Bab 51 - Setelah

165 19 2
                                    

Hari-hari tanpa Morgan, dijalani Margaret dengan berat hati. Sehari rasanya seperti seminggu. Margaret kesepian. Semua barang yang biasa dipakai Morgan di kamar menjadi kenangan hangat di benak Margaret. Sering kali dia tidur di kasur Morgan, hanya untuk merasakan hangat dan aroma maskulin kakaknya yang tertinggal di sini.

Semakin sulit bagi Margaret bertemu Morgan meski di hari libur, karena aturan asrama kakaknya melarang membawa masuk lawan jenis ke dalam gedung. Keputusan Morgan sendiri untuk tinggal di asmara daripada menyewa apartemen yang mahal, dan menyimpan kiriman uang dari ayahnya untuk keperluan lain.

Namun rindu sudah tak tertahankan. Margaret pergi ke Oxford menggunakan bus dan ketemuan dengan Morgan di terminal.

"Kak!" Margaret melambaikan tangan dengan ceria saat melihat kakaknya berada di tengah lalu-lalang orang. Mata mereka bertemu, senyum Morgan mengembang. Kemudian dengan segenap tenaga, Margaret berlari semangat menuju Morgan, langsung memeluknya erat.

"Aku merindukanmu!" Margaret peluk tubuh Morgan sekuat-kuatnya.

Morgan membalasnya dengan segenap hati yang merindu. "Margaret, aku sangat rindu. Sangat!" Kepalanya terbenam dalam ceruk leher Margaret. Matanya terpejam. Morgan merasakan secara nyata tubuh Margaret dalam pelukannya, bukan lagi mimpi yang selalu datang saat tidur.

Kerinduan yang amat dalam seolah sudah tidak bertemu selama berabad-abad, akhirnya terobati hari ini karena sama-sama mendapat libur panjang semester setelah banyak ketidakcocokan jadwal di antara mereka.

"Sudah enam bulan kita tidak bertemu." Margaret mengurai pelukannya lebih dulu. Wajahnya mendongak menatap iris hazel cemerlang Morgan. "Bagaimana kabar kakak di sini?" Terlihat kilauan di mata Margaret, menahan air mata yang siap jatuh karena terharu.

"Aku tersiksa tanpa dirimu." Diusapnya pipi mulus Margaret. Tersirat kesenduan di mata Morgan yang menatap. Banyak hal yang ingin Morgan ungkapkan pada Margaret waktu sebelum bertemu, tapi sekarang gadis itu sudah di depan mata, dan seluruh kata-kata yang telah tersimpan malah lenyap seketika. Tergantikan dalam pelukan erat yang begitu dirindukan psikologisnya.

"Bagaimana sekolahmu, lancar?" Morgan bertanya dengan tatapan mata yang menghangat.

"Ya, aku dapat nilai bagus di ujian tengah semester." Senyum manis merekah di bibir Margaret. Rona kebahagiaan terpancar di pipinya yang memerah.

"Aku tidak peduli dengan nilai belajarmu, karena aku percaya kau tidak akan melepaskan tanggung jawabmu sebagai pelajar. Tapi kau perlu menceritakan hari-harimu yang tidak aku ketahui." Morgan gandeng dan genggam tangan Margaret sambil berjalan bersama menuju hamparan padang rumput luas.

Mereka tiba di taman kampus Morgan. Oxford University. Taman itu terbuka untuk umum. Tidak terlalu banyak orang di sekitar dan terlihat lengang. Beberapa orang ke taman datang hanya untuk duduk-duduk, melamun, belajar kelompok maupun piknik.

Morgan dan Margaret duduk di rumput hijau yang bersih. Cahaya matahari menyinari mereka dengan hangat. Margaret bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Termasuk perkembangan hubungannya dengan Ronald yang sampai kini masih berjalan sebagai kekasih.

Bagi Margaret, Ronald memang memperlakukannya dengan sangat baik. Tapi tidak bisa menggantikan posisi Morgan di hatinya. Rasa bersalah Margaret masih menempel di dalam batinnya terhadap Ronald, dia bohongi lelaki itu untuk urusan perasaan.

"Semakin hari dia semakin baik padaku. Aku tidak enak hati padanya. Terkadang aku bertanya-tanya, kapan hubungan kami akan berakhir? Aku lelah membohongi dia. Aku sudah jahat." Margaret bingung. Bukan inginnya berpacaran dengan Ronald. Toh sejak awal Ronald lah yang memaksanya begitu keras untuk menjadi kekasih.

"Bicarakan baik-baik dengannya. Aku yakin dia akan mengerti." Morgan raih telapak tangan Margaret, menempelkannya ke wajah lalu dia menggesekkan pipinya di tangan gadis itu sambil memejamkan mata. Tidak ada aura kecemburuan dari Morgan selama mendengar cerita tentang hal itu. Karena jauh di lubuk hatinya, Morgan percaya pada cinta Margaret yang takkan menduakan.

"Kalau kau bicarakan baik-baik pada Ronald, mungkin dia akan berpikir ulang untuk menahan diri dengan tidak menyebarkan ancamannya ke seluruh sekolah. Dia harus menjadi dewasa dengan menerima kenyataan," kata Morgan memberi saran. Lalu dia berbaring, diikuti Margaret. Sehingga pandangan mereka kini menatap langit biru yang cerah.

"Akan aku pikirkan dan mencari timing yang tepat untuk membicarakan hal ini dengannya." Tidak pernah terbersit di benak Margaret untuk membalas perasaan Ronald. Yang ada, dirinya tersiksa batin karena rasa bersalah dan tidak enak hati atas semua kebaikan Ronald padanya. Margaret bahkan mengakui kalau dirinya bagaikan tokoh jahat yang menipu ketulusan cinta tokoh laki-laki.

Angin sepoi-sepoi musim panas menerpa mereka. Terasa begitu nyaman hingga membuat kelopak mata Margaret memberat. Akhirnya, gadis itu tertidur di atas rumput, bersama Morgan yang juga berbaring di samping, hanya menatap penuh kasih pada Margaret.

Morgan raih wajah Margaret, menyingkirkan anak rambut yang menghalau pipinya, lalu tangannya bertengger di pipi putih Margaret seraya mengelusnya dengan ibu jari. Morgan tersenyum tipis, tatapannya berubah sayu, lalu bibirnya berucap. "Aku mencintaimu lebih dari apapun."

***

"Ibu, aku karena aku dapat nilai bagus di sekolah, ayo kita berlibur ke hawai." Jessica mendekati ibunya yang asyik dengan gadget di sofa.

"Kau pergi saja sendiri atau ajak teman-temanmu," sahut wanita baya itu dengan sikap acuhnya. Jessica kecewa untuk ke sekian kali pada sang ibu.

"Kenapa ibu tidak pernah mau liburan bersamaku?" Jessica sedih. Alasan yang sama selalu digunakan wanita baya itu dengan mengatakan sibuk mengurus pekerjaan.

"Tapi ibu selalu ada waktu untuk teman-temanmu. Kenapa ibu tidak bisa meluangkan sedikit waktu untukku?" Jessica memprotes.

"Kau sudah besar. Pergilah bersama teman-teman atau pacarmu. Ibu harus pergi sekarang." Dia bangkit dari sofa, melangkah keluar rumah dan pergi mengendarai mobilnya sendiri.

Jessica hanya diam dengan hati bersedih. Semenjak orang tuanya cerai sepuluh tahun lalu, ibunya tidak pernah ada waktu untuk memperhatikan dirinya. Sedangkan ayah justru tidak mengakuinya sebagai anak.

Pernah dulu, saat usianya empat belas tahun, Jessica ke rumah ayahnya yang tinggal bersama istri baru. Namun perlakuan mereka sangat dingin kepadanya. Ayah secara terang-terangan mengusir Jessica, dan berakhir membuatnya hujan-hujanan dalam perjalanan kembali ke rumah.

Kurangnya kasih sayang orang tua, membuat Jessica menjadi anak yang nakal di sekolah. Di sekolah lamanya dia adalah siswi jahat yang suka membuli murid lemah, sebelum kejadian yang melukai seorang murid pun terjadi, dan pihak sekolah men-drop out Jessica. Ditambah lagi ancaman dari ibunya yang akan memotong uang jajan jika membuat masalah di sekolah baru.

"Hah! Menyebalkan!" Ekspresinya muram. Dia sambar ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Bisakah kita bertemu?" Entahlah mengapa, dari sekian banyak teman di sekolah, Jessica hanya terpikirkan seorang teman yang sama setiap kali dirinya sedang badmood. Seolah-olah teman yang dia miliki hanya satu.

***

Margaret dibangunkan dengan lembut oleh Morgan, saat hari mulai gelap. Morgan mengajaknya pergi ke suatu tempat.

Pertama-tama, mereka perlu mengisi perut terlebih dahulu di restoran terdekat. Semua makanan yang mereka pesan dibayarkan Morgan. Margaret sangat puas menepuk perutnya yang sudah kenyang.

Setelah selesai makan, mereka check in kamar hotel. Tidak mungkin Morgan membawanya ke asrama laki-laki. Ditambah lagi hari sudah malam untuk membiarkan Margaret pulang sendirian walau negara mereka aman dari kejahatan. Hari libur mereka masih tersisa beberapa hari lagi.

Pintu kamar dibuka, Margaret langsung menerjang masuk dan menjatuhkan diri ke kasur empuk. Dia berguling-guling nyaman. "Aku mengantuk. Tidur di sini enak sekali," gumam Margaret dengan mata yang setengah mengantuk.

"Tidur lah. Kita akan di sini selama tiga hari. Aku akan beritahu orang tua kita," kata Morgan. Dia kemudian mematikan lampu kamar.

Sementara Margaret tidur, lelaki itu mengirim pesan kepada orang tuanya tentang keberadaan Margaret bersamanya di sini. Walau sebelum pergi, Margaret sudah izin pada ayah dan ibu.

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now