Bab 13 - Tidurin?

687 37 6
                                    

"Tidur atau ditidurin?" Embusan napasnya menerpa wajah Margaret. Detak jantung Margaret semakin kencang. Jelas saja pilihan tersebut membawa pikiran Margaret pada adegan tak senonoh secara otomatis. Sehingga suhu tubuhnya meningkat tanpa sadar. Margaret menelan ludah. Sadar bahwa pikirannya sudah gila sekarang. "Apa yang akan kakak lakukan jika aku memilih yang kedua?" Margaret menantang, sekedar ingin tahu sejauh mana candaan Morgan. Tapi pertanyaannya disambut dengan seringai misterius di bibir Morgan. Lalu Morgan menunduk ke telinga gadis itu, menempelkan hidungnya pada daun telinga adiknya yang sudah memerah. "Aku akan bersabar menidurimu sampai kau benar-benar tidur, sweety." Morgan gigit telinga Margaret, sengaja menggodanya, tanpa sadar telah menciptakan getaran berbeda di dalam tubuh Margaret. Darahnya seakan berdesir oleh gigitan kecil tersebut. Margaret berdeham, bahaya jika larut dalam suasana ini. Dia tidak ingin gila karena pikirannya sendiri. "Aku sudah besar, tidak perlu ditidurin lagi seperti anak kecil." Disentuhnya kedua pundak Morgan, mendorongnya menjauh.

"Apa kau tahu? Ada banyak orang dewasa yang masih ingin ditidurin setiap malamnya." Ucapan Morgan semakin menjerumus, sementara Margaret bukan gadis yang tidak tahu apa-apa. Tentu percakapan ini menyambung dalam imajinasi Margaret. Sampai-sampai wajahnya memanas. Untung ruangan ini gelap, sehingga Morgan tidak tahu betapa wajah Margaret sudah terbakar. Margaret lalu mendengus, menggelengkan kepala untuk menetralisir reaksi tubuhnya. "Apa sih yang kakak maksud?" Dia pura-pura tidak mengerti.

Morgan beranjak, menutup pintu dengan menguncinya, tak lupa mematikan lampu kamar. Suara kuncinya membuat Margaret bertanya heran, sebab tidak biasanya kamar mereka dikunci dari dalam, jarang malah.

"Kenapa dikunci?"

"Supaya tidak ada yang masuk sembarangan ke kamar kita," jawab Morgan. Dia berbaring di sisi Margaret ke kasur.

"Tapi kan di rumah ini hanya ada kita dan ayah saja," kata Margaret melirik ke arah lain, gugup. Morgan menikmati ekspresi adiknya saat ini sambil tersenyum kecil.

"Tidak masalah kan kalau ada yang masuk?" Margaret bertanya sambil perut ratanya dipeluk lengan Morgan yang kuat.

"Setidaknya dengan dikunci, ada jeda waktu untuk mempersiapkan diri jika mereka ingin melihat kita," gumam Morgan di ceruk leher adiknya. Margaret yakin, jantungnya akan meledak. Sikap Morgan saat ini benar-benar bisa membuat orang lain salah paham pada mereka. Posisi ini terlalu intim untuk kakak beradik. Margaret memalingkan wajah.

"Memangnya kita bersiap karena apa?" heran Margaret. Kali ini dia tidak cukup paham maksud kalimat kakaknya. "Pokoknya aku tidak suka siapapun tidak mengetuk pintu dulu," pungkas Morgan, kemudian menyingkir dari atasnya tetapi berbaring di samping sang adik. "Kenapa tidur di kasurku? Sana pindah! Kau punya kasur sendiri!" Margaret mendorongnya. Sayangnya percuma jika Morgan tidak berkehendak. Lelaki itu menarik tubuhnya menempel.

"Aku tidak bisa tidur tanpa memeluk sesuatu. Sekarang pejamkan matamu dan bermimpilah tentang kita," kata Morgan. Dia mengelus-elus pinggang Margaret, sesekali mengecup pipinya.

Sementara Margaret merasa tidak akan bisa tidur. Dia menegang dalam dekapan sang kakak.

***

"Aw!" pekik Margaret dari dalam kamar mandi bersamaan dengan suara benda jatuh.

Morgan cemas. "Margaret? Apa kau baik-baik saja?" Setahunya gadis itu masuk ke kamar mandi untuk mandi setelah bangun tidur.

"Aku baik-baik saja!" teriak Margaret berbohong. Dia terjatuh dan terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Sebelah kakinya yang tidak berfungsi cukup merepotkan aktivitas Margaret. Margaret kesal tapi ada daya, masih dalam proses pemulihan.

Lantas dia berpegangan benda di sekitar untuk membantunya bangun. Saat berusaha keras untuk berdiri kembali, ia lagi-lagi terjatuh memekik. Kali ini rasanya lebih sakit dengan nyeri di bagian yang diperban. Semakin menambah cemas perasaan Morgan yang berada di depan pintu kamar mandi.

"Margaret? Apa kau butuh bantuan? Jangan memaksakan diri!"

Margaret tidak menyahut. Gadis itu fokus pada rasa sakitnya yang menyerang. "Kakak... Sakit!" rengeknya, hanya bisa berselonjor di lantai kamar mandi, meratapi nasibnya yang tak mampu berdiri.

Langsung saja Morgan membuka pintu dan secara mengejutkan pintunya tidak dikunci. Dia masuk tanpa ragu lalu menemukan Margaret sedang menangis di lantai dengan kruk yang tergeletak di sampingnya. Abaikan penampilan yang hanya menyisakan dalaman. Morgan cekatan menggendong Margaret kemudian mendudukkannya ke atas kloset.

"Tahan kakimu di atas bathub." Morgan pelan-pelan membawa kaki terbalut perban itu nangkring di tepian bathub yang bersebelahan dengan kloset. Sehingga membuat pahanya terbuka, Margaret diam menahan malu saat ini.

Morgan menutup pintu kamar mandi dan kembali ke sisi Margaret seraya menyalakan shower. "Buka dalamanmu," perintah Morgan, bersiap untuk memandikan sang adik. Tapi Margaret menolak dengan alasan bisa mandi sendiri.

Morgan menggeleng tak percaya. "Baru saja aku biarkan kau masuk ke kamar mandi sendiri dan terjatuh, sekarang kau kekeh ingin melakukannya sendiri? Dengarkan perintah kakakmu," tegas Morgan, sangat khawatir.

Margaret manyun. Pipinya memerah. Dia bergeming tak mendengarkan, membuat Morgan menghela napas mengerti tetapi tidak berniat meninggalkannya di sini.

"Margaret jika kau merasa malu telanjang di depan kakakmu, lebih malu mana jika harus telanjang di depan orang lain yang merawatmu? Kita sudah sering mandi bersama dulu. Tidak ada yang berubah antara kau dan aku. Jadi, buka, atau aku yang melepaskannya?" desak Morgan, meyakinkan Margaret.

Mata Margaret mendelik sebal. Menyerah untuk keras kepala, ia melepas bra nya perlahan-lahan. Dan Morgan dapat melihat dengan jelas bentuk buah dada adiknya yang telah berubah. Jika dulu Margaret masih sangat rata mengingat usia yang kecil, sekarang dadanya berkembang lebih baik sebagaimana seharusnya.

Morgan membuka tangannya, dan Margaret berikan bra itu kepadanya untuk ditaruh di keranjang pakaian kotor. Sementara dia membuka celana dalamnya ragu-ragu, namun pada akhirnya celana itu ia lepaskan sampai ke ujung kaki. Sekarang Margaret benar-benar polos di depan kakaknya.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now