OCN8: Hukuman

2.4K 483 20
                                    

Jujur, menuruni tebing yang jalannya nggak rata kaya gini belum lagi juga agak terjal itu susahnya setengah mati. Gua berkali-kali hampir mencium tanah jika saja gua nggak cukup seimbang. Untungnya nggak sulit menemukan Liana yang kini tengah berjongkok sambil memainkan sebuah ranting pohon yang entah dia dapat darimana.

Gua menepuk pundaknya dua kali dan Liana merenggut nggak suka, menatap gua tajam seakan-akan dia sangat membenci gua. Senyum ramah adalah ekspresi balasan yang gua berikan padanya walaupun akhirnya dia malah membuang muka.

"Kamu Liana yah?" tanya gua berjongkok di sampingnya.

"Iya," jawabnya judes. Gapapa deh judes yang penting gua nggak dikacangin. Makasih, Dek, kamu masih tahu sopan santun.

"Balik yuk."

"Ngapain?" balasnya judes lagi. "Setiap hari ketemu tante jelek sama bocah pembawa sial itu! Nggak sudi!"

Gua kaget. Amat sangat-sangat kaget. Gua nggak tahu Liana ada masalah atau dendam apa sama orang yang dia sebut "tante jelek" dan "bocah pembawa sial" itu, tapi kayanya ini perihal serius yang harus dibicarakan dari hati ke hati. Karena sekarang Liana sedang dalam mode defensif dan nggak mau ditanya-tanya banyak, gua terpaksa memutar otak buat mengorek informasi dari Liana secara tidak langsung perihal kenapa dia bisa berkata demikian dan membuang makanan Diano tadi.

"Liana, kamu umur berapa?"

"13 Tahun."

"Kamu suka makan apa?"

Liana menengok ke gua, menatap ke gua seperti; nih orang kenapa sih? Tapi gua nggak peduli, gua harus sedekat mungkin sama Liana biar dia juga bisa dekat dengan gua dan bisa sekedar berbagi sedikit cerita.

"Mi instan."

Nggak dimana-mana emang mi instan tuh paling enak. Nggak bohong deh.

"Mau dokter masakin mi instan nggak?"

"Nggak lapar," iya jawabnya nggak lapar tapi perutnya bunyi, pasti tadi belum sarapan nih.

"Balik yuk ke pengungsian," ajak gua.

"Nggak mau. Soalnya ada tante jelek sama bocah sialan itu. Aku nggak suka."

Gua mengerjap-erjap. "Tapi kan kamu lapar? Yuk sama dokter aja."

"Liana."

Gua amat sangat terkejut ketika mendengar suara bariton yang amat sangat gua kenali. Leher gua rasanya mendadak kaku hanya untuk sekedar menengok ke belakang, tubuh gua juga jadi ikut kaku karena rasa tegang yang menjalar diseluruh tubuh gua.

"Dokter Ana?" gua kenal suara berat yang terkesan manis dan riang itu dan berkat suara itu gua akhirnya memberanikan diri untuk menengok ke belakang, kemudian mendapati Kapten Keanu dan Lettu Juna tengah berdiri tak jauh dari gua dan Liana. Berbeda dengan Lettu Juna yang menatap gua terkejut, Kapten Keanu justru menatap gua tajam membuat nyali gua ciut untuk sekedar mencari-cari alasan.

"Dokter Aleana," panggil Kapten Keanu. "Apa dokter tau aturan apa yang dokter langgar?"

"Ke-Keluar gerbang ... Kapten."

"Kalau sudah tau itu melanggar aturan, kenapa dokter tetap keluar gerbang? Bahkan menggunakan nama saya sebagai alasan. Dokter menyalahi aturan yang ada," tegasnya dengan bentakan pada kalimat "aturan yang ada".

Sumpah rasanya gua berasa lagi diomelin guru BK waktu zaman SMA karena pakai sepatu putih pas lagi upacara. Tapi ini lebih serem daripada waktu itu.

"Liana, kamu juga," ujar Kapten Keanu. "Berapa kali saya bilang untuk nggak seenaknya bertindak sesukamu?!!"

Liana merenggut dan bersembunyi dibelakang gua. Takut. Gua pun sama takutnya tapi sekarang bukan saat untuk itu, gua harus menjelaskan pelan-pelan pada Kapten Keanu sehingga Liana nggak dapat hukuman begitupun dengan dua tentara yang menjaga gerbang tadi. Gapapa deh gua yang dihukum, soalnya gua juga yang salah dan memaksa keluar untuk mengejar Liana.

OCEAN [SVT]Where stories live. Discover now