OCN30: Tentang Cinta dan Persahabatan

2.1K 373 18
                                    

Keanu

Sepanjang perjalanan menuju rumah, saya hanya memandangi jalanan yang menghiasi kaca jendela mobil, sementara Juna bersenandung mengikuti alunan musik radio favoritnya. Saya hanya mendengarkan bagaimana Juna begitu menghayati setiap lagu yang terputar dengan dramatisnya.

"Ngelamun mulu lu," tegur Juna.

"Lu kan tau alasannya."

"Orang aneh," cibirnya. "Dimana-mana orang tuh seneng dikasih libur."

Libur tugas adalah sesuatu yang nggak saya nantikan seperti kebanyakan orang. Jadwal yang padat dan tugas yang bertubi-tubi setiap harinya membuat saya merasa hampa ketika libur tugas, hari kosong selama 24 jam yang terasa begitu panjang.

Dan lagi bukan cuma karena merasa hampa saja yang membuat saya berpikir bahwa saya nggak menantikan libur tugas, ada lagi. Sesuatu yang selama ini saya sembunyikan tapi berhasil ditemukan oleh Ale.

Rumah.

Tempat beserta isi di dalamnya yang saya hindari setiap libur tugas. Tempat dengan memori buruk yang saya kunci rapat-rapat. Tempat yang membuat saya sesak setiap kali mengingat sosok Ibu disaat saya menatap Ayah.

Ya, saya segitu tidak inginnya bertemu Ayah hanya karena bayang-bayang Ibu yang masih melekat pada beliau. Bayang-bayang akan kematian Ibu, bayang-bayang akan Ayah yang selalu merasa bersalah, dan bayang-bayang saya yang mencaci maki Ayah serta menghindarinya, semuanya selalu berputar di dalam kepala saya dan membuat saya kehilangan kontrol diri terhadap diri saya sendiri.

"Damai lah sama Mayjen. Masa tuanya cuma punya lu doang."

"Nggak gampang."

"Udah belasan tahun, Keanu. Lu harus bisa ikhlas."

"Gua udah ikhlas .... tapi rasanya api amarah di dada gua nggak pernah padam setiap kali gua tiba di rumah. Sesak, frustasi."

"Sebenernya lu tuh marahnya sama diri sendiri atau sama Mayjen?"

Saya terdiam setelah mendengar pertanyaan Juna. Kadang pertanyaan itu terlintas di kepala saya, sebenarnya saya ini marahnya kepada siapa? Pada Ayah atau diri saya sendiri?

Saya nggak tau.
Entah kenapa cuma pertanyaan itu yang masih belum ada jawabannya. Dan ketika saya menghindari rumah sebagai tempat pulang, rumah Juna lah yang selalu menjadi tempat saya untuk singgah agar terhindar dari rumah.

"Masuk sana," titah Juna menyadarkan saya dari lamunan.

Saya turun dari mobil dan melangkahkan kaki ke dalam bangunan dua tingkat dengan cat putih yang masih saja seperti tahun-tahun sebelumnya itu. Saya mengetuk pintu beberapa kali sebelumnya akhirnya terbuka dan berhadapan dengan sosok Ayah yang kian lama kian menua.

"Sudah pulang?" tanya beliau, masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, selalu memulai percakapan yang pastinya akan berakhir singkat dengan pertanyaan ini.

"Iya. Saya mau menginap di rumah Juna, kalau ada apa-apa, Ayah bisa telpon saya."

Saking kakunya pembicaraan kami, saya dan Ayah selalu bicara formal layaknya atasan dan bawahan. Selain itu, topik pembicaraan layaknya Ayah dan putranya pun tidak tau harus mulai darimana.

"Mau menginap di rumah Juna?" tanya Ayah mengikuti saya ke kamar.

"Iya."

"Kapan kembali bertugas?"

"Sekitar dua minggu lagi."

"Ulang tahun Ibumu...."

"Saya bisa rayakan sendiri. Ayah kembalilah bertugas."

OCEAN [SVT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang