Bab 56 - Ancaman

152 16 7
                                    

Flashback.

Frankfurt Hospital, Jerman.

Morgan masih seorang koas di rumah sakit ibu kota. Sekarang jam istirahatnya dan sedang bersantai di taman rumah sakit. Dia baru saja selesai teleponan dengan adiknya yang berada di London. Tiba-tiba seseorang berhenti di hadapannya dan membuat ekspresi ceria Morgan berubah seketika menjadi terkejut ketika mengenali wajah wanita itu.

"Kenapa kau ke sini?" tanya Morgan, merasa kurang menyukai keberadaan wanita cantik di hadapannya.

Senyum manis terukir di bibir merah Jessica. "Telepon dariku tidak diangkat, ternyata kau sedang teleponan dengan orang lain di saat yang sama," kata Jessica.

"Aku ingin mengajakmu makan siang. Ayo kita ke kafe di sebrang jalan." Jessica langsung mengajak.

Morgan menghela napas. "Aku tidak terlalu lapar." Dia menolak dengan halus.

"Kalau begitu temani aku saja," paksa Jessica dengan lembut. "Kau tidak punya alasan untuk menolak." Jessica memaksa sambil tersenyum manis.

Morgan menghela napas. Dia mengikuti kemauan Jessica. Duduk berdua di kafe untuk makan siang bersama. Bohong jika Morgan tidak lapar. Urusan perut tidak bisa ditunda, pada akhirnya dia memesan makanan juga bersama Jessica.

"Apa rencanamu setelah lulus dari sini?" tanya Jessica.

"Aku akan pulang, bekerja dan tinggal di negeriku," jawab Morgan.

"Apa hanya itu?" Sedikit kecewa hati Jessica mendengarnya.

"Ya." Morgan menjawab singkat.

"Apa kau tidak memikirkan hubungan kita ke depannya? Kita sudah pacaran tiga tahun lebih, apa kau tidak ada rencana untuk melamarku?" desak Jessica tak ragu mengutarakan. Dia ingin secepatnya dilamar Morgan.

"Apa kau sangat ingin menikah denganku? Kenapa? Aku bukan pria yang bisa memperlakukanmu secara romantis seperti dalam drama." Morgan keheranan. Bukan tanpa alasan dia memacari Jessica kembali.

"Itu karena kau pria idamanku. Aku tidak memedulikan bagaimana dirimu. Asalkan kau menjadi milikku, itu sudah cukup membuatku bahagia," ungkap Jessica. Pandangan matanya masih sama seperti dulu. Morgan menyadari bahwa perasaan Jessica tidak berubah, meski dulu dia campakkan dengan begitu dingin.

Morgan menarik napas dan menghembuskan dengan tenang. Dia masih terlihat kalem mendengarkan penuturan Jessica yang penuh semangat. "Jessica, aku merasa tidak pantas menjadi suamimu kelak. Aku masih memiliki banyak kekurangan yang tidak kau ketahui," kata Morgan, sedang berusaha menolaknya secara halus dan lembut.

"Sudah kubilang, aku tidak peduli dengan segala hal di belakangmu. Latar belakangmu atau masa lalumu. Aku hanya memikirkan tentang kita berdua," tegas Jessica.

Morgan masih ingat betul alasannya menjalin hubungan dengan Jessica. Tidak lebih hanya untuk melampiaskan cinta terlarangnya dari Margaret.

Kali ini dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menghapus cintanya terhadap Margaret. Berbeda sewaktu remaja dulu yang gairah cintanya masih menggelora. Sekarang dia sudah dewasa dan caranya berpikir sudah lebih matang lagi.

Tapi, entah mengapa meski sudah jauh dari Margaret dan berpacaran dengan Jessica yang hampir setiap hari berkomunikasi dan bertemu, gambaran tentang Margaret masih menempel kuat di memorinya. Lalu Morgan berpikir bahwa perasaan ini hanya kerinduan semata terhadap adik perempuan.

Ya, rindu. Morgan menegaskan kepada dirinya sendiri. Walau lubuk hatinya merasa tidak yakin kalau sekedar rindu. Morgan bingung.

"Pernikahan masih jauh dari rencanaku," kilah Morgan. "Aku tidak bisa menikah dalam waktu dekat."

Jessica hanya bisa tersenyum, kaku. Hatinya sakit saat ditolak begini. "Kenapa? Kita tidak perlu anak setelah menikah, jika anak menjadi gangguanmu." Namun Jessica tidak berniat menyerah.

Dia sudah mendapatkan Morgan dengan usaha kerasnya di sini. Pada awal itu, mereka bertemu secara tak sengaja di kampus. Seperti takdir. Mereka satu kampus, seperti yang direncanakan, hanya beda jurusan. Jessica mengambil jurusan ekonomi saat melanjutkan pendidikan S2nya di Jerman.

"Akan aku pikirkan," kata Morgan penuh pertimbangan.

Tidak seperti waktu sekolah di mana Morgan duluan yang memintanya menjadi pacar. Tapi Jessica yang memanfaatkan kesempatan dengan menempel terus di sisinya, akhirnya mengutarakan isi hati walau harus menekan harga dirinya karena asmara masa lalu yang pernah diputuskan sepihak.

Tak disangka, gayung pun bersambut. Morgan menerimanya. Jessica hampir merasa seperti mimpi. Dari hubungan di masa sekarang, Jessica menyadari ada sedikit perbedaan sikap Morgan.

Jika dulu, Morgan jarang sekali komunikasi dengannya lewat chatting ataupun teleponan. Sekarang, mengalami kemajuan. Morgan bertukar kabar dengannya, setidaknya sehari sekali ada pesan dari lelaki itu dengan kalimat sederhana. Itu sudah cukup bagi Jessica. Toh lelaki itu sangat sibuk dengan pekerjaannya. Jadi Jessica bisa memahami kesibukannya.

***

"Ibu, bagaimana jika aku ingin menikah dengan Morgan?"

"Apa kalian sudah membicarakan hal itu?" tanya Laurent.

"Apa katanya?" sambung Albert.

"Dia mempertimbangkan." Jessica menjawab.

"Itu artinya dia ragu. Tinggalkan saja dan cari pria lain." Laurent mengartikan.

"Tidak mau." Jessica kekeh. "Aku datang jauh-jauh ke Jerman, kuliah dan kerja di sini hanya untuk dekat dengannya, bukan perjalanan yang mudah dan singkat. Sudah saatnya aku memetik hasil perjuanganku."

"Ya silakan, kalau dia mau menikah denganmu," sahut ibunya dengan santai sambil pedicure.

Satu minggu kemudian, Jessica menelan kekecewaan ketika Morgan dengan tegas menolak untuk menikah. Segala upaya dan daya telah Jessica lakukan sebelumnya, tapi dia tidak bisa menerima penolakan begitu saja.

Lantas dia mengadu pada Laurent. Meminta tolong pada ibunya untuk membujuk Morgan. Jessica uring-uringan selama beberapa hari, sampai mogok makan dan membuat ibunya bersimpati.

Albert sebagai ayah Morgan turut berbicara dari hati ke hati dengan puteranya di Jerman. Tapi tidak berhasil meluluhkan hati dingin sang anak sulung.

Kini Albert kembali lagi ke apartemen kedua Laurent di Frankfurt. Dia dan Laurent membahas anak mereka.

Setelah beberapa lama percakapan dan diskusi bersama, Laurent mendadak mengungkit sesuatu.

"Bukankah dia punya hutang padaku?" celetuk Laurent. "Meskipun aku bukan ibu yang baik untuk puteriku, mana ada ibu yang tidak kasihan melihat anaknya menderita begitu. Ini tidak bisa ditolerir. Kebahagiaan Jessica adalah nomor satu!"

"Apa maksudmu..." Albert ragu, tapi dia yakin dugaannya benar.

"Selama ini aku membiayai kuliahnya di Jerman. Seharusnya dia menunjukkan rasa terima kasih pada kami," pungkas Laurent.

Albert menghela napas. Benar saja. "Tapi Morgan tidak tahu kalau uang itu darimu. Selama ini dia hanya tahu aku mampu membiayai kuliahnya di sini," ucap Albert.

"Kalau begitu berita tahu saja semuanya pada anakmu. Dia harus menikah dengan puteriku atau aku berhenti menjadi sponsornya dan meminta semua itu dikembalikan tanpa kurang. Bagaimana?" usul Laurent.

"Laurent...." Albert merasa tak berdaya. Sekarang dia hanyalah pria baya yang tidak berharga setelah perceraian dengan istrinya dulu. Meskipun demikian, sedikit keberuntungan masih berpihak padanya, karena Laurent dengan senang hati menampung Albert sebagai kekasih gelap.

Sebagai orang yang sudah cukup tua, mereka tidak memerlukan pernikahan untuk bisa bersama. Bahkan Laurent tidak pernah punya pikiran untuk menikah dengan Albert, selain menjadikannya sebagai gigolo dan teman bicara.

"Apa kau akan membela anakmu?" Laurent memicingkan mata pada Albert. "Boleh saja, silakan. Tapi aturan itu tetap berlaku untukmu juga, Albert. Kau atau Morgan harus mengembalikan semua sokongan yang telah aku berikan padamu." Laurent berhenti sejenak untuk menghisap rokoknya.

"Tenang saja, aku punya bukti pengeluaran sejak beberapa tahun lalu," tambahnya sambil menghembuskan asap rokok.

Bisa dibilang, ini pertama kalinya Laurent bertindak memihak sepenuhnya pada Jessica. Dia hanya tidak tahan melihat anaknya merajuk dan tidak mau makan berhari-hari. Orang tua mana yang tidak khawatir?

Albert menarik napas. "Baiklah, aku akan bicara dengan Morgan," finalnya menyerah. Sadar dirinya tidak sanggup mengembalikan semua uang bernilai miliaran itu sampai mati. Sedangkan Albert juga tahu kalau sekarang Morgan sedang membutuhkan banyak uang untuk pelatihan, praktek dan lain sebagainya, sebelum dinyatakan layak menjadi dokter.

Maka siang hari di musim semi itu, Albert menunggu di dalam apartemen Morgan. Dia mengecek jam, pukul sembilan malam. Harusnya sekarang Morgan sudah pulang untuk memenuhi janji dengannya bertemu di sini. Albert menunggu dengan gelisah.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now