Bagian 16

11.6K 1.2K 21
                                    

Farel tidak salah dengarkan? Tentu saja tidak, Dirga mengatakan, "Ayo aku antar pulang", dengan sangat jelas. 

Dirga terdiam melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Farel. Farel begitu terkejut sekaligus girang di waktu yang bersamaan, selain itu terlihat kedua pipi Farel yang cukup memerah membuat Dirga sedikit menarik ujung bibirnya ke atas.

"Mengapa kamu begitu terkejut?"

Dirga bertanya dan Farel segera menjawab, "Bagaimana mungkin aku tidak terkejut! Aku kira kamu akan kembali lupa denganku seperti sebelumnya. Namun, kamu tiba-tiba datang dan bilang ingin mengantarku pulang."

Dirga menatap Farel dengan lekat, Farel segera mengalihkan pandangannya, dia kembali merasakan ada sesuatu yang menghangat di dalam hatinya. Ini seperti saat Dirga menanggapinya ketika Farel berusaha membuat Dirga memperhatikannya.

"Apa kamu tidak menyukainya?"

"Mana mungkin." Farel segera menyanggah pertanyaan dari Dirga. 

"Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ingin mengantarku pulang?" Farel sedikit merasa heran. Pasalnya, ia belum yakin kalau mereka sudah sedekat itu untuk bisa mengantar Farel pulang.

"Tadi kamu bilang ingin pulang."

Farel mengangguk, "Kamu benar. Tidak ada salahnya pulang bersama. Kalau begitu, kita pulang sekarang." Farel tidak memikirkan itu lebih lanjut. 

Mereka berdua tiba di parkiran sekolah. Di sana hanya tertinggal beberapa kendaraan milik guru saja. 

Dirga menaruh tas milik Bagas di atas jok motor miliknya. Kemudian dia melepas tas miliknya yang di gantung di belakang punggungnya. 

"Tolong pegang ini."

Dirga menyerahkan tas miliknya ke depan Farel. Farel segera memeluknya dan bertanya, "Kenapa kamu ingin aku membawa tas milikmu?"

Tanpa menjawab, Dirga menunjuk tas milik Bagas. Farel mengangguk dan mengerti maksud dari gestur Dirga. Kemudian Dirga menggantungkan tas Bagas di depan tubuhnya. 

"Pakailah helmnya."

Dirga menyerahkan helm putih miliknya kepada Farel. 

"Nanti kamu tidak akan memakai helm jika aku memakai helm milikmu." Farel merasa tidak nyaman. 

"Tidak apa-apa." Dirga menjawab dengan mantap.

"Tidak bisa. Kalau begitu lebih baik aku tidak ikut saja bersamamu. Itu akan sangat berbahaya jika kamu tidak memakai helm. Bagaimana jika nanti terjadi kecelakaan?" Farel segera menyerahkan helm putih kepada Dirga. Dirga kembali menolaknya.

"Jangan." Farel yang mendengar itu sedikit melotot tidak percaya. Dirga dengan segera menambahkan, "Ikut saja bersamaku." Dirga menahan Farel yang mencoba pergi. 

"Tidak, aku akan pulang menggunakan bus umum saja."

"Tidak akan terjadi apapun. Aku pandai mengendarai motor."

Farel terdiam untuk sementara waktu."Baiklah. Tapi, ingat, jangan mengendarai motor dengan keadaan cepat. Oke?"

"Iya."

Dirga mengangguk dan naik ke atas motor putihnya. Farel juga melakukan hal yang sama setelah memakai helm putih Dirga. 

Benar Dirga menepati perkataannya. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk sampai di rumah kediaman Farel. Dirga mengendarai motor tersebut tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lambat. 

Farel merasa lega. Dia sekaligus merasa senang.

"Aku masih tidak percaya bahwa Dirga yang kaku itu mau mengantarku pulang? Aku tidak bermimpi kan?"

Farel mencoba mencubit pipinya, "Aww!" Ia merasakan sakit dari hasil cubitannya sendiri.

"Ternyata itu bukan mimpi."

Farel berguling di atas ranjang miliknya. Kemudian dia tengkurap dan menghadap ke bagian atas kamar tidur miliknya. 

"Kenapa aku tidak meminta nomor teleponnya?!"

Farel merasa kesal karena tiba-tiba ingat tidak memiliki nomor Dirga. Dia merasa merasa sudah dekat dan bisa saling bertukar nomor telepon. 

"Besok, aku akan meminta kepadanya."

Tuk tuk

Farel mendengar ketukan dari luar pintu kamar miliknya. Dia beranjak dari tempat tidur, berjalan mendekat ke arah pintu, dan membuka pintunya.

Di sana ada seorang ibu paruh baya yang biasa bekerja di rumah ini.

"Ada apa, Bu?"

"Ibu dan Bapak menyuruh nak Farel untuk makan malam bersama di ruang makan." Ibu tersebut menjelaskan tujuannya.

"Baik, Bu."

Setelah mengucapkan hal itu, Ibu tersebut pergi dari hadapan Farel.

Farel menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju ruang makan. Di perjalanan dia memikirkan alasan kedua orang tuanya memanggilnya.

'Mengapa mereka tiba-tiba ingin makan malam bersamaku? Padahal semenjak aku ada di dunia ini, mereka tidak pernah sekalipun mengajakku makan bersama. Mereka selalu, memintaku makan setelah mereka selesai makan.'

"Haa"

'Aku harap tidak ada hal buruk yang akan terjadi.'

Saat tiba di ruang makan, ibunya Farel berbicara, "Duduk di sana" sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di bagian kiri. Farel duduk di sana. Sedangkan ayahnya duduk di bagian tengah dan ibu Farel duduk di seberang Farel.

"Makanlah." Farel kembali mendengar suara dari ibunya. Farel kemudian mulai makan nasi goreng dengan toping sayur, daging ayam serta telur menggunakan sendok.

Ia melahap makanan tersebut dengan perlahan. Saat ini ia merasa atmosfer di sekitarnya tidak terlalu menyesakkan seperti biasanya.

"Farel, Ibu mau tanya, tadi kamu pulang bersama dengan Dirga bukan?"

Farel menghentikan aktivitas makannya, menengadah melihat ibunya dan menjawab, "Iya, Bu."

Ibunya tersebut tersenyum. Baru kali ini Farel melihat senyuman di wajah ibunya.

"Apa kalian berteman?"

"Iya, kami berdua adalah teman."

'Walaupun aku belum yakin Dirga berpikir hal yang sama.' 

"Ibu senang mendengarnya. Sedari dulu ibu sering memberitahumu untuk berteman dengan Dirga. Tapi, kamu tidak pernah melakukannya. Kamu selalu menolaknya."

"Ibumu benar, kami harap kamu bisa terus berteman dengannya. Kalau bisa, kamu bisa membawa dia masuk ke sini dan bermain bersama. Aku harap kali ini kamu tidak akan mengecewakan kami berdua. Kamu mengerti?"

Farel terdiam, dia tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar hal tersebut keluar dari mulut kedua orang dewasa di depannya ini.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz