Bagian 72

3.4K 415 12
                                    

Sore harinya, selesai mengepak semua barang-barang yang dimiliki Farel. Dirga dan Farel membawa semuanya ke bawah dan memasukkannya ke dalam mobil hitam milik keluarga Wijaya yang sudah terparkir disana sedari siang tadi menunggu Dirga dan Farel turun ke bawah. 

Tidak membutuhkan waktu lama untuk membereskan semuanya, mereka berdua naik ke bagian tengah mobil dan duduk di sana.

Mobil hitam yang dikendarai oleh suruhan keluarga Atmaja mulai dihidupkan ketika mobil tidak jauh dari tempatnya mulai bergerak maju. Dia sudah tahu kalau sesuatu yang mencurigakan terjadi. Dia segera mengirim pesan suara kepada ayah Farel sambil menggerakkan mobil ke depan. 

Dirga yang memang sudah tahu kalau mobil hitam di belakangnya itu tengah membuntuti mobil miliknya memerintahkan supir untuk bisa menghindarinya. Supir mengangguk mengerti menerima perintah tersebut.

Awalnya supir keluarga Wijaya bergerak dengan cukup pelan ketika bergerak di jalan raya. Dia melakukan itu agar tampak tidak dicurigai. Tapi, ketika mobil berbelok ke dalam area jalan tol dan melewati loket pembayaran. Mobil segera melaju dengan cepat di dalam area jalan bebas hambatan. Setelah merasa mobil yang mengikutinya tidak terlihat, dia berbelok ke arah keluar tol dan kembali melaju di jalan raya biasa dengan tenang sampai ke kediaman rumah Wijaya.

Tiba di rumah Wijaya yang berada di kawasan elit perkotaan membuat Farel semakin yakin kalau keluarga Wijaya memiliki pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan keluarganya.

Farel mengikuti Dirga di belakangnya, Dirga yang menyadari itu berjalan dengan pelan dan menyejajarkan jalannya agar sama dengan Farel serta menuntunnya masuk ke dalam rumahnya.

Farel terpesona dengan bagian dalam rumah Dirga. Tidak hanya bagian depan bangunan yang tampak luas dan elegan, namun bagian dalamnya juga sama halnya. 

Dirga membawa Farel menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Tapi, dia memberikan kamar lain yang ada di sampingnya kepada Farel. Namun, ini adalah jawaban yang di dengarnya dari Farel, "Emm… bisakah aku tinggal di kamarmu? Aku hanya merasa takut tidur di kamar yang begitu luas seperti ini?"

"Ah, ya. Tentu saja kamu boleh tidur di kamarku. Sesuaikan saja dengan kenyamananmu."

"Terima kasih."

Farel mulai membereskan semua barang-barangnya dan tentu saja dibantu oleh Dirga agar pekerjaan tersebut segera selesai. Dia mandi sebelum makan malam dimulai dan turun ke lantai bawah menuju dapur untuk bertemu dengan kedua orang tua Dirga yang sudah menunggunya disana.

"Selamat malam, om, tante."

Farel mendekati kedua orang tua Dirga yang berdiri. Dia memberi salam kepada mereka dengan sedikit rasa canggung.

"Malam, Farel. Silahkan duduk. Mari kita makan dahulu."

Farel mengangguk dan mundur. Dia berjalan mendekati Dirga. Dirga menarik kursi di sampingnya dan menyuruh Farel untuk duduk di sana. Sedangkan ayah Dirga duduk di kursi kepala keluarga dan ibu Dirga dusuk di seberang mereka.

Terdapat berbagai jenis masakan tersedia di atas meja makan. Farel yang melihat semua hidangan yang menggiurkan tersebut merasa nafsu makannya meningkat dengan cepat dan ingin segera melahap semua hidapan tersebut tanpa menyisakannya.

Dirga dan kedua orang tuanya melihat Farel memandangi makanan dengan tatapan tersebut tidak tahan untuk tersenyum. Mereka semua berpikir kalau Farel terlihat lucu.

"Ayo makan Farel. Jangan hanya dipandangi saja. Kami secara khusus menyiapkan semua ini untukmu."

Mendengar kalimat keluar dari mulut ibu Dirga membuat Farel sedikit malu karena ketahuan. Dia mengangguk dengan canggung dan mengambil makanan dengan malu-malu.

Di tengah makan, ibu Dirga kembali berbicara, "Ayo tambah lagi nasi dan lauknya. Jangan sungkan dan anggap saja rumah sendiri."

"Terima kasih Tante."

Selama mereka berempat makan, Farel selalu memperhatikan sikap kedua orang tua Dirga yang selalu ramah dan hangat. Mereka berbicara kepada Dirga tentang banyak hal dan sesekali tertawa dengan pelan.

Farel merasa iri melihat itu. 

Dia juga ingin berkumpul dengan keluarga yang sungguh-sungguh menghargai dan menyayanginya seperti perlakuan kedua orang tua Dirga. Dia yakin, kedua orang tuanya di dunia asalnya pasti merindukannya dan ingin bertemu dengannya lagi.

Orang tua Dirga tidak hanya berbicara kepada Dirga, mereka juga selalu bertanya kepada Farel. Mulai dari sekolah, hobi Farel sampai bagaimana Farel dan Dirga bisa semakin dekat.

Farel benar-benar menikmati waktu bersama mereka bertiga.

Kedua orang tua Dirga tidak sekalipun membahas mengenai alasan kedatangan Farel di rumah mereka dengan tiba-tiba. Mereka juga tidak membahas bagaimana keluarga Farel. Hal tersebut membuat Farel nerasa semakin lega karena kegelisahannya akan adanya pertanyaan tersebut sirna begitu saja.

Selesai makan, mereka pergi bersama ke ruang keluarga dan menonton tayangan televisi disana. Mereka tidak benar-benar menonton dan lebih banyak mengobrol.

Karena terlalu asyik mengobrol, mereka melupakan waktu yang sudah semakin malam.

"Sebaiknya kalian segera tidur di kamar. Besok kalian masuk sekolah dan jangan sampai bangun kesiangan."

"Baik, Tante."

Dirga dan Farel naik ke lantai dua dan masuk ke kamar Dirga. Di sana Dirga tidak menuju ranjang dan memilih duduk di sofa yang ada. Farel yang sudah ada di ranjang bertanya, "Apa kamu mau tidur disana?"

"Iya."

"Kenapa? Ranjang ini lebih besar dari ranjang di kamar kosanku. Kemarin kamu tidak keberatan tidur disana."

"Hanya saja, kemarin aku tidak punya pilihan lain."

"A-apa kamu tidak nyaman tidur bersama."

"Tidak. Bukan itu maksudku."

"Kalau begitu, kesini dan temani aku."

"Baiklah."

Dirga pun berbaring di ranjang di samping Farel. Keduanya diam melihat langit-langit di kamar Dirga.

"Aku iri kepadamu."

Dirga menoleh mendengar itu. Farel perlahan menoleh juga dan balas menatap Dirga. Dia melanjutkan, "Aku juga ingin memiliki keluarga yang hangat, menyayangiku dan menjagaku."

Tangan Dirga bergerak dan memegang pipi Farel. Dengan lembut dia mengusap itu. Dia menjawab, "Kamu punya aku saat ini. Kamu bisa menganggapku sebagai keluargamu."

Tangan Farel memegang tangan Dirga yang ada di pipinya, dia pun tersenyum dengan lembut.

Tiba-tiba sesuatu datang di pikirannya dan membuatnya segera bertanya, "Omong-omong, keluargamu tampak hangat. Tapi, kenapa waktu pertama aku merasa kalau kamu bersikap kaku dan acuh."

"Ah, itu. Sebenarnya aku bersikap seperti itu hanya kepada orang-orang yang tidak terlalu dekat saja. Tetapi ketika aku semakin dekat dengan seseorang, terutama kamu, pribadi asliku muncul dengan sendirinya."

Pipi Farel tentu saja sudah merah merona mendengar itu.

"Apa selain aku dan Bagas, kamu tidak pernah dekat dengan orang lain lagi?"

Dirga terdiam untuk waktu yang lama, hingga dia akhirnya berbicara, "Ya, dulu aku pernah dekat dengan orang lain."

"Benarkah? Siapa dia? Kenapa kalian tidak bersama lagi?"

Raut wajah Dirga berubah dan hal itu membuat Farel kecewa dengan antusias pertanyaannya yang sia-sia. Dia seharusnya tidak bertanya lebih lanjut sejak Dirga menjawab lama. Itu pasti hal yang tidak ingin dibicarakan.

"Maafkan aku. Aku seharusnya tidak bertanya seperti itu."

"Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu tidak salah apapun. Sebaiknya kita berdua segera tidur. Sekarang sudah tengah malam. Takutnya kita berdua bangun kesiangan dan telat pergi ke sekolah."

Setelah itu, Dirga mematikan lampu dan keduanya berusaha untuk tidur.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] ÉkstraWhere stories live. Discover now