OCN41: Bahu Rapuh yang Mencoba untuk Menopang Semua Orang

1.3K 305 20
                                    

Arjuna

"Mas Aju, itu matanya bengkak kenapa? Nangisin cewek yah?" tanya adik laki-laki saya, Abiputra, yang biasa dipanggil Abi.

Saya bahkan lupa bagaimana saya tertidur setelah menangis dipelukan bunda dan terbangun malam hari dengan mata bengkak. Parahnya lagi keluar dari kamar, berniat ingin cuci muka malah ketemu Abi yang kalau bertanya to the point sekali.

"Sok tau. Tau apaan sih kamu soal cewek? Kaya punya cewek aja," balas saya yang akhirnya mencuci wajah di wastafel.

"Mbak Arsya mau kesini katanya sama si kembar," ujar Abi sambil bermain game di handphonenya.

"Mas Wisnu nggak?"

"Nggak tau, Abi nggak nanya, cuma iya-iya aja pas ditelpon Mbak Arsya."

"Kebiasan banget," ujar saya yang akhirnya berjalan ke meja makan dan mengambil kunci motor milik Abi yang tergeletak disana. "Pinjam yah, mau pergi."

"Ketemu cewek?"

"Cewek mulu. Pikirin itu skripsimu," ujar saya sambil menoyor kepalanya dan pergi, tidak lupa memberi pesan kepada Abi untuk menyampaikan kepada bunda bahwa saya akan pergi.

Sepanjang perjalanan saya terus berpikir bagaimana cara bersikap di depan Ana nantinya, bahkan saya tidak dapat membayangkan bagaimana kacaunya wanita itu akan berita yang begitu tiba-tiba.

Awal berteman dengan Keanu, saya tak pernah mengerti kenapa Keanu menolak untuk menikah dan memilih menunggu hari tutup usianya tiba seorang diri. Dulu saya berpikir; memang apa enaknya hidup sendirian? Tapi setelah kepergian Keanu ini, saya mungkin mengerti alasan Keanu memilih demikian. Dia tak ingin keluarganya merasakan arti sebuah kehilangan. Sekarang, ketika Keanu memilih mengikari pilihannya dan menjatuhkan hatinya pada Ana, maka bukan Keanu yang harus menanggung konsekuensinya, melainkan Ana. Wanita itu harus siap terluka dan bangkit seorang diri tanpa uluran tangan Keanu.

Sampai di gedung apartemen tempat tinggal Ana, saya memarkirkan motor di parkiran motor. Berjalan memasuki lobby dan menaiki elevator, sementara hati saya sudah tak karuan bingungnya. Bingung bagaimana bertingkah didepannya nanti, bingung bagaimana menjelaskan maksud kedatangan saya, dan bingung bagaimana harus menenangkannya.

Sampai di lantai 10, saya mencari pintu dengan nomor 1013, tempat Ana tinggal. Tiba didepan pintu tidak membuat saya langsung menekan belnya, saya ragu. Bagaimana jika saya bertingkah lemah dihadapannya dan malah memperparah kondisinya yang pasti lebih lemah dari saya? Tapi yang lebih saya takuti adalah memberikan surat yang ada disaku saya ini kepadanya.

"Tarik nafas dan hembuskan perlahan, itu bisa membuat rasa gugup berkurang."

"Harus banget yah gua denger suara lu disaat seperti ini, Keanu?" sarkas saya pada diri sendiri sebelum akhirnya menekan bel. Untuk beberapa saat, tidak ada jawaban, sehingga saya memilih menekan bel lagi dengan sabar. Perasaan saya mengatakan bahwa Ana sedang kacau di dalam, jadi saya tidak akan memaksanya untuk menjawab saya dengan cepat.

Sekali lagi saya menekan bel dan pintu terbuka dengan tak sabaran sehingga saya akhirnya melihat bagaimana kacaunya wanita yang pernah membuat saya jatuh hati itu. Kedua matanya bengkak, matanya masih mengeluarkan air mata, dan raut wajahnya .... saya jelas melihat bahwa dia masih mengharapkan Keanu kembali.

Saya tersenyum lembut padanya. "Sekacau itukah dokter .... karena kepergian Keanu?"

"Lettu Juna...." katanya terisak ketika menyebut nama saya.

Saya kemudian menggiring Ana masuk kembali ke dalam apartemennya, Ana masih begitu syok sehingga saya menyuruhnya untuk duduk, sementara saya pergi ke dapurnya dan membuatkannya teh hangat.

OCEAN [SVT]Where stories live. Discover now