Bagian 30

8.5K 954 8
                                    

Seragam olahraga milik Dirga sudah dicuci dan disetrika terletak di atas ranjang milik Farel. Farel mengambil seragam bagian atas lalu merentangkannya di atas ranjang. Dia melihat seragam itu untuk sementara waktu.

Dia kemudian berjalan menuju lemari pakaian, membuka pintu lemari gantung dan mencari pakaian di sana.

Tangannya berhenti ketika melihat seragam putih berukuran besar yang sudah rapi tergantung di dalam lemari gantung bersama dengan pakain miliknya yang memiliki ukuran lebih kecil.

Dia mengambil seragam putih lalu menaruhnya di atas ranjang di samping seragam olahraga.

Ukuran kedua seragam itu sama. Farel yakin seragam putih itu juga milik Dirga.

"Tapi Dirga tidak pernah menanyakan seragam putih ini." Farel berpikir untuk sejenak. "Bagaimana kalau dia sebenarnya hanya menunggu aku mengembalikannya?"

Farel mengangguk, "Sepertinya begitu," katanya seolah setuju dengan pemikirannya.

"Kalau benar Dirga yang memiliki seragam putih ini, maka dia adalah orang yang membantuku saat di toilet dan membawaku ke uks."

Farel juga ingat satu hal kejadian yang cukup mengejutkannya, "Di hari yang sama aku ingat terjatuh dari gedung saat Dirga berbicara denganku. Tapi itu berakhir dengan mimpi. Walaupun begitu aku masih meragukannya. Aku rasa itu bukan mimpi tapi lebih ke kenyataan. Aku akan mencoba bertanya kepada Dirga besok, apa dia benar mengingat kejadian saat di atap gedung atau tidak."

"Iya itu benar," jawab Dirga

"A-apa?! Benarkah?" 

Dirga mengambil paper bag yang diserahkan oleh Farel. Dia mengeluarkan sesuatu dari paper bag tersebut. 

"Ini memang benar seragam putih milikku."

Tadi saat baru masuk ke kelas, Dirga sudah duduk di kursi samping Farel. Farel yang baru datang segera mendekat dan bertanya mengenai seragam putih yang dibawa olehnya.

Dan Dirga membenarkan spekulasi Farel.

Farel berusaha menahan keterkejutannya untuk sementara waktu. Lalu dia membuka suara, "Sebelumnya aku berterima kasih terlebih dahulu karena kamu sudah meminjamkan seragam milikmu. Sekarang aku mau tanya satu hal, apa benar kamu yang membantuku membawaku ke uks saat pingsan di toilet?"

Dirga menatap Farel dengan lekat kemudian menjawab, "Iya, itu benar. Aku yang membantumu," katanya lalu memasukan kembali seragam miliknya ke dalam paper bag dan menaruhnya di atas meja miliknya.

"T-tapi Bagaimana bisa?"

"Saat itu aku hendak ke toilet dan menemukan kamu sudah tergeletak pingsan di lantai toilet. Aku memeriksa keadaanmu dan kamu tengah memakai seragam yang kebasahan. Akupun menggantinya dengan seragam putih milikku yang lain. Lalu membawamu ke uks."

"Lalu kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kamu yang sudah membantuku?" Farel bertanya keheranan. Pasalnya mengapa selama ini Dirga diam saja.

"Untuk apa aku mengatakannya? Terlebih kamu tidak pernah bertanya kepadaku."

Farel diam untuk sementara waktu seolah mencerna fakta baru yang ia dapatkan. Dirga benar. Untuk apa dia mengatakannya kalau Farel tidak pernah bertanya kepadanya. Namun, tetap saja mengapa Dirga tidak berbicara seolah tidak pernah terjadi apapun. Farel juga sebelumnya tidak tahu kalau itu adalah Dirga.

"Kamu benar. Kamu tidak membicarakannya karena aku tidak pernah bertanya. Aku mengerti. Tapi, bagaimana dengan seragam putih yang aku pakai? Apa kamu tidak membutuhkannya lagi?"

"Kalau itu, aku tidak mempermasalahkannya jika kamu tidak pernah mengembalikannya," jawab Dirga.

"Memangnya kenapa?"

"Aku punya banyak seragam di rumah."

'Ah, iya. Dia itu kaya. Apa yang aku harapkan?'

Entah kenapa mendengar jawaban Dirga malah membuat Farel kecewa dengan harapannya sendiri. Dia berharap Dirga akan mengatakan sesuatu yang tidak terduga. 

Dirga jelas sekali melihat ekspresi itu di wajah Farel yang sekilas sedih. Dia merasa salah dengan yang baru saja diucapkannya. Farel pun duduk di kursi miliknya dan Dirga mengikuti duduk di sampingnya.

"Dirga?"

Dirga menoleh saat Farel memanggil namanya, untuk sejenak dia menunggu Farel berbicara. 

"Bagaimana dengan kejadian di atap sekolah? Apa kamu juga ingat itu?"

Dirga sedikit terkejut, tapi Farel tidak melihat itu. Dia menjawab, "Kejadian apa yang kamu maksud?" Tanyanya kebingungan.

"Saat itu aku tengah berdiri di tepi gedung dan kemudian kamu datang."

"Tidak, aku tidak ingat pernah ke atap gedung," sangkal Dirga.

Namun Farel masih belum percaya, apa yang dialami waktu itu sangatlah terasa nyata. Jadi, itu tidak mungkin hanyalah sebuah mimpi belaka.

"Benarkah? Tapi aku sangat jelas ingat."

"Apa yang kamu lakukan di atas sana?"

Farel tidak mungkin mengatakan kalau saat itu dia tengah frustasi dan stress karena ingin kembali ke dunia tempatnya berasal. Saat itu dia merasa sendirian di dunia novel yang asing ini dan berakhir terjatuh dari atap gedung akibat terpeleset.

"Ah, itu. Aku hanya ingin mencari udara segar saja."

"Begitukah? Lain kali, jangan pergi ke atas. Terlalu berbahaya. Bagaimana kalau kamu nanti terjatuh."

Farel terdiam mendengar itu. Kalau Dirga tidak pernah ke atas. Lantas kenapa dia terdengar seperti orang yang pernah ke sana dan mengkhawatirkannya.

Farel rasa Dirga memang menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi, dia tidak tahu apa itu. Dia ingin bertanya tapi sepertinya Dirga tidak akan berkata jujur. Dia harus mencari tahu sendiri.

Setidaknya, saat ini, di dunia novel ini dia sudah tidak merasa sendirian dan kesepian seperti sebelumnya. Masih ada orang yang membantunya. 

Farel melihat Dirga dan berkata, "Terima kasih karena mau berteman denganku," sambil tersenyum dengan lebar dan selembut sinar mentari di pagi hari.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWhere stories live. Discover now