Bagian 47

5.6K 678 20
                                    

Seragam sekolah putih biru dongker terlalu kentara diantara warna-warna bernuansa kelam yang berada di sekitarnya. Murid lelaki yang mengenakan seragam putih biru tersebut berada di tengah-tengah ruangan sambil berdiri menunduk menghadap seorang lelaki dewasa yang duduk di kursi kerja miliknya.

Sepasang tangan murid lelaki tersebut saling terkait di belakang tubuhnya. Keringat dingin membasahi tangannya yang tidak bisa berhenti bergerak akibat gelisah.

"Kamu kembali kalah dari Dirga?"

Pertanyaan dingin tersebut membuat Farel menelan ludah kering. Dia tidak berani menjawab.

Kesal karena orang berdiri di depannya tidak mengeluarkan suara sama sekali, bahkan suara nafas yang keluar masuk pun hampir tidak terdengar. Seolah-olah orang yang tengah diajak bicara bukanlah orang melainkan batu. Dia kembali berbicara.

"Jangan hanya diam, jawab aku dengan benar."

Mendengar perintah dingin tersebut, Farel berusaha menjawabnya walaupun masih menundukkan kepalanya, "I-iya, Ayah."

Farel mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, dari pandangannya yang menunduk ke bawah lantai, dia bisa melihat sepasang sepatu kulit hitam berdiri tepat di depannya.

Plak.

"Akh!"

Tamparan keras dengan cepat mendarat di pipi kanan Farel. Erangan kesakitan tidak bisa tertahan di dalam dirinya dan akhirnya keluar sendiri. Dengan pelan dia memegang bekas tamparan ayahnya.

"Ini sudah berada di tahun ke tiga sekolah menengah pertama dan kamu masih belum bisa mengalahkannya? Kamu ini terlalu bodoh atau bagaimana?"

Dengan berat Farel mengangkat wajahnya dan melihat mata ayahnya yang tengah dikuasai kabut kemarahan.

"Maafkan aku, Ayah. Aku sudah berusaha lebih keras."

"Hahh."

Helaan nafas kasar keluar dari mulut ayahnya. 

"Berusaha lebih keras? Kamu bahkan masih berada di bawahnya."

Farel kembali menunduk dan menggigit bibir bagian dalamnya, padahal Farel sudah benar belajar lebih giat. Dia awalnya berada di peringkat kesebelas, namun seiring berjalannya menghabiskan waktu untuk belajar dia akhirnya bisa berada di peringkat kedua.

"Nilaiku dengan Dirga hanya selisih sedikit."

"Tapi, tetap saja kamu masih kalah dengannya, kan?"

Farel benar-benar marah dalam dirinya, mengapa ayahnya tidak mengapresiasi hasil kerja kerasnya. Dia akui memang dia belum bisa mengalahkan Dirga, tapi hanya selisih beberapa nilai bukankah itu terlalu berlebihan. Kenapa orang tuanya selalu membandingkan dirinya dengan Dirga?

"Kamu berteman dengannya saja tidak becus. Mengalahkannya juga sama tidak becus juga. Apa yang perlu kamu banggakan darimu? Bisakah setidaknya kamu bisa membanggakan kedua orang tuamu yang telah merawat dan mengorbankan banyak hal? Apa sesulit itu untuk berada di peringkat pertama?"

Kedua mata Farel sudah berair, hanya tinggal menunggu waktu hingga air tersebut tumpah.

"Beri aku waktu."

"Apa?"

"Berikan aku waktu lagi Ayah. Aku akan membuat ayah bangga dengan mengalahkan Dirga dan berada di peringkat pertama."

"Bagaimana caranya? Kalian sudah lulus sekolah menengah pertama."

"Aku akan mengikuti Dirga dan mengalahkannya di SMA. Setelah itu biarkan aku melakukan hal yang aku mau."

Ayahnya terdiam menatap Farel, setelah itu dia berjalan ke dekat pintu sambil berbicara, "Hanya omong kosong saja," kemudian dia membuka pintu dan, "Aku sangat menyesal karena telah…"

Brak.

Saat kedua mata Farel terbuka dengan perlahan, dia menemukan dirinya tergeletak di atas lantai dingin dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Cahaya yang menerangi ruangan kerja berasal dari sinar rembulan malam melalui jendela.

Dengan perlahan sambil menahan rasa sakitnya, Farel bangkit dan berjalan keluar dari ruangan ini. Dia berjalan dengan hati-hati saat menuruni tangga rumah sambil berpegangan pada pegangan tangga.

Tiba di tengah rumah, dia menemukan suasana rumah begitu sepi dan sunyi seolah tidak ada kehidupan lain selain dirinya di rumah yang besar tersebut.

Farel pun berjalan ke bagian dapur rumah, di rak dapur dia mencoba mencari obat kotak obat. Namun dia tidak menemukannya.

Ketika mencari di bagian sisi lain dapur, dia mendengar suara yang datang, "Nak, Farel sedang apa?"

Ibu paruh baya yang biasa bekerja di rumah Atmaja baru saja memasuki dapur saat hendak minum air, dia lalu melihat Farel di dalam temaramnya suasana dapur tengah berjongkok seolah mencari sesuatu.

Farel berbalik, namun karena lampu utama dapur tidak dinyalakan--hanya lampu di dekat pintu dapur saja yang menyala, pembantu itu tidak melihat luka yang ada di sekujur tubuh Farel. Terutama di bagian wajahnya.

"Saya sedang mencari kotak obat, ibu tahu dimana benda tersebut disimpan?"

"Loh, nak Farel memangnya kenapa butuh kotak obat? Nak Farel sedang sakit?"

"Iya Bu, saya kurang enak badan."

"Tunggu sebentar, saya ambilkan dulu kotak obatnya. Barangnya saya simpan di ruangan tengah di bawah meja."

"Tunggu dulu, Bu."

Farel buru-buru menahan kepergian pembantu tersebut, "Iya, nak Farel?"

"Saya ambil saja sendiri sekalian kembali masuk ke kamar."

"Oh, iya. Barangnya di simpan di lemari bawah televisi. Kalau nak Farel sedang sakit apa sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja?"

"Tidak perlu, Bu."

"Gapapa, nak Farel saya antar ke rumah sakit. Soalnya tadi ibu dan bapak pergi keluar rumah entah kemana."

"Tidak perlu, Bu."

"Kalau begitu saya buatkan minuman hangat untuk diminum dengan obatnya."

"Baik bu."

Farel pun perlahan berjalan mendekati pintu keluar dapur dan menunggu pembantu membuatkannya minuman. Pembantu tersebut melihat gerakan langkah kaki Farel yang terlihat aneh. Namun dia tidak terlalu memikirkan itu dan segera menyelesaikan tugasnya.

Baru ketika dia memberikan segelas teh hangat kepada Farel, dia akhirnya melihat wajah Farel yang lebam dan lecet.

"Kenapa dengan wajah nak Farel sampai babak belur begini?"

Pembantu tersebut merasa khawatir anak dari majikannya terlihat kesakitan. Farel hanya diam tidak menanggapi dan segera mengambil gelas yang baru saja diarahkan kepadanya.

Pembantu diam sebentar seolah ingat sesuatu, hingga dia akhirnya berbicara, "Apa Ibu dan Bapak yang melakukannya?" Ia bertanya seperti itu karena ia ingat tadi sore Ibu dan Ayah Farel turun dari lantai atas dan memintanya untuk tidak naik ke lantai atas. Dia hanya menuruti itu tanpa bertanya alasannya.

Farel diam untuk sementara waktu hingga akhirnya berbicara, "Terima kasih, Bu." Setelah itu dia pergi meninggalkan ibu tersebut yang diam di tempatnya karena dia ingat kalimat lain yang keluar dari Ayah Farel tadi sore, "Apapun yang kamu lihat nanti. Jangan lakukan apapun. Jangan membantu atau hal lainnya. Kalau kamu melanggar, kami tidak segan untuk mengeluarkan kamu dari pekerjaan ini dan tidak akan pernah bisa bekerja di tempat lain."

Ibu tersebut menahan tindakannya untuk membantu Farel dan dalam hatinya meminta maaf karena tidak bisa membantu Farel.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWhere stories live. Discover now