Bagian 48

5.6K 720 12
                                    

Sedari tadi Farel mencari ponsel serta laptop miliknya. Namun dia tidak menemukan keberadaan kedua barang penting tersebut. 

Terakhir kali dia ingat menaruh kedua barang tersebut di atas meja belajar, tapi saat dia kembali ke kamar dia tidak menemukannya. Dia juga mencarinya di tempat lain dan hasilnya masih sama. 

"Dimana kedua barang tersebut?"

Farel bergumam, karena lelah mencari akhirnya dia memutuskan untuk menyerah. Dia pikir kedua barang tersebut pasti disita oleh orangtuanya. 

Padahal Farel ingin mencoba menghubungi nomor Rudi, tapi karena nomor tersebut berada di ponsel dan laptopnya maka dia tidak bisa menghubungi Rudi. 

Tadinya jika ada kedua barang tersebut dia ingin segera bertanya kepada Rudi bagaimana cara agar dia bisa kembali ke dunia dia yang sebenarnya. Farel sudah tidak tahan menunggu terlalu lama di dunia yang asing ini. 

Dia benar-benar tidak sanggup menahan kesakitan yang dialami. Seluruh badan beserta hatinya merasa sakit. Apalagi dia akhirnya menemukan fakta kalau Farel asli membenci Dirga karena orang tuanya selalu membandingan mereka berdua. Farel asli berniat ingin mengalahkan Dirga berharap kedua orang tuanya terutama Ayahnya akan berhenti membandingkan mereka atau menyuruh mereka berteman.

Bahkan Farel asli yang pintar pun ternyata memang sulit untuk mengalahkan Dirga, apalagi dengan Farel baru yang lebih kesulitan. 

Farel benar-benar lelah menjalani dunia novel ini. Namun apa yang bisa diperbuat? Dia tidak punya pengetahuan untuk kembali ke dunia asalnya. Andai saja dia dan Rudi segera bertemu setelah ujiannya selesai, mungkin saja saat ini Farel bisa kembali ke dunia asalnya.

Farel sekarang memutuskan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu. Dengan perlahan dia menahan rasa sakit saat mengobati lukanya sendiri. Setelah berkutat selama seperempat jam, Farel akhirnya selesai dan memutuskan untuk tidur.

Hingga keesokan harinya, Farel tidak melihat keberadaan orangtuanya. Mereka masih belum kembali ke rumah. Selain itu pembantu juga tidak ada di rumah, Farel tidak tahu pergi kemana pembantu tersebut. Di rumah yang besar dan luas, hanya ada satu kehidupan di dalamnya.

Di sore hari, kedua orang tua Farel akhirnya kembali. Farel tahu itu karena mendengar suara mobil yang terparkir di depan rumah. Dia memutuskan untuk bertanya kepada orang tuanya terkait ponsel serta laptop miliknya. Dan beginilah jawaban dari ayahnya, "Saat ini kamu masih bisa menanyakan kedua barang tersebut?" Tatapan kedua mata ayahnya terlihat kesal, dia kembali melanjutkan, "Kami berdua menarik kedua barang tersebut serta semua uang jajanmu. Bahkan dengan fasilitas yang kami berikan kamu tidak bisa mengalahkan Dirga. Jangan harap kamu akan menerima itu kembali sebelum kamu bisa membuat kami bangga," katanya lalu pergi naik ke lantai atas bersama istrinya.

Di dalam kamarnya helaan nafas keluar dengan panjang. 

Melihat isi dompet miliknya yang masih ada di dalam tas sekolahnya, Farel merasa bersyukur. Setidaknya kartu debit dan uang cash masih ada di sana. Untuk saat ini dia belum kekurangan uang.

Sekitar jam tujuh malam ketika kedua orang tua Farel baru saja selesai makan malam. Mereka mendengar bel di gerbang depan berbunyi. Ayah Farel lalu menyuruh pembantu untuk membukakan gerbang tersebut.

Betapa kagetnya mereka berdua ketika melihat kedatangan Dirga di rumah mereka. 

"Bagaimana om, tante? Apakah saya bisa bertemu dengan Farel?"

Setelah diam untuk beberapa saat, Ibu Farel akhirnya angkat bicara, "Bisa. Dirga masuk dulu ke dalam."

"Baik, tante."

Dirga lalu di persilahkan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu.

"Dirga, mau minuman apa?" Ibu Farel bertanya dengan lembut. 

"Tidak perlu repot-repot tante, saya hanya ingin bertemu Farel saja."

"Farel sedang tidak enak badan. Dia tengah beristirahat di kamarnya."

Mendengar itu, Dirga merasa semakin khawatir. Pantas saja dia tidak bisa menghubungi Farel. Ternyata Farel tengah sakit.

"Bisakah saya melihat keadaannya tante? Saya tidak akan lama."

Ibu dan Ayah Farel saling menatap untuk sesaat hingga dia kembali berbicara, "Bisa. Tante cek dulu ke kamar Farel ya."

Dirga mengangguk sambil mengatakan, "Iya, tante."

Farel yang tadi mendengar suara derungan motor dari kamarnya merasa familiar dengan suara yang didengarnya. Saat Farel hendak keluar dan melihat siapa yang datang, ibunya lebih dahulu datang dan berbicara, "Jangan keluar. Tetaplah berada di kamar sambil berbaring. Dirga datang ke sini dan ingin menjenguk keadaanmu."

Mendengar nama Dirga disebutkan, Farel begitu terkejut. Dia tidak menyangka Dirga akan datang kepadanya lebih dahulu. 

"Ingat, jangan bilang apapun kepada Dirga terkait luka di tubuhmu. Tutuplah luka tersebut sebaik mungkin. Kalau kamu berani melanggar, kamu tahu akibatnya, kan?"

Mendengar kalimat terakhir, Farel mengangguk mengerti. Dia tidak ingin dipukul lagi. Itu terlalu menyakitkan. Dia tidak sanggup menahan rasa sakitnya.

Setelah mengatakan hal tersebut, Ibu Farel kembali pergi ke ruang tamu. Farel pun mulai memakai hoodie serta masker dan berbaring di ranjang sambil diselimuti. 

Tidak lama berselang terdengar ketukan dari pintu kamar Farel.

Tuk, tuk, tuk.

Farel yakin itu Dirga.

"Masuk."

Klik.

Pintu didorong dari luar ke bagian dalam kamar dan menampilkan Dirga yang datang memakai jaket denim. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Dia segera mendekat ke arah Farel dan duduk di tepi ranjang.

"Farel, kamu sakit apa?"

Melihat Farel tidak menjawab Dirga kembali bertanya, "Farel, jawablah. Kamu sakit apa sampai memakai masker? Aku menghubungimu semenjak kemarin sore, tapi kamu tidak pernah membalas dan ponselmu tidak aktif. Aku sangat khawatir sehingga aku memutuskan untuk datang ke sini dan melihat keadaanmu. Kamu sakit apa? Apa perlu aku antar ke rumah sakit?"

'Tubuh dan hatiku kesakitan, Dirga.'

Tiba-tiba kedua mata Farel mulai berlinang air mata, ia benar-benar terharu ketika ada orang yang benar-benar peduli kepadanya saat ini. Walaupun Dirga adalah orang yang dibenci oleh Farel asli, tapi tidak bagi Farel baru. Baginya tidak ada alasan yang bisa membuatnya membenci Dirga ketika Dirga datang menjenguknya dan khawatir kepadanya. 

Farel dengan perlahan bangkit untuk duduk, Dirga yang melihat itu segera membantunya. Saat Dirga akan kembali duduk di tepi ranjang, kedua tangan Farel segera melingkar di lehernya. Kepala Farel pun bersandar di bahu Dirga.

"Hik… hik…"

Isak tangis Farel tidak bisa lagi dibendung. Ketika dia benar-benar merasa sendirian didunia asing ini, masih ada satu orang yang mengkhawatirkan keadaanya. Dia benar-benar sedih dan senang. 

"Hik.. hik…"

Dirga kebingungan ketika Farel tiba-tiba menangis dan mulai membasahi pundaknya. Dengan pelan dia mengusap punggung Farel dengan lembut.

"Kenapa kamu menangis? Apa sesakit itu?"

"Hik… hik… Dirga… aku sangat sakit. Aku benar-benar kesakitan. Aku tidak kuat Dirga. Aku ingin pulang… Hik… Hik…"

Mendengar isakan yang semakin keras, Dirga tidak tahan untuk tidak membalas pelukan Farel. Dia memeluk Farel dengan erat. Berharap Farel segera merasa tenang.

"Kita pergi ke rumah sakit, ya."

Farel menggeleng, "Tidak. Aku hanya ingin pulang."

"Kamu sudah ada di rumah."

"Bukan, bukan disini."

Dirga bingung dengan maksud dari perkataan Farel. Dia ingin pulang kemana? Bukankah ini rumahnya? Apakah Farel punya rumah lain? Lalu dimanakah rumah tersebut?

Dirga tidak bertanya lagi saat Farel kembali menangis dalam pelukannya dengan pelan. Saat ini hal utama yang Dirga lakukan adalah menemani dan menenangkan Farel terlebih dahulu.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWhere stories live. Discover now