Bagian 35

6.5K 802 35
                                    

Keesokan harinya di jam makan siang, Farel yang baru saja kembali dari perpustakaan mendapati Dirga yang sudah makan di kantin bersama Amanda di sampingnya.

Amanda terlihat asyik bercerita kepada Dirga. Farel tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Amanda. Itu karena Amanda tengah memegang buku Dani 1999 milik Farel di kedua tangannya. 

Dirga terlihat seksama mendengarkan dan hal tersebut membuat hati Farel terasa tidak nyaman. Farel merasa tidak sanggup melihat pemandangan di depannya jadi dia memilih mengurungkan niatnya makan di kantin.

Terlebih dia tidak ingin mengganggu waktu antara Amanda dan Dirga.

Farel akhirnya memutuskan menghabiskan jam makan siang di kelasnya. Dia belum merasa lapar jadi tidak masalah melewatkan makan siang.

Di tangga gedung menuju kelasnya, dia melihat sebuah kertas yang tergeletak di atas tangga. Dia membungkukkan tubuh dan mengambil kertas tersebut.

Kertas yang dipegangnya berisikan note nada dari sebuah lagu. Sepertinya ini adalah note lagu milik seseorang. Terlihat note tersebut belum rampung terselesaikan karena sesekali ada beberapa coretan tinta hitam pena di atasnya.

Farel mendengar suara langkah kaki keluar dari pintu depan masuk gedung. Dia pikir itu adalah pemilik dari kertas yang dipegangnya.

Di segera berjalan menyusul orang tersebut.

"Hei, tunggu!"

Teriakan dari Farel membuat orang yang membawa tas gitar di belakang punggungnya pun berhenti. Dia dengan perlahan berbalik dan kedua mata Farel melebar melihat orang di depannya.

"Apa yang kau mau?" 

Bagas bertanya dengan nada tajam. Farel tidak tahu kalau tadi orang di depannya adalah Bagas. Itu karena tubuhnya hampir terhalangi oleh tas gitar.

Farel memberanikan diri dengan berjalan perlahan ke arah Bagas. 

"Aku minta maaf karena memanggilmu."

"Jangan berlama-lama basa-basi. Cepat katakan tujuanmu itu apa? Aku tidak ingin berbicara terlalu lama denganmu."

Bagas dengan nada malas menjawab Farel. Dia terlihat tidak peduli dengan Farel dan sedikit kesal karena harus berhenti berjalan.

"Apakah ini kertas milikmu? Sepertinya ini cukup penting," katanya sambil menyodorkan kertas ke arah Bagas.

Bagas yang memegang beberapa buku di lengannya segera memegangnya dengan tangan kirinya. Dia dengan cepat mengambil kertas yang disodorkan Farel.

Farel tersentak saat Bagas mengambilnya.

"Bagaimana kertas ini ada ditanganmu?"

Bagas bertanya dengan nada seolah menyalahkan kalau Farel telah mengambil barang pribadi miliknya secara sembarangan tanpa sepengetahuan Bagas.

Farel dengan gugup menggerakan kedua tangannya di depan tubuhnya sambil membela diri, "Jangan salah paham dulu. Aku tidak mengambilnya darimu."

Kedua mata Bagas menyempit, "Lalu kenapa kau memegangnya?"

"Oh, itu. Saat aku hendak naik ke lantai atas lewat tangga, aku melihat kertas tersebut tergeletak di atasnya. Aku pikir itu terjatuh dan mengambilnya. Sepertinya itu terjatuh saat kamu turun dari tangga."

Farel berusaha menjelaskan apa yang tadi terjadi. Namun, Bagas melihatnya seolah masih tidak percaya dengan ceritanya.

 "Apa kau melihat tulisannya?"

"Aku minta maaf. Aku tidak sengaja melihatnya."

"Jangan melihat barang milik orang lain dengan sembarangan."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Bagas pergi meninggalkan Farel yang terdiam.

"Kenapa dia begitu marah sekali? Setidaknya ucapkan terima kasih."

Tubuh Bagas semakin menghilang saat dia berbelok di depan menuju gedung ekstrakurikuler. Farel lalu kembali masuk ke dalam gedung kelas dan terhenti saat kedua matanya bertemu dengan Dirga yang hendak naik ke lantai atas.

"Farel kita perlu berbicara."

Amanda yang baru mendekat ke arah mereka segera bertanya, "Dirga kenapa kamu malah pergi? Aku belum selesai menceritakannya kepadamu."

Tanpa menjawab, Dirga mengambil pergelangan tangan Farel dan membawanya keluar dari gedung sekolah. Dirga tidak terlalu keras memegang tangannya dan itu tidak membuat tangan Farel sakit.

Di taman sekolah Dirga berhenti. Farel dengan raut wajah bertanya-tanya dengan segera membuka suara, "Ada apa Dirga?"

"Ayo duduk dulu di kursi taman."

Farel mengangguk dan mereka duduk berdampingan. 

"Kenapa kamu tidak makan siang? Aku tadi melihat kamu datang ke kantin"

Farel tidak tahu kalau Dirga melihatnya datang ke kantin. Tadi dia pikir Dirga sangat fokus mendengarkan cerita Amanda. Sepertinya Dirga melihatnya saat Farel berjalan menjauh dari kantin.

"Oh, itu. Aku belum merasa lapar. Jadi aku melewatkan makan siang."

"Jangan lakukan itu lagi."

Gumaman Dirga tidak terlalu terdengar oleh Farel. Suara tersebut sangat kecil. 

"Apa?"

"Tidak. Kenapa Amanda tiba-tiba datang padaku dan bilang kalau dia suka membaca novel Dani 1999. Apa kamu yang memberitahunya?"

Farel diam sebentar, dia ingin segera menjawab namun ia ingin menimbangnya terlebih dahulu. Dia takut kalau Dirga akan marah karena salah satu informasi pribadinya diketahui orang lain. Farel menoleh dan melihat wajah Dirga. Dia tidak terlihat marah.

"Iya, itu benar. Aku yang memberitahunya."

"Mengapa kamu melakukan hal tersebut?"

"Amanda ingin berteman denganmu. Jadi, aku mencoba membantunya."

Selanjutnya Dirga terdiam. Farel dengan gugup menunggu Dirga berbicara.

"Kenapa kamu tidak bertanya terlebih dahulu kepadaku? Apakah aku keberatan atau tidak, dan malah melakukan hal semaumu. Apa pendapatku tidak begitu penting bagimu?"

Mendengar itu membuat dada Farel terasa sakit. Dia melihat raut wajah yang kecewa terukir di wajah tampan Dirga. Sorot kedua matanya pun seolah mengisyaratkan kalau dia merasa sakit hati.

Saat suara hendak keluar dari mulutnya, Dirga lebih dahulu pergi meninggalkannya. Farel berusaha memanggil Dirga, tapi Dirga tidak pernah berbalik melihat ke belakang. Dia mencoba mengejar dan berbicara dengan Dirga, tapi Dirga tidak sekalipun  menjawabnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWhere stories live. Discover now