Bab 8 - Apakah Aku Tampan?

487 37 4
                                    

Margaret mengambil minuman kaleng dari vanding machine, lalu ia berikan pada Jessica. "Sebagai ucapan terima kasihku karena sudah membantuku menjawab pertanyaan di kelas tadi," ujar Margaret dengan senyum manis.

"Ah, kau tidak seharusnya... terima kasih," kata Jessica segan tapi menerima sodoran kaleng soda tersebut.

"Bagaimana denganku, Margaret?" celetuk Lua jahil.

"Baiklah, aku belikan untuk kalian berdua sekalian." Margaret sedang berbaik hati, seketika kedua temannya terkejut dan mengucapkan terima kasih. Margaret kembali memasukkan beberapa koin lagi ke dalam mesin minuman otomatis. Tiga kaleng keluar, lalu diberikan dua pada Lua serta Ribella, sisanya untuk diri sendiri.

"Cheers!" Mereka bersulang, diminum bersama.

"Jessica sepertinya kau pintar fisika, bagaimana caramu mengerjakan soal tadi dengan jawaban benar?" Margaret penasaran. Di antara semua mata pelajaran, fisika adalah pelajaran yang sulit dipahami baginya.

"Aku hanya mengikuti contoh soal saja, rumusnya hampir mirip kok," jawab Jessica rendah hati.

"Lagipula, kulihat kau melamun di kelas fisika tadi, kalau ada masalah sebaiknya cerita pada kami," timpal Ribella.

Mendengar perkataan gadis bermata ocean tersebut membuat Margaret termenung sejenak dan berpikir. Tentang kakaknya dan ciuman malam itu, cukup mengganggu pikirannya hari ini. Lantas ditatapnya Ribella lurus-lurus. Tercermin di matanya memendam banyak kata untuk diungkapkan pada Ribella, dan Ribella diam menunggu gadis itu bicara.

Di antara teman-teman dekatnya, Ribella menjadi satu-satunya teman yang memungkinkan akan paham pada cerita Margaret tentang keresahan hatinya. Margaret bisa menebak kalau mereka berdua memiliki beberapa kemiripan sebagai sesama adik perempuan.

"Ribella, bisakah kita bicara berdua?" pinta Margaret.

"Kalau begitu aku ke kelas," pamit Lua peka, disusul Jessica.

Margaret dan Ribella masih berdiri di dekat vanding machine yang sepi. Jarang ada orang lain berlalu lalang melewati mereka di sini. Suasana lengang ini mendukung Margaret untuk bercerita dengan tenang.

"Aku merasa aku telah melakukan hal kesalahan dengan kakakku," buka Margaret mengawali. "Kau tentu melihat kejadian kemarin di kelas di mana kakakku menghajar Ronald, kan? Itu karena aku mengadu pada kakakku karena Ronald telah menciumku sepihak."

Margaret menarik napas dalam. Kemudian dengan segenap hati ia memberanikan diri bercerita terbuka pada Ribella, sosok sahabat yang sangat ia percaya.

Setelah mendengar semua curahan hati yang terdengar agak gila jika orang lain dengar, tapi tetap tidak mengubah ekspresi wajah datar Ribella yang terlihat kalem dan tenang, seolah-olah tak memiliki emosi. Gadis itu sedang mencerna seluruh cerita Margaret tentang kakaknya.

Margaret menunggu responnya, mengharapkan saran Ribella yang ia anggap sebagai orang bijaksana.

"Aku tidak melihat ada kesalahan di antara kalian," ucap Ribella. "Kalian saling mencintai sebagai sesama saudara, hanya saja cara kakakmu mencintaimu sedikit berbeda dari sosok kakak pada umumnya yang suka bertengkar."

"Tentang ciuman kalian... coba ingat lagi, sudah berapa banyak kalian menghabiskan masa kecil bersama, mandi bersama dan tidur bersama? Harusnya skinship seperti itu tidak kau pusingkan."

"Tapi, dulu kan kami masih kecil, berbeda dengan sekarang kami sudah berubah secara fisik." Margaret diam merenung, dan mengakui perkataan Ribella ada benarnya. Margaret ingat masa kecil mereka jika diibaratkan seperti sepasang sepatu. Selalu bersama dan saling menyayangi.

Margaret menghela napas panjang. "Jadi yang aku rasakan ini sebenarnya hanya kekagetan saja, ya, atas sikap seperti itu?" gumam Margaret, memandang ke luar jendela koridor.

"Cobalah untuk mencari pacar lalu rasakan perbedaannya pada dirimu sendiri, apakah benar kau jatuh cinta pada kakakmu sebagai lawan jenis atau saudara." Ribella bicara dengan santai, lalu meminum softdrinknya datar.

"Apa kau tidak terkejut mendengar ceritaku? Apa kau tidak menganggapku aneh atau gila?" heran Margaret.

Ribella menoleh. Menatap ke mata Margaret seraya tersenyum penuh arti. "Aku sangat mengerti dengan ceritamu. Karena aku lebih dari yang kalian alami," tandasnya tegas.

Margaret membuka bibirnya dan tercengang terhadap kalimat akhir itu. Sarat bermakna ganda, dan membuat pikirannya berkelana semakin jauh dalam menebak-nebak maksud Ribella. Terbayangkan otomatis di otak Margaret tentang bagaimana hubungan persaudaraan Ribella dengan kakak laki-laki terjalin lebih intim dari sekedar kakak beradik yang harmonis.

"Kau..." Sekarang malah Margaret yang kehabisan kata-kata, lebih tepatnya ragu dengan dugaan di kepalanya.

Ribella mendengus tenang. Dia tahu arah pikir Margaret tentang dirinya sekarang. "Aku hanya menjalani kehidupan sebagai seorang adik perempuan yang dilimpahi kasih sayang keluarga." Lalu ia meneguk minumannya sejenak sambil memandang ke taman sekolah. Menghindari tatapan Margaret. "Kenapa kau menatapku aneh begitu?"

"Tidak... Hanya saja aku sedikit lega. Ternyata kita sama-sama memiliki kakak yang... protektif." Margaret bingung menyebut sebagai apa selain dari kata protektif tersebut untuk menggambarkan sikap kakak laki-laki mereka.

Tapi percakapan mereka berhenti ketika bel masuk berbunyi. Mereka kembali ke kelas, dengan Margaret yang sudah merasa lega. Mulai sekarang ia tidak akan ambil pusing lagi terhadap Morgan. Mulai sekarang juga, Margaret menganggap perasaan dirinya pada Morgan sebatas kasih sayang adik kepada kakak laki-laki.

Tetapi, ia tidak tahu bagaimana ke depannya bersama Morgan. Apakah benar perasaan ini sebatas persaudaraan atau mungkin ada hal lain yang mengejutkan, hanya belum disadari saja?

***

"Bisakah kita istirahat sebentar?" rengek Margaret. "Aku pusing belajar terus."

"Kau baru satu jam belajar di rumah tapi sudah lelah? Lalu bagaimana saat kau belajar di sekolah yang berjam-jam?" balas Morgan mengomel.

Margaret mengerucutkan bibirnya. "Aku bosan... Teori ini sulit dicerna otakku yang pas-pasan."

"Aku punya puding, apa kau mau?" tawar Morgan, langsung disambar Margaret yang mengatakan mau dengan semangat.

Morgan kemudian beranjak dari meja belajar, berjalan keluar ke dapur lalu mengambil puding dingin dari kulkas. Saat itu Margaret menyusulnya dan melihat bagaimana kakak memotong puding coklat.

Gadis itu bersandar pada meja bar dengan tangan bersidekap dada memperhatikan Morgan. "Kenapa kau melihatku terus? Apa ada sesuatu di wajahku?" tegur Morgan sadar sambil memindahkan potongan puding ke piring kecil.

"Wajah kakak semakin berubah. Padahal dulu kau punya pipi chubby," komentar Margaret heran.

Morgan melangkah mendekat dan berhenti di depan Margaret, dengan tatapan tertuju pada gadis itu, Morgan mencondongkan tubuhnya nyaris mengikis jarak. Jarak yang kian dekat membuat Margaret menegang kaku terpojok di meja bar. "Lihat aku baik-baik," gumam Morgan di depan wajah adiknya.

Sepasang mata hazel Morgan terlihat cantik namun memiliki kesan tajam yang memikat. Bulu matanya lentik persis seperti seorang gadis. Mancung dan ramping bentuk hidungnya. Turun ke bibir, ia memiliki bibir tipis dengan warna merah muda alami. Garis rahangnya tegas juga bersih dari jambang.

Secara visual lelaki itu telah berubah menjadi seorang laki-laki tulen. Margaret sudah tidak bisa melihat sisi gemoy nan lucu pada tampang Morgan yang sekarang. Namun perlu ia akui dalam hati kalau wajah tampan kakaknya tidak hanya berhasil memikat lawan jenis, tapi juga dirinya yang merupakan sang adik.

"Kakak..." Disentuhnya dagu Morgan dengan ibu jari dan telunjuk, Margaret dongakkan wajah kakaknya lalu ditolehkan ke kanan dan kiri. "Aku melihat wajahmu dengan sangat jelas. Apa yang ingin kau beritahukan padaku?" ujar Margaret.

"Apakah aku tampan?"

Margaret seketika mendengus konyol. Pertanyaan tersebut terdengar aneh. "Tentu saja kakakku sangat tampan. Apa ada masalah dengan wajahmu sampai harus bertanya?" timpalnya.

"Kalau para gadis di sekolah jatuh cinta padaku karena ketampananku, bagaimana denganmu? Apa kau tidak jatuh cinta padaku?"

***


Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now