Bagian 81

3.1K 356 5
                                    

Sebulan berlalu dengan damai. Kehidupan Farel di dunia novel kali ini benar-benar berjalan dengan damai. Selama sebulan ini setelah keluar dari rumah sakit, patah tulang di bagian kaki dan tangannya sudah mulai membaik. Farel sudah bisa berjalan seperti semula, namun walaupun begitu dia masih tidak diperbolehkan untuk memaksakan menggerakan kedua bagian tubuh tersebut. Dokter masih menyarankan Farel untuk menggerakan kedua tubuh itu dalam tahap ringan dan jangan dipaksakan untuk melakukan hal berat seperti berlari ataupun mengangkat beban berat.

Farel sehari-hari hanya diam di rumah Dirga. Setiap pagi dia akan dibantu oleh Dirga sebelum berangkat sekolah. Lalu di siang harinya ada pekerja di rumah Dirga yang selalu siap membantu hingga tiba di sore harinya dia akan kembali dibantu oleh Dirga.

Walaupun kesehariannya di rumah Dirga untuk waktu yang lama, tapi dia tidak merasa bosan. Di dalam rumah Dirga dia akan membaca komik lewat ponsel. Hobi baru tersebut cukup untuk membuatnya tidak merasa bosan. Lalu, sesekali Dirga juga akan membawanya keluar. Namun itu tidak jauh, dia hanya akan membawanya ke sekitar komplek perumahan elit Dirga di sore hari sambil menceritakan kegiatan sekolah kepada Farel.

"Kamu tahu, tadi pagi aku lupa membawa buku yang berisi jawaban PR untuk pertama kalinya."

Dirga dan Farel sekarang sudah duduk di kursi taman komplek perumahan Dirga. Suasananya tidak terlalu ramai atau sepi. Jadi, mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol pun tidak akan merasa terganggu oleh sekitar.

"Benarkah? Jangan bilang itu PR matematika?!"

"Itu benar!"

Dirga pun tertawa, Farel yang melihat itu juga ikut tertawa sambil berbicara, "Haha… pasti kamu sekarang merasakan disetrap di depan kelas, kan?"

Dirga yang sudah selesai tertawa pun menjawab, "Benar. Sekarang aku merasakannya."

"Bagaimana menurutmu perasaan itu sebagai siswa paling berprestasi dan berperilaku baik di sekolah setelah menerima hukuman itu?"

"Ternyata itu cukup membuatku gugup."

Setelah itu Dirga juga menceritakan hal lain di sekolah. Kadang kala Dirga sering bilang kalau dia merindukan duduk di meja yang sama bersama Farel saat di dalam kelas sambil memperhatikan pelajaran atau mengobrol dikala istirahat sambil makan snack. Hal-hal sederhana itu cukup untuk membuat Dirga berharga tatkala sekarang setelah tidak merasakannya.

"Aku juga merindukan sekolah. Semakin aku sering mendengar ceritamu saat di sekolah semakin membuat aku ingin segera kembali masuk ke sana."

"Bagaimana kalau mulai minggu depan kita kembali ke sekolah?"

"Aku mau!"

Farel berseru setuju mendengar pertanyaan Dirga. Itu memang yang ingin dilakukannya. Walaupun berada di rumah Dirga tidak membosankan tapi tetap saja dia merindukan suasana sekolah yang selalu ramai oleh banyaknya siswa siswi.

"Oke, mungkin lusa kita bisa berkunjung ke rumah sakit dan meminta pendapat dokter."

"Oke."

Hari mulai gelap, Dirga dan Farel kembali menuju rumah Dirga. Jarak dari taman menuju rumah Dirga tidak terlalu jauh dan itu tidak membuat Farel yang berjalan dengan pelan merasa kelelahan.

Ketika mereka hendak keluar dari area taman, tidak sengaja mereka berpapasan dengan Bagas yang tengah berlari pelan. Untuk sesaat tatapan Bagas dan Farel terkunci, namun Bagas segera menarik lagi tatapannya dan berlari dengan kencang ke arah berlawanan.

Bagas memang ada dalam satu perumahan yang sama dengan Dirga. Hanya saja, Bagas tinggal di cluster lain yang berbeda dengan Dirga. Walaupun mereka berada di dalam satu perumahan yang sama, mereka jarang bertemu atau berpapasan secara tidak sengaja karena memang luas perumahan itu sangatlah luas. Terlebih, Farel sudah bilang kalau dia memang tidak ingin melihat Bagas lagi. Melihat Bagas hanya kembali membuat ingatan kelam kembali teringat.

Melihat Bagas yang tampaknya dalam keadaan baik-baik saja--"Dia akan pindah."

Pikiran Farel segera terhenti oleh perkataan Dirga. Farel segera bertanya, "Apa?"

"Bagas akan pindah."

"Benarkah?"

Farel tampak terkejut mendengar hal tersebut, kedua bola matanya melebar dan dahinya mengkerut ke bagian tengah.

"Ya, keluarganya akan pindah ke kota lain mulai minggu depan. Kamu akan baik-baik saja. Aku tahu saat kamu melihat Bagas, kamu akan mengingat hal buruk waktu itu."

Farel hanya diam tidak menanggapi, dan mulai berpikir kalau Bagas pindah kemungkinan akibat dirinya yang meminta agar mereka tidak bertemu lagi. Walaupun begitu, kenapa Bagas tidak pernah sekalipun mencoba meminta maaf kepadanya? Tapi Farel memang tidak pernah ingin memberi Bagas kesempatan untuk melakukan itu.

Di pagi berikutnya, Farel, Dirga, orang tua Dirga beserta kuasa hukum keluarga Wijaya pergi ke suatu tempat yang untuk pertama kalinya mereka datangi kecuali untuk kuasa hukum. Mereka semua datang menuju tempat pengadilan dimana kasus Farel akan mulai diproses oleh pengadilan.

Pertama kalinya datang dan menghadapi sidang pidana, cukup membuat Farel merasa gugup. Farel duduk bersama di satu meja dengan kuasa hukum sedangkan Dirga dan kedua orang tuanya ada di bagian kursi penonton.

Di seberang Farel ada meja untuk kuasa hukum yang disewa oleh ayah Farel. Mata mereka bertatapan dan untuk pertama kalinya kedua mata ayah Farel tampak sedih. Tubuhnya sudah terlihat semakin kurus, tampak kurang makan. Tampilannya pun juga terlihat lusuh. Berbeda dengan tatapan sebelumnya yang selalu penuh amarah dan ketidakpuasan. Tampilannya juga berbeda, dia adalah orang yang selalu terlihat gagah dan rapi. Walaupun begitu, Farel masih merasa takut dengan orang yang ada di seberangnya itu. Rasanya  tamparan, pukulan dan tendangan di hari itu kembali terngiang-ngiang di benaknya dan terasa kembali ditubuhnya secara nyata. Jantung Farel berdegup dengan kencang dan ia cukup kesulitan bernapas.

Saat Farel melihat Dirga, Dirga memberinya semangat dan mengucapkan sesuatu. Dari gerakan mulut yang terlihat bisa disimpulkan bahwa Dirga mengatakan, "Semuanya akan baik-baik saja."

Farel yang melihat itu mulai berangsur membaik, dia hanya perlu menatap ke arah lain dan mengabaikan pihak lain. Dengan begitu dia bisa menganggap kalau pihak lain tidak pernah ada disana.

Persidangan pertama dimulai setelah dilaporkan dua bulan sebelumnya, itu sebelumnya tertunda karena Farel sebagai korban tengah tidak sadarkan diri dan tidak bisa dimintai keterangan oleh pihak pengadilan. Semua orang di pengadilan telah hadir dan siap dengan jalannya persidangan pertama.

Saat jaksa penuntut umum berbicara, "Berdasarkan undang-undang yang berlaku. Saya menuntut tersangka untuk kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur dengan masa tahanan 3 tahun 6 bulan penjara atau denda sebesar 72 juta rupiah."

Hal yang paling membuat Farel merasa terkejut adalah tanggapan dari ayah Farel ketika ditanya oleh hakim terkait tuntutan tersebut.

"Saya tidak akan mengajukan keberatan tuntutan tersebut dan tetap memilih untuk menjalani masa hukuman saya di dalam sel tahanan."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWhere stories live. Discover now