OCN6: Kedatangan Sang Pengejar Hati

2.6K 468 5
                                    

Keanu

Saya lahir di keluarga militer, dididik keras untuk mematuhi aturan yang ada, masa kecil saya berbeda dari kebanyakan anak. Jika anak lain sering kali hidup dengan bergelimang kasih sayang dan dimanja oleh orang tua mereka, maka saya tumbuh dengan lingkungan keluarga yang ketat, sekali langgar aturan, sekali membangkang, ayah bisa saja meneriaki saya dengan begitu lantang dan menghukum saya hingga mata saya bengkak karena menangis seharian. Hanya ibu yang menjadi figur pemberi kasih sayang dan memanjakan saya sewaktu kecil dulu, sementara ayah menjadi figur yang membentuk sikap disiplin dan tahan banting dalam diri saya hingga sekarang.

Lahir di keluarga militer, tentu saja saya wajib dan harus meneruskan tradisi keluarga bahkan jika saya tidak ingin. Beruntung, saya ingin meneruskan tradisi keluarga sehingga saya menjalani pekerjaan saya dengan ikhlas dan tulus seperti sekarang. Berbeda dengan kakek dan ayah yang menjadi bagian dari Angkatan Darat, saya memilih menjadi bagian dari Angkatan Laut. Bukan tanpa alasan saya memilih demikian, saya punya alasan. Sayangnya saya tidak bisa menjelaskannya sekarang.

Sudah sembilan bulan ini saya ditugaskan di tempat pengungsian korban tsunami. Bahkan walaupun sudah sembilan bulan, kami dan juga tim SAR masih saja sulit untuk menemukan semua penduduk yang hilang akibat bencana alam tersebut. Tidak sedikit anak-anak malang yang kehilangan orang tua mereka atau sanak saudara mereka. Rasa putus asa dan trauma masih begitu pekat di pengungsian ini, bahkan tak jarang dari beberapa pengungsi yang berusaha bunuh diri hanya karena tidak sanggup kehilangan keluarga yang mereka cintai. Saya paham bagaimana rasanya kehilangan itu, tapi lagi-lagi kita sebagai manusia hanya bisa pasrah akan semua rencana Tuhan.

"Permisi, paket!"

Saya sudah hapal suara siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Arjuna Pradiptanto? Tentara AL dengan pangkat Letnan Satu yang selalu membawa semua pekerjaannya dengan santai dan sering menggodai para dokter ataupun perawat wanita yang menjadi relawan di tempat pengungsian ini sampai ada saja yang baper.

"COD kan, Pak?"

"Malah dilanjutin lagi si tolol." Kalau tidak ingat bahwa dia adalah teman akrab saya alih-alih bawahan, saya rasanya ingin sekali menjahit mulutnya yang sering kali asal ceplos itu.

Juna melemparkan kotak ditangannya pada saya, saya sudah hampir ingin mengumpat. Bagaimana kalau isinya barang penting dan saya gagal menangkapnya barusan? Juna itu kadang otaknya memang hanya jadi pajangan saja. Saya curiga jangan-jangan dia dulu bisa lolos seleksi hanya karena hokinya yang tidak pernah ada habisnya itu.

Saya memerhatikan kotak ditangan saya dengan seksama. Tidak ada nama pengirim diluarnya, hanya ada nama penerimanya, yaitu saya. Saya segera membuka kotak tersebut dan mendapati banyak sekali barang, mulai dari dua kotak ginseng merah sachet, empat kotak koyo, sekotak lilin aromateraphy, sebuah buku novel, kertas yang dibentuk menjadi sebuah burung, dan secarik kertas.

"Bahaya woi! Kalo penting gimana?" ujar Juna ketika saya melemparinya sekotak ginseng merah sachet, dua kotak koyo, dan sekotak lilin aromateraphy secara bergantian.

"Lu juga tadi main lempar-lempar aja tolol," balas saya sebal. "Ini yang terakhir, tangkep," ujar saya sambil melemparkan buku novel berwarna biru laut dengan sebuah gambar jangkar laut dan judul yang sama sekali tidak dapat saya mengerti.

Juna terdiam dan menatap buku novel tersebut cukup lama, sepertinya Juna baru memahami semua isi paket ini berasal dari siapa dan sebenarnya untuk siapa. Saya mendekat kearahnya dan meletakkan burung kertas berwarna senada diatas novel tersebut.

"Judul bukunya apa sih? Gua nggak bisa bacanya. Bahasa Korea yah itu?" tanya saya sambil kembali ke meja saya dan duduk dipinggiran meja, menunggu jawaban Juna.

OCEAN [SVT]Where stories live. Discover now