Bagian 74

3.3K 403 18
                                    

Hanya suara hening di antara meja kafe yang diisi oleh dua orang. Farel hanya menunduk merasa canggung karena semenjak tadi Bagas hanya memandangnya tanpa berbicara apapun. Farel tidak tahu apakah ada yang salah dengan dirinya sehingga Bagas menatapnya dengan intens.

Di seberang, Bagas hanya diam menatap Farel yang duduk di depannya. Farel terlihat memainkan jari-jari kukunya di atas meja.

"Apa kau benar mau keluar dari sini?"

 Farel mendongak melihat Bagas ketika mendengar Bagas bertanya kepadanya, "Iya, itu benar," jawabnya sambil mengangguk.

Hening kembali terjadi diantara keduanya. Farel yang bingung pun akhirnya berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Bagaimana dengan dia?"

Bagas mengernyitkan dahinya tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Farel, "Maksudmu?"

"Waktu itu kamu bilang, kamu membuat nada lagu untuk seseorang."

Bagas mengangguk mengerti, "Ah, itu…"

"Bagaimana hasilnya? Apa kamu sudah mempersembahkan lagunya kepada dia? Apakah dia senang?" Farel bertanya dengan antusias dan tertarik menunggu hasil baik yang akan di dengarnya.

Wajah Bagas segera menjadi sendu, "Sayangnya belum. Tapi… secara teknis dia memang sudah mendengarnya… hanya saja…"

"Hanya saja?"

Bagas melihat kerutan di dahi Farel. Tampaknya Farel sangat ingin mendengar jawabannya. 

"Hanya saja aku juga ingin sekalian mengungkapkan perasaanku," katanya dengan nada pelan dan pemalu. Wajahnya sekarang sudah memerah dan jantungnya berdegup dengan kencang.

"Itu bagus!" Seru Farel.

"Mempersembahkan sebuah lagu beserta mengungkapkan cinta, bukankah itu terdengar romantis?"

"Masalahnya, ada orang lain yang lebih dulu bilang menyukainya."

Raut wajah Farel yang tadinya antusias sekarang berubah drastis dan tidak menyangka mendengar jawaban itu. Dia agak merasa bersalah karena bersikap terlalu riang.

Farel pun berusaha menyemangati Bagas, "Apa dia menerima perasaan orang itu? Aku pikir kalau dia belum menyetujuinya, kamu masih memiliki kesempatan."

Bagas seperti mendengar secercah harapan terakhir. Kedua matanya berbinar dan menjawab, "Benarkah? Aku masih memiliki kesempatan?"

"Ah, iya. Jika dia belum menerima perasaan orang itu dan jadian. Kamu masih memiliki kesempatan."

"Kalian sedang membahas apa sedari tadi aku pergi ke toilet?" Dirga yang baru saja datang dari belakang Bagas mendekat ke arah Farel dan duduk kembali di tempat semula.

"Ah itu…" Farel melirik Bagas meminta persetujuan kalau Dirga boleh mengetahuinya. Bagas hanya diam. Dia tidak memberi isyarat apapun. Biasanya diam adalah tanda benar, kan?

Farel kembali menoleh ke samping, "Bagas ingin mengungkapkan perasaanya."

"Benarkah?"

"Iya."

Dirga melihat Bagas dan hanya diam. Matanya memancarkan sorotan tidak suka. Dia berbalik lagi dan tersenyum kepada Farel, "Sebaiknya kita pulang. Bagaimana menurutmu?"

"Boleh, aku sudah cukup lelah."

Dirga dan Farel beranjak dari kursi dan berpamitan kepada Yudha yang tengah berjaga di belakang counter kasir. Tidak hanya itu, saat melewati Bagas, Farel berbisik, "Semoga berhasil!"

Setelah itu keduanya pergi keluar dan masuk ke dalam mobil hitam keluarga Wijaya. Bagas yang masih ada di dalam kafe memandangi kepergian mereka berdua dari kaca pintu.

[BL] ÉkstraOnde histórias criam vida. Descubra agora