Bab 4 - Aku Tidak Suka

887 47 3
                                    


Gertakan Morgan berhasil menjauhkan lelaki itu dari Margaret. Lalu dia menggandeng tangan adiknya melewati koridor kelas tiga. Tapi tatapan para senior mengiringi langkah mereka, terutama tertuju pada Margaret, membuat Margaret malu, ia menundukkan kepalanya dan hanya bisa melihat tangan Morgan yang menggenggam.

Suasana kantin tidak terlalu ramai. Morgan mengajaknya duduk di meja pojok dekat kaca yang terhubung dengan taman. Dia membawa nampan berisi menu makan siang yang dipilih sendiri dari prasmanan kantin.

"Kak, apa kau ada jadwal les lagi di hari minggu?"

"Tidak, kenapa?"

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" usul Margaret.

"Ide bagus." Morgan makan sambil menatap adiknya yang duduk di hadapan.

 Notifikasi pesan membuat Margaret sibuk dengan ponselnya. Dia tersenyum-senyum sendiri. Morgan tampak mengerut heran, lalu dengan penasaran bertanya. "Kau sedang apa?"

"Teman-temanku mengirim gambar lucu. Bahkan Ronald juga masih chattingan denganku meskipun kemarin aku tolak. Sikapnya yang dewasa membuatku kagum. Dia tidak menghindariku."

"Benarkah? Coba sini lihat!" Morgan menyambar ponsel dari tangan Margaret. Setelah ia lihat ternyata Margaret sedang chattingan dengan kontak Ronald. Morgan manyun dan alisnya berkedut menandakan ketidaksukaannya.

"Apa kalian sedekat ini?" tanya Morgan.

"Bisa dibilang kami teman sejak kelas satu. Tidak mungkin tidak dekat kan?" jawab Margaret.

"Aku tidak suka kau akrab dengan laki-laki lain, selain aku dan ayah." Morgan dengan gamblang mengungkapkan.

"Tapi dia kan temanku. Wajar kalau kami bisa akrab. Kenapa kakak melarang?" Margaret tak setuju atas perkataan Morgan. Dia tahu kakaknya ini banyak melarang untuk dekat dengan lawan jenis. Tapi masalahnya adalah, lawan jenis itu adalah teman baiknya. Maka tidak mungkin Margaret mengabaikan.

"Aku tidak suka." Morgan merengut. Bicara to the point.

 "Kembalikan ponselku." Tangan Margaret meraih, tapi Morgan sembunyikan benda itu di belakang tubuh.

"Suapi aku saja sampai habis," kata Morgan. Margaret berdecak bete, namun ia menuruti ucapannya, mengambil sendok ke makanan lalu diarahkan ke mulut sang kakak.

Mereka terlihat harmonis. Sudah banyak orang tahu kalau mereka adalah kakak beradik. Sehingga tidak ada anggapan bahwa keduanya merupakan pasangan kekasih.

Walau begitu, kedekatan mereka terkadang mengundang kejanggalan di benak orang lain. Seperti murid baru bernama Jessica yang belum tahu tentang mereka. Sejak melihat mereka masuk ke kantin, duduk berdua dan suap-suapan dipojokkan, Jessica merasa agak iri sekaligus aneh setiap kali memperhatikan mereka.

Tapi tidak ada masalah, tidak ada yang aneh, semuanya nampak normal. Jessica cukup penasaran. "Apa mereka pasangan kekasih?" tanya Jessica pada Ribella.

Ribella melirik ke sekitar dan menemukan orang yang dimaksud Jessica. "Oh, bukan. Mereka saudara beda setahun." Ribella menjawab apa adanya.

"Oh, memang saudara sedekat itu ya?" Jessica hanya bergumam tapi terdengar ke telinga Ribella. Gadis itu tersenyum kecil menanggapi komentar Jessica.

"Apa kau berpikir kalau mereka pasangan? Yah siapapun akan beranggapan begitu kalau belum tahu mereka, saking dekatnya hubungan kakak beradik itu," ujar Ribella.

"Aku juga punya seorang kakak laki-laki. Tapi kami saling acuh tak acuh. Bagaimana denganmu?" tanya Jessica.

"Ya, aku pun punya kakak laki-laki, dan dia sangat peduli padaku walau kepeduliannya lebih layak disebut sangat posesif."

"Bagaimana bisa seperti itu? Apa semua kakak laki-laki begitu pada adik perempuannya?" Jessica kaget dan keheranan.

"Itu hal yang wajar. Yang kutahu, kebanyakan kakak laki-laki akan menjaga adik perempuannya dari laki-laki brengsek. Karena mereka lebih paham sifat seorang lelaki," jelas Ribella beropini. Saat itu terlihat Morgan berpindah duduk menjadi di samping Margaret.

"Aku harus ke perpustakaan." Ribella bangkit diikuti dengan Jessica.

"Aku akan kembali ke kelas," kata Jessica, membawa cup minumannya dan mereka berjalan keluar dari kantin. Untuk terakhir kalinya sebelum pergi, Jessica melirik ke arah mereka lagi, dan melihat Morgan menundukkan kepalanya pada Margaret. Entah sedang apa mereka, tetapi gestur tubuhnya terlihat seperti mencium seorang gadis jika dilihat dari belakang punggung Morgan.

 Sementara itu Morgan sedang membisikkan sesuatu ke telinga Margaret. "Aku ingin semua orang tahu, kalau ingin memacarimu maka mereka harus berhadapan denganku dulu, babe." Lalu Morgan menegakkan tubuhnya lagi. "Tapi tidak semudah itu aku beri restu pada mereka." Dia mengambil gelas air dan meminumnya dengan elegan.

Margaret mendengus. "Bagaimana denganmu? Siapa yang akan melarangmu berpacaran? Tidak ada. Ini tidak adil."

Senyum miring terukir di sudut bibir Morgan saat mendengarnya protes. Lalu mengatakan kalimat penuh makna. "Tergantung dirimu."

***

Saat bel pulang sekolah dan kelas bubar, Morgan masuk ke kelas Margaret, menghampirinya yang sedang membereskan buku. Kehadirannya di sini menarik perhatian Jessica yang bersebelahan dengan Margaret. Gadis itu memperhatikan mereka berdua yang kemudian berlalu keluar.

Mobil jemputan Margaret dan Morgan sudah menunggu. Seperti biasa, mereka dijemput supir pulang pergi ke rumah. Sama seperti anak murid lain yang kaya. Sekolah mereka bertaraf internasional dan tidak sembarangan menjadi murid di sana, selain harus pintar juga karena diisi anak-anak pejabat hingga anak konglomerat.

 Margaret berpamitan dengan dua temannya; Ribella dan Lua di gerbang sekolah sebelum masuk ke mobil masing-masing.

Pasangan kakak beradik itu duduk bersampingan di jok penumpang, sementara mobil melaju halus di jalan raya. Sampai ketika Morgan melirik ke Margaret dan mendapati ekspresi gadis itu seperti sedang berpikir.

"Apa yang membuat dahimu mengerut, Margaret?" tanya Morgan.

"Tidak lama lagi akan ada ujian. Aku khawatir tidak lulus di pelajaran fisika. Karena itu pelajaran yang tidak aku sukai. Bagaimana ini kak?" Ucapannya bernada sedih. Dia menatap kakaknya dengan pandangan memelas.

"Aku akan menjadi guru lesmu," pungkas Morgan tanpa ragu. Dia melihat ke tangan Margaret yang menganggur, kemudian menggenggamnya dengan menyematkan jemari mereka ke sela-sela. "Aku akan menjadi pembimbingmu."

Margaret tersenyum tulus. "Aku merasa beruntung punya kakak paling pintar di angkatannya."

Mobil mereka berhenti di halaman depan rumah. Mereka turun lalu masuk ke rumah dua lantai model modern minimalis. Tidak disangka mereka melihat ibu sudah ada di rumah.

"Tumben sekali ibu pulang sore," celetuk Margaret.

"Projek ibu sudah selesai jadi ibu bisa pulang tepat waktu. Bagaimana kalian di sekolah?" tanyanya, menuangkan teh hangat ke cangkir.

"Seperti biasanya," jawab Margaret, sementara Morgan berlalu masuk ke kamar. "Bagaimana dengan ayah? Apa akan lembur lagi hari ini?"

"Tidak, ayah sedang ke minimarket tadi beli camilan," kata ibu. "Kau mau makan malam apa?"

"Apa saja yang dibuat ibu." Margaret menjawab sambil berjalan ke kamar.

Dia membuka pintu kamar dan bertepatan dengan Morgan yang melepas bajunya. Margaret agak tersentak kaget lalu mengalihkan pandangannya cepat. Dia tutup pintu kamar mereka dan berjalan meletakkan tas di kursi, sembari otaknya mengingatkan bahwa melihat Morgan shirtless adalah hal biasa. Namun, tetap tidak terbiasa bagi detak jantungnya yang bergetar.

Margaret mengeluarkan buku dari tas, pengalihan dari perawakan Morgan yang sedang mengganti baju. Tiba-tiba suhu ruangan berubah hangat. Margaret melihat sekeliling kamar dan terdiam membeku, saat merasakan bayangan kakaknya berdiri di belakang. Aroma tubuhnya terciuma sangat dekat, membuat Margaret enggan untuk berbalik menatapnya. 

***

Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang