Bab 17 - Hmm

281 22 1
                                    

"Aku hanya ingin memelukmu seperti ini." Morgan lingkari pinggang Margaret dengan erat. Tapi Margaret tidak nyaman dengan posisi seperti ini, jadi ia memberontak untuk kembali duduk seperti biasa. "Tidak, biarkan seperti ini," cegah Morgan.

"Kenapa?" tanya Margaret polos.

"Aku ingin memelukmu lebih lama lagi dan lebih banyak lagi," ucap Morgan menyandarkan dagunya di pundak adik kesayangan, lalu ia belai rambut Margaret ke belakang telinga sebelum mengecup lehernya dengan lembut.

"Stiknya sudah habis, aku boleh minta punyamu?" kata Morgan. Satu-satunya stik biskuit yang tersisa kini berada di bibir Margaret. Lelaki itu langsung menggigit ujung pocky kemudian memakannya perlahan-lahan sambil semakin mendekatkan bibir mereka.

Margaret menjadi kaku, jantungnya berdebar kencang melihat wajah tampan Morgan tepat di depan matanya. Dia tahu apa yang akan terjadi, oleh sebab itu ia memundurkan kepalanya dan menjauh sedikit dari wajah Morgan.

Namun Morgan menahan tengkuknya lebih cepat, sehingga detik berikutnya ia mencium bibir Margaret hanya untuk mengambil sisa pocky yang tersisa di bibirnya.

Margaret terkejut saat bibir mereka kembali bertemu. Matanya melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Wajahnya memerah, mencerminkan campuran antara kebingungan dan kegembiraan. Dia merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. Setelah ciuman itu berakhir, dia menatap Morgan dengan tatapan penuh tanya, mencari jawaban atas tindakan tiba-tiba yang dilakukan olehnya.

"Kenapa kau lakukan itu? Belakangan ini kau sering menciumku," ujar Margaret kaget.

"Aku menyayangimu. Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa sayang, dan inilah caraku untukmu," jawab Morgan. "Apa kau tidak menyayangiku?"

"Aku sayang kakak. Sangat sayang!" balas Margaret ceria.

"Cium aku."

"Huh?" Margaret kaget lagi. Dua suku kata tersebut tidak pernah terpikirkan Margaret. Dirinya dicium saja sudah membuat suhu tubuh panas dingin. Sekarang dipinta untuk menciumnya lebih dulu?

Margaret tentu merasa tindakan ini tabu dilakukan antar saudara kandung, walaupun ia tahu ada keluarga di belahan dunia lain yang masih melakukan skinship meski sudah dewasa sebagai bahasa cinta mereka. Namun tetap saja Margaret malu untuk melakukannya. Dia tak terbiasa.

"Cium aku kalau kau menyayangiku, sama seperti kau menyayangi bonekamu. Kau selalu menciumi mereka sebelum tidur, dulu." Morgan mengingat kebiasaan adiknya di masa kecil.

"Baiklah, tapi aku malu," bisik Margaret menundukkan wajahnya.

"Kenapa kau malu pada kakakmu?" Morgan angkat dagu gadis itu, membuat matanya menatap mata Margaret yang bulat. Margaret berkedip. Saking dekatnya wajah mereka, Margaret bisa melihat dengan jelas bulu mata Morgan yang cantik.

"Aku suka bulu matamu. Kenapa kau memiliki bulu mata sebagus itu dibanding aku?" Margaret mengalihkan pembicaraan.

"Kau memilikinya. Tidak ada yang berbeda dari kita. Semua yang kita miliki di tubuh ini juga sama, bahkan darah yang mengalir di nadi kita pun sama." Lalu Morgan membawa tangan kanan Margaret untuk singgah di pipinya. "Cium aku atau kau tidak bisa menonton drama lagi untuk selamanya," ancam Morgan, hanya bermain-main dengan ancaman tersebut.

Tapi berhasil membuat Margaret cemberut dan percaya. Mereka hening beberapa saat, membiarkan gadis itu mempersiapkan diri untuk melakukan perintahnya. Margaret menatap bibir tipis nan merah muda alami milik kakaknya dengan pandangan penasaran sekaligus ragu. Dia belai bibir Morgan dengan ibu jarinya.

Sikap lambat Margaret menguji kesabaran Morgan yang menunggu dicium, sampai rasanya Morgan ingin menciumnya duluan saking gemas. Tapi Morgan hanya menutup mata dengan tenang, menikmati sentuhan kecil jari Margaret di bibir.

"Kalau kau penasaran, kenapa tidak mencobanya?" kata Morgan memberi dorongan halus melalui kata-katanya, berharap Margaret cepat bertindak daripada membuatnya habis kesabaran nanti.

Margaret menelan ludah dengan berat ke tenggorokan. Dan dengan segenap keberanian, wajahnya maju hingga menyentuh bibir Morgan sebagai ciuman yang ia lakukan duluan, pertama kali dalam hidup Margaret. Margaret hanya menempelkan bibir mereka kemudian melepaskannya lagi, lantas menatap wajah tampan Morgan untuk mencari reaksinya.

"Permulaan yang bagus," puji Morgan tersenyum.

Tiba-tiba terdengar suara pintu utama terbuka. Ayah masuk dan melihat mereka di ruang televisi. Wajahnya terlihat lelah dan kucal. "Kalian sedang apa?" tanya ayah. Merasa heran melihat dua anaknya dalam posisi tersebut, di mana Margaret dipangku kakaknya di sofa.

"Margaret butuh di ninabobo kan sebelum tidur," jawab Morgan, jelas bohong. Margaret menatapnya penuh tanya. Padahal mereka tidak bercerita apapun tadi, kecuali hanya membahas soal ciuman.

Kendati merasa aneh, ayah memilih tidak ambil pusing karena sudah terlalu lelah untuk berpikir. "Ada kabar baik dari ibu," kata ayah. Margaret seketika bersemangat, dan Morgan tertarik untuk mendengarkan.

"Kabar apa? Apa ibu sudah sadar?" tanya Margaret mendesak jawaban.

"Ibu kalian sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Tapi kondisinya belum sadar, kata dokter akan terbangun kemungkinan besok," ujar ayah, memberi angin segar pada kedua anaknya.

"Besok kita ke rumah sakit bersama, sekalian check up kakimu," imbuh ayah pada Margaret.

Margaret tersenyum lebar, dia menatap Morgan dengan senang. Sementara ayah sudah berlalu pergi.

***

Betapa senangnya Margaret ketika hari ini dokter melepas gips di kakinya, dan diganti dengan perban saja yang diikat kuat di pergelangan kaki. Kata dokter, proses penyembuhannya tidak lama lagi akan selesai.

Keluar dari ruangan ortopedi, Margaret tetap masih harus berjalan menggunakan kruknya. "Dokter tadi ganteng," gumam Margaret tersenyum sendiri.

"Bagaimana jika kau menjadi dokter? Kalau aku sakit nanti, kau yang memeriksa kondisiku, sehingga aku tidak perlu repot datang ke rumah sakit," tutur Margaret.

"Dokter?" gumam Morgan, kemudian ia berpikir dan tidak membahas itu lagi ketika bertemu dengan ayah di ruang tunggu administrasi.

"Ayah, di kamar mana ibu dirawat?" tanya Margaret.

"Di lantai lima. Ayo," ajak ayah.

Masuk ke lift kosong, mereka naik ke lantai lima. Pintu segera terbuka otomatis di lorong panjang yang dingin. Mereka tiba di kamar rawat VVIP. Ayah masuk duluan.

Dapat mereka lihat sekarang, ibu mereka sedang tidur di ranjang rawat dengan berbagai alat medis membantu pengobatannya. Margaret melangkah pincang mendekati ranjang ibunya dengan perasaan haru.

"Ibu, aku kangen," bisik Margaret menatap sedih wajah pucat ibunda.

"Kami datang untuk melihatmu," ujar ayah. "Bukalah matamu, sayang. Margaret dan Morgan sudah di sini." Ayah juga lebih sedih daripada perasaan kedua anaknya saat ini. Sebagai seorang suami yang sudah lama menjalani hidup bersama, melihat keadaan pasangan tercinta seperti ini, terasa menyayat hatinya.

Rasa sesak di dadanya hampir membuat ia meneteskan air mata. Namun beliau menahan diri untuk tidak menangis haru di depan anak-anak mereka. Ayah menunjukkan sikap tegarnya.

Mereka cukup lama berada di rumah sakit, tapi ketika malam tiba, ayah menyuruh mereka untuk pulang karena besok harus sekolah. Maka mereka pamit dan pulang diantar supir pribadi.

Sampai di rumah, Margaret teringat dengan PR sekolah. "Aduh, aku lupa mengerjakannya!" Dia menepuk jidat. Melihat jam digital di meja, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sedangkan sekarang matanya mulai mengantuk, Margaret merasa malas untuk mengerjakan tugas malam ini juga.

"Kerjakan saja sekarang," sahut Morgan.

"Ya, tapi bantu aku menjawabnya agar lebih cepat selesai. Karena besok harus dikumpulkan," kata Margaret. Dia duduk di kursi dan mulai fokus pada buku tugasnya, sementara Morgan ke kamar mandi untuk bersiap sebelum tidur.

Begitu lelaki itu keluar, Margaret baru selesai mengerjakan tugas pilihan ganda. "Apa kau bisa mengecek jawabanku?" pinta Margaret.

Morgan kemudian menarik kursi di sampingnya, mengambil kertas jawaban dan membaca jawaban Margaret. Margaret memperhatikan dengan khawatir, berharap sebagian besar jawabannya benar.

Tetapi Morgan malah mencoret kertas itu dengan tanda silang menggunakan tinta merah, yang menandakan jawabannya salah. Tidak hanya satu kali coretan, tapi beberapa kali memberi tanda silang pada jawaban soal.

"Eh eh? Kenapa kau mencoret semuanya?" Margaret panik.

"Jawabanmu salah," pungkas Morgan singkat.

"Hah? Lalu aku harus bagaimana? Masa mengulang lagi? Aku mengantuk sekali," rengek Margaret manyun.

"Kerjakan saja besok pagi-pagi sekali," saran Morgan. "Sekarang waktunya tidur agar tidak bangun terlambat."

"Bagaimana kalau kau bantu isi soal itu?" usul Margaret.

"Apa?" Morgan tampaknya kaget. "Tidak, kau harus belajar dari tugas sekolah. Kalau dikerjakan orang lain, kau tidak akan bisa belajar," tolak Morgan.

"Tch! Pelit!" decak Margaret sebal. Mukanya cemberut, dan dia memaksakan matanya untuk tetap terbuka lebar, demi menyelesaikan soal jawaban yang salah.

Morgan mengusap kepala Margaret, merasa kasihan melihat ekspresi wajah mengantuk itu. "Baiklah akan aku kerjakan, tapi dengan syarat," ucap Morgan, bagai memberi secercah harapan pada Margaret yang seketika berseri-seri.

"Benarkah?" Margaret senang. "Apa syaratnya?"

"Menambahkan satu jam dari jadwal belajar denganku, kecuali malam minggu kau bebas."

Margaret tercengang dengan bibir terbuka. Menambahkan jam belajar sama saja dengan belajar ekstra dibawah pengawasan lelaki ini. Menyebalkan, padahal belajar bukan hobinya.

***

Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang