🌊End of Season 2: Farewell🌊

1.3K 305 20
                                    

Gua memandangi pantulan diri gua di meja rias. Riasan tipis dengan concealer yang agak tebal dibagian bawah mata dan juga warna orange pink yang mewarnai bibir gua, setidaknya membuat gua tampak lebih segar setelah terpuruk selama seminggu belakangan ini.

Seperti surat wasiat yang Keanu tujukan kepada gua, gua harus bangkit sekalipun langkah pertama sangatlah sulit untuk gua lakukan. Bangkit setelah ditinggalkan oleh orang yang kita cintai adalah tantangan terbesar bagi semua manusia, dan gua menjadi salah satunya.

Tapi bersedih terlalu lama pun nggak akan menghasilkan apapun, Keanu tetap saja akan tinggal di rumah Tuhan selamanya dan gua tetap saja akan tinggal di dunia ini tanpa presensinya. Bersedih nggak akan mengubah apapun.

Hari ini akan jadi hari terberat untuk langkah pertama gua karena gua harus menghadiri pemakaman Keanu. Berat untuk menerima kenyataan bahwa pemakaman yang semulanya gua kira hanya akan berisi peti kosong itu nyatanya telah diisi oleh orang yang gua cintai. Pencarian yang cukup lama itu nyatanya membuahkan hasil yang sialnya justru mematikan harapan gua dengan paksa.

"Hei, Mama telpon," ujar Wira masuk ke kamar gua setelah mengetuk tiga kali.

Gua mengambil handphone Wira, belum sempat bilang halo, mama udah menyerobot gua dengan puluhan rasa khawatirnya. Ya, wajar kalau beliau melakukan hal demikian, mengingat gua memutuskan semua komunikasi dari siapapun selama seminggu ini hanya untuk menangis dan terpuruk.

"Ma, aku gapapa kok."

"Ana, mama khawatir."

"Gapapa, Ma. I'm okay right now, aku cuma butuh waktu untuk nerima semuanya."

"Ana, mama tau ini berat."

"Yeah, ini berat. Berat banget," ujar gua. "Tapi aku gapapa. Beneran gapapa, jadi jangan khawatir."

"Kalo ada apa-apa telpon mama oke?"

"Okay, I'm promise."

"Ana, mama love you."

"I love you too. Bye, Ma," gua memberikan kembali handphone Wira setelah panggilan mama terputus, kemudian mengambil tas gua.

"I'm ready. Let's go!"

"You aren't, Ana."

Gua menatap Wira dan tersenyum padanya, gua mendekat kearahnya dan memeluknya. "Thank you for stay by my side until now, Wira."

Wira balas memeluk gua, dia bahkan memeluk gua dengan agak erat. "Jangan sok kuat. Lu begini, gua yang sedih tau nggak?"

"Gua bakalan nangis sambil jerit-jerit nanti, Wir. Nggak usah khawatir," jawab gua dan melepaskan pelukan Wira. "Yuk berangkat, yang lain udah nungguin."

Gua dan Wira keluar dari kamar gua, baru aja keluar, gua udah dikerumuni oleh Ula dan Yuna yang belum ke pemakaman Keanu aja udah nangis, bahkan Diano yang kerjaannya cuma ketawa sama ngelawak doang ikutan nangis pas matanya dan mata gua ketemu.

"Pada kenapa sih?" tanya gua.

"Khawatir sama lu lah bego!" sungut Diano. "Chat nggak dibales, telpon nggak diangkat, disamperin ke apartemen nggak pernah dibukain pintu! Cuma si Wira doang tuh yang bisa masuk, soalnya dia doang yang tau password pintunya! Gua khawatir, Ana! Tau nggak sih lu?"

Gua tertegun ketika seorang Diano marah sambil nangis kaya gini, yah ini jarang banget terjadi. Bahkan Ula sama Yuna jadi ikutan marah gara-gara Diano. Jujur gua merasa bersalah, bersalah banget karena pernah berpikir untuk mengakhiri hidup gua sendiri, untungnya rasa takut lebih mendominasi gua sehingga niat itu urung begitu saja. Gua terlalu sibuk dengan kesedihan gua sampai lupa bahwa ada orang-orang yang masih peduli.

OCEAN [SVT]Where stories live. Discover now