OCN7: Penyusup Gerbang

2.4K 475 4
                                    

Keanu

"Apten, Apten."

Saya yang sedang berjalan reflek berhenti dan menunduk ketika saya merasa celana saya ditarik-tarik, dan mendapati seorang bocah perempuan dengan rambut bob pendek dan mata bulat yang menjadi pelaku penarikan celana saya. Saya tersenyum kecil dan berjongkok, mensejajarkan tinggi saya dengan bocah perempuan bernama Amira ini.

"Ada apa, Amira?"

"Tok nda akai lagam, Apten?" tanyanya polos. Ah, saya bahkan lupa kalau sedaritadi seragam atas saya masih menyelimuti tubuh Zeline.

"Iya. Seragamnya ketinggalan di kantor. Kenapa, Amira?"

"Ain yuk."

"Main? Main apa?"

"Cini, cini," katanya meminta saya mengikutinya. Ternyata sudah ada gerombolan anak yang menunggu saya, salah satu diantara mereka membawa bola sepak. Tanpa mereka minta pun saya sudah tahu bahwa mereka ingin saya bermain bola sepak dengan mereka.

Selain memantau dan menjaga keamanan para pengungsi, saya juga kadang bermain dengan anak-anak di sini untuk melepas letih dan membuat mereka melupakan kenangan pahit mengenai tsunami perlahan-lahan. Anak-anak seperti mereka masih terlalu rapuh untuk ditorehkan luka dalam seperti kehilangan orang tua, padahal mereka butuh sosok penting itu untuk menemani pertumbuhan dan perkembangan mereka. Saya bersyukur karena selama sembilan bulan ini saya dapat melihat perubahan mereka, melihat kembali senyum mereka, mendengar kembali tawa mereka, walau tidak semua anak-anak seperti itu. Salah satunya.....

"Astaga, Liana! Kamu kok malah jatuhin galanya sih? Ini bajunya jadi kotor semua!"

Fokus saya sempat beralih pada seorang ibu dan anak perempuan berusia 13 tahun yang amat saya kenali itu, Liana. Saya segera menghampiri keduanya, membantu ibu yang tengah susah payah membangun gala yang jatuh ke tanah dan memunguti baju-baju yang telah kotor.

"Liana, jangan begitu sama mama kamu," ujar saya yang mendekat kearah keduanya.

"Dia bukan mama saya!!" teriak Liana dan pergi dari hadapan saya dan ibu tersebut.

"Ibu gapapa?" tanya saya.

"Gapapa, Nak Keanu. Saya permisi yah, mau cuci baju lagi."

"Saya bantu yah, Bu?"

"Nggak usah, Nak Keanu. Gapapa kok. Permisi."

Saya memandangi punggung ibu tersebut yang makin lama makin menjauh. Liana adalah salah satu anak remaja yang paling memprihatinkan kondisinya disini, dia kehilangan ayahnya ketika ada evakuasi. Saat itu ayah Liana bisa saja selamat dan masih bersama Liana saat ini, sayangnya beliau lebih memilih menyelamatkan istri keduanya yang tengah mengandung daripada dirinya sendiri hingga terseret tsunami dan ditemukan meninggal setelah dua minggu pencarian dimulai.

Liana yang tidak pernah menerima kehadiran istri kedua ayahnya setelah ibunya meninggal karena sakit pun menyalahkan ibu tirinya tersebut. Dulu saat kabar kematian ayahnya sampai ke telinganya, Liana mengamuk dan mendorong ibu tirinya hingga beliau mengalami pendarahan luar biasa, untungnya bayinya berhasil diselamatkan walau harus lahir prematur.

Saya memahami perasaan Liana, jadi saya maklum kalau dia suka berbuat semena-mena di pengungsian ini. Ketika semua orang sudah terlalu malas dan lelah menghadapi anak perempuan itu, hanya saya dan Juna lah yang masih mau menasehatinya. Sepertinya hal itu berbuah dengan baik, Liana mau mendengarkan saya dan Juna, walau kadang tetap saja membangkang.

Ketika saya hendak menyusul Liana, anak-anak sudah merebuti saya ingin bermain bola lagi, saya tidak punya pilihan selain bermain dengan mereka dulu sampai mereka puas atau berteriak kelaparan karena bel belum juga dibunyikan. Bel yang dimaksudkan adalah bel untuk sarapan, makan siang, dan makan malam bersama di lapangan.

OCEAN [SVT]Where stories live. Discover now