Bagian 23

9K 1.1K 18
                                    

Sinar jingga melewati kaca jendela dan menerangi ruang kelas XI IPA 1 yang berisi dua orang yang tengah melaksanakan piket kerja. Kursi sudah diangkat ke atas meja, papan tulis yang tadi bertuliskan tinta spidol hitam sekarang sudah bersih.

Hanya tinggal dua orang saja yang belum selesai mengerjakan tugas piket kebersihan tersebut. Farel yang tengah menyapu bagian tengah kelas dan Amanda yang baru saja akan memulai mengepel lantai kelas.

"Farel."

Panggilan Amanda membuat Farel berhenti dan melihat ke arahnya. Dia menjawab, "Iya, Amanda."

"Aku malas mengerjakan piketku." Katanya dengan cemberut. Mukanya begitu masam sekali dan tidak memiliki gairah. 

Farel kemudian menyandarkan tubuhnya ke salah satu meja, "Memangnya kenapa?"

"Kamu pasti tahu sendiri, kan?"

"Oh, itu."

Sepertinya Farel tahu apa yang sedang dimaksud oleh Amanda. Amanda selama beberapa hari terakhir sering mencoba agar membuat Dirga memperhatikannya.

Misalnya, kemarin saat jam pulang sekolah, Amanda pura-pura merasa pusing di depan Dirga. Dia bilang tidak bisa pulang ke rumahnya sendirian dan seolah mengisyaratkan agar Dirga mau mengantarnya pulang. Tapi, Dirga tidak terjebak oleh kebohongan Amanda dan melenggang pergi meninggalkan Amanda.

Atau dua hari lalu saat jam pelajaran olahraga, saat itu pelajaran olahraga bagian lari marathon. Dia berpura-pura membuat kakinya terkilir saat di samping Dirga. Dia juga mengisyaratkan agar Dirga mau membantunya berjalan. Namun, Dirga tentu tidak terjebak juga oleh kebohongan tersebut.

"Farel! Aku sedang mengajakmu bicara. Kenapa kamu tidak memperhatikan aku!" Amanda berseru dengan kesal.

Farel yang baru saja kembali tersadar pun segera meminta maaf. Ia sangat tersentak saat mendengar seruan Amanda. Namun, Amanda masih menatap kesal ke arahnya. 

"Kamu seharusnya, nih, memberi aku saran atau apapun. Bukannya malah tenggelam dengan pikiranmu sendiri." 

Amanda berkata dengan tajam ke arahnya. Baru kali ini Amanda bersikap seperti itu kepadanya. Kata-kata yang terlontarkan dari mulutnya membuat dada Farel terasa sakit. Ia begitu meringis mendengarnya.

"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu." Farel dengan nada suara getir berusaha mengeluarkan permintaan maaf lagi.

"Oke, aku maafkan. Sekarang coba beri aku saran apapun." 

Kata Amanda sambil mengaitkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia dengan tidak sabar menunggu jawaban Farel.

"Aku pikir caramu untuk mendekati Dirga itu tidaklah be--"

"Apa? Tidak benar?" Amanda dengan tergesa-gesa menyela pembicaraan Farel.

Farel dengan pelan mengangguk, "Iya, itu benar."

"Mengapa kamu bisa berpikir begitu? Kamu tahu tidak, kalau saat hari senin itu aku hanyalah berpura-pura pingsan saja. Tapi Dirga bisa memperhatikanku."

"Aku pikir Dirga melakukan itu karena hanya ingin membantu para siswi yang kebetulan tidak ada siswa lain di sana saat itu."

Amanda mendengus, kemudian raut wajahnya berubah menjadi datar, "Sepertinya, berbicara denganmu hanya membuang-buang waktuku saja. Tidak ada gunanya."

Kalimat tersebut membuat hati Farel sangat tertohok. Farel merasakan kehadiran dirinya tidak dihargai oleh Amanda. Bukankah Amanda yang memintanya untuk memberikan saran? Lalu kenapa dia sendiri yang merasa keberatan mendengarkan saran Farel yang bahkan belum sempat dia keluarkan semuanya?

Farel tidak menanggapi Amanda dan dengan segera membereskan kewajibannya. Setelah selesai dia keluar dari kelas meninggalkan Amanda yang hanya diam dan tidak menyelesaikan tugasnya.

Di lorong kelas yang sepi, Farel berjalan dengan pelan. Matanya menatap ke depan dengan tatapan kosong. Dia menggigit bibirnya dengan pelan seolah berusaha menahan sesuatu keluar dari kedua matanya.

Mungkin Amanda sedang kesal, tapi kenapa dia harus melampiaskannya ke Farel? Apa itu kesalahan Farel kalau Dirga tidak mau menanggapinya?

"Farel!"

Farel terkejut oleh seruan tersebut, dia menemukan dirinya hampir terjatuh di tangga sekolah namun untungnya Dirga yang berada di bawahnya menahan tubuhnya.

"Kamu kenapa?" Dirga bertanya dan ada sedikit nada khawatir di sana. 

Farel yang sudah berdiri dengan tegap pun melihat Dirga. "Aku tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah membantuku." Tapi, Dirga melihat bahwa keadaan Farel bertolak belakang dengan apa yang dikatakannya. 

"Kamu hampir saja jatuh. Kalau tidak ada aku, bagaimana nanti dengan keadaanmu?"

Farel berusaha tersenyum sekuat tenaga, "Aku minta maaf."

"Jangan minta maaf padaku."

"Kamu mau ke mana Dirga? Aku pikir hari ini kamu ada ekskul, kan?" Tanya Farel berusaha mengalihkan topik pembicaraan. 

Dirga menatap Farel dengan lekat, lalu menjawab, "Aku hanya ingin ke kelas. Ada barang yang tertinggal."

Farel mengangguk, "Baiklah. Kalau begitu aku pulang lebih dahulu." Pamit Farel sambil melambaikan tangan kananya.

Sebelum Farel melangkah melewati tangga, Dirga lebih dahulu menahannya. Farel berbalik dan melihat Dirga, "Jangan melamun. Lihatlah jalan dengan benar dan jangan sampai terjatuh."

Hati Farel saat ini terasa hangat mendengarkan lontaran kalimat perhatian tersebut. Suasana hatinya yang tadinya terasa sesak kini mulai memudar dan digantikan kehangatan. Dia tidak tahu kenapa Dirga bersikap sebaik ini. Tapi yang jelas, Farel begitu senang dan lega di waktu yang bersamaan.

Dengan perlahan senyuman yang lembut tercetak di wajahnya, "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku."

Melihat itu, Dirga memalingkan mukanya, "Aku pergi." Katanya lalu melanjutkan perjalannya.

Saat Dirga berjalan di lorong menuju kelasnya, tiba-tiba ada kepala yang menyembul dari balik pintu, "Hai, Dirga. Kenapa kamu kembali ke kelas? Apa kamu ingin bertemu denganku?" Amanda dengan riang menyapa Dirga yang akan tiba di depan kelas. 

Dirga berhenti berjalan, kepalanya bergerak ke bagian belakang dimana tadi adalah arah Farel pergi dan ke bagian depan dimana Amanda berada. Dia berpikir untuk sementara waktu hingga dia seolah menemukan sesuatu di sana. Dan dengan cepat, tatapan kedua matanya berubah.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWo Geschichten leben. Entdecke jetzt