OCN54: Merangkul Kalian Lagi

1.1K 279 22
                                    

Keanu

Saya mengendarai mobil saya menuju ke apartemen Ale tanpa menunda-nunda lagi, tak ingin membuatnya ataupun Juna merasa menderita lebih dari ini. Walau terpaksa harus terjebak macet yang entah karena apa, saya berhasil sampai disana, tepat ketika Juna baru saja kembali entah darimana dengan sebungkus makanan.

Layaknya Ale, Juna masih menganggap bahwa saya adalah halusinasinya, bahkan meminta saya menembus pintu karena saya adalah arwah orang mati. Bahkan sekalipun saya bilang bahwa saya hidup, Juna pasti akan meragukannya karena dibola matanya, jelas saya tau bahwa ada rasa kesepian yang berteriak pedih didalam sana mencoba untuk tetap waras saat sosok saya tertangkap oleh bingkainya.

Sosok yang harusnya telah pergi dan nggak menganggu kewarasan mereka lagi.

"Gua mau pergi, jadi lu pergi juga. Nggak baik ganggu orang yang mau pulang mengemudi. Gua bisa kecelakaan."

Juna melewati saya begitu saja, masih menganggap saya adalah bentuk lain dari imajinasi kesedihannya. Namun saya datang kesini bukan untuk berpura-pura menjadi arwah orang mati, saya kesini untuk kembali merangkulnya.

Saya menahan pundak Juna ketika dia belum begitu jauh dari saya, membuktikan bahwa sosok saya yang berdiri dihadapannya kali ini bukanlah bagian dari halusinasinya.

Lewat sentuhan itu saya ingin mengatakan padanya bahwa saya bensr-benar Keanu, sosok yang selalu diusilinya dan mungkin kini jadi sosok yang tak ingin diingatnya seumur hidup.

Saya tersenyum padanya ketika Juna hanya diam sambil berbalik menatap saya dengan kedua matanya yang melebar. Kemudian dengan satu tarikan, saya membawanya ke dalam pelukan yang biasanya selalu saya hindari karena kejahilan Juna yang tak sudah-sudah.

Kali ini, saya baru menyadari bahwa saya cukup merindukan pelukan dari pria jahil ini. Sepertinya saya memang harus merasakan kehilangan dulu, hingga baru bisa menyadari bahwa hal-hal sekecil ini ternyata begitu berarti.

"Kawan seperjuangan, gua kembali," ujar saya sambil mencengkram bahu Juna kuat-kuat.

Ya, saya merindukannya sebagaimana dia mungkin merindukan saya juga saat saya pergi.

Juna pun melakukan hal yang sama, mencengkram bahu saya kuat-kuat hingga saya merasakan bahu saya basah. Dia menangis.

Saya hanya mampu menepuk-nepuk pundaknya, mencoba mentransfer kekuatan yang mungkin saja cukup untuk menguatkannya.

"Maaf," ujar saya.

"Sialan," umpatnya. "Harusnya gua nangisin cewek, ini malah nangisin cowok. Seksualitas gua harus dipertanyakan iya nggak sih?"

Saya tertawa. "Ditinggal wanita Korea Selatan itu, lu mau jadi kelompok minoritas?"

"Bajingan, tutup mulut lu, mayat hidup."

Juna melepaskan pelukannya begitu juga saya. Dengan gosokan kasar pada kedua matanya, Juna menghapus air matanya yang sepertinya semakin nggak bisa dihentikan, sementara saya hanya tersenyum melihatnya.

Gua harap gua berhasil mengangkat beban berat di punggung lu itu.

"Penjelasan," ujar Juna. "Gua butuh penjelasan."

"Duduk sini," ujar saya, duduk disofa milik Ana dan menatap Juna, "kita cerita banyak hal."

Saya dan Juna duduk berhadapan, berbincang-bincang dengan santai seakan kejadian lalu hanyalah angin lewat. Juna tak lagi menangis atau sesenggukkan layaknya anak kecil, dia mendengarkan kisah gua dengan seksama dan perlahan-lahan.

Juna nggak menginterupsi sama sekali ataupun menanyakan apapun, bahkan jika saya menjeda beberapa detik hanya untuk mengambil nafas dan memikirkan kalimat apa yang harus saya lontarkan berikutnya. Juna tetap diam dan terus berada diposisi pendengar sampai saya selesai bercerita.

OCEAN [SVT]Where stories live. Discover now