ini? Bahkan sekedar untuk kembali rasanya sangat mustahil. Seperti sebuah kalimat, ini terlalu terlambat, tapi bukan sebuah akhir yang tragis.

"Papa nggak tau harus mulai dari mana, nak, tapi tolong kali ini papa minta waktu sama kamu, sebentar." Mungkin ini cara terakhir Sadewa untuk meminta sang putri agar mau diajak bicara dengan dirinya. Ia terlalu bingung untuk sekedar berkata, Hai? hal inilah yang menutup pintu damai keduanya. Mereka sama-sama berego tinggi dan merasa bahwa semuanya akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi, justru sakit yang bertambah parahlah yang ada. Tak ada kata maaf yang memecah amarah diantara mereka.

Mereka lalu terdiam. Grahita memilih memejamkan matanya seraya menyenderkan kepalanya di kursi di koridor rumah sakit. Sedangkan Sadewa tetap setia berdiri di dekat Grahita. Ada keraguan untuk sekedar duduk di samping sang putri.

Lalu tiba-tiba Grahita berdiri. "Setengah jam." Bukannya tak sopan tapi demi kebaikan dirinya ia harus mengurangi intensitas bertemu dengan sang papa. Ia hanya ingin menyembuhkan hatinya dengan tidak bertemu dengan orang-orang yang menjadi sebab dirinya menyimpan amarah yang besar.

Akhirnya Sadewa bisa bernafas lega. Laki-laki itu langsung mengekor di belakang Grahita yang berjalan keluar dan memilih taman samping rumah sakit yang agak lengang sebagai tempat untuk mereka mengobrol. Tak banyak orang berada di sana karena letaknya yang jauh dari keramaian. Hanya beberapa kursi taman dan jalan setapak yang menghiasi taman tersebut.

Aksara Dan SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang