Bab 12 - Kembali

450 33 5
                                    

Dua minggu kemudian mereka sudah diperbolehkan pulang, namun mereka hanya pulang bertiga tanpa ibu yang masih dirawat. Ayah tidak terluka parah karena terselamatkan oleh airbag saat kecelakaan, yang melindungi kepalanya dari benturan keras.

Morgan sembuh dengan cepat, alias penyangga lehernya sudah dilepas, jadi bisa menggerakkan kepalanya bebas. Tapi luka patah tulang kaki Margaret butuh waktu beberapa lama lagi untuk benar-benar pulih. Gadis itu duduk melamun saja di kasur dengan kaki berselonjor.

Suasana rumah terasa sepi. Mereka merasa hampa, terlebih tidak adanya sosok ibu di tengah-tengah keluarga. Bunyi notifikasi ponsel membuyarkan pikiran Margaret. Dia mengambil benda itu yang berada di nakas dan membaca pesan dari teman-temannya.

Mereka menanyakan keadaan Margaret, mengingat sudah lama tidak bertemu lagi di sekolah, tentu mereka telah mengetahui kabar buruk tersebut dari berita online di beranda sosmed dan dikonfirmasi kebenarannya oleh wali kelas.

Sesaat setelah chatingan dengan teman-teman, Margaret menerima pesan dari Ronald yang mengirim beberapa pesan sebelumnya dan mencoba meneleponnya, namun tidak dijawab Margaret karena jarang memegang ponsel selama di rumah sakit.

[Apa kabar? Aku sangat khawatir sebagai temanmu. Kuharap kau baik-baik saja sekarang. Tidak apa, tidak perlu membalas pesanku, asalkan kau baik-baik saja.]

Margaret menghela napas. Dia tidak berniat jahat pada Ronald dengan mengabaikannya apalagi memusuhi atas kejadian itu. Lantas Margaret tetap menjawab pesan lelaki itu dengan singkat.

"Makan dulu." Morgan masuk ke kamar, membawa nampan berisi makanan.

Margaret meletakkan ponselnya di kasur, menerima nampan itu dipangku. Ponsel kembali menyala tiba-tiba, kali ini layarnya menunjukkan panggilan telepon dengan nama kontak Ronald. Morgan melihat itu langsung menyambar hp adiknya cepat.

"Ada apa kau menelepon?" Nadanya ketus. Morgan yang menjawab telepon Ronald alih-alih membiarkan Margaret berbicara dengan lelaki itu.

"Oh, kakaknya Margaret. Aku hanya ingin tahu kondisinya sekarang. Kalau boleh aku akan datang menjenguknya," ujar Ronald. Terdengar begitu lancang bagi Morgan. Morgan tampak masam mendengarnya.

"Tidak."

"Tapi aku datang sebagai teman," sergah Ronald.

Morgan diam sejenak. Mempertimbangkan. "Tidak!" katanya tegas, lalu mematikan telepon sepihak.

Sikap berani Ronald yang tidak tahu malu membuatnya yakin bahwa Ronald tidak akan menyerah, karena insting Morgan sebagai lelaki membuatnya memahami bahwa Ronald mungkin mencoba mendekati Margaret dengan cara halus setelah cara yang agresif gagal.

Atau mungkin, sebenarnya sikap Morgan sendiri yang terlalu posesif?

"Apa katanya?" tanya Margaret, melihat ekspresi muram Morgan, yang menunjukkan bahwa obrolan antar dua lelaki itu tidak berjalan baik.

"Jaga jarak dengannya," ujar Morgan tanpa menjawab, lalu dia duduk di kursi sembari membaca isi chat Margaret.  Dia membaca semua chat tanpa izin, dan Margaret tidak keberatan dengan tindakan tersebut, bahkan dia menikmati makanannya sendiri.

"Memangnya apa salah dia?" tanya Margaret polos, membuat Morgan mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu tajam. Kemudian dengan gerakan tenang, ia bangkit, melangkah ke kasur Margaret, dan duduk di tepi ranjangnya.

Morgan menahan tubuhnya dengan satu tangan kiri ke seberang paha Margaret di sebelah lain, posisinya terlihat mengurung gadis itu seraya mencondongkan tubuhnya, menatap dari dekat wajah adiknya yang sedang mengunyah.

"Kau bilang apa salah dia?" ulang Morgan, kali ini tidak ada emosi dalam ucapannya, terkesan datar dengan sebelah alisnya naik, namun Margaret merasa akan terjadi sesuatu.

Margaret menelan makanannya dulu, kemudian minum air dari gelas, siap untuk bicara. "Kami sudah baikan. Jika karena masalah yang lalu, itu sudah berlalu," ujar Margaret seakan memaafkan tindakan Ronald di perpustakaan.

Tapi Morgan berpikiran lain. Dia tidak akan pernah memaafkan siapapun yang berani mencium bibir Margaret. Morgan geram pada Margaret sekarang.

"Apakah kau mudah memaafkan orang lain atas tindakan itu, Margaret?" tanya Morgan, membelai anak rambut Margaret dengan pelan lalu mengambil sejumput diujung dan mencium rambutnya sambil terus menatap gadis itu.

"Aku tentu merasa sangat marah, tapi dia sudah minta ma--" Margaret berhenti bicara. Dia mendadak teringat bahwa setelah insiden di perpustakaan, sampai saat ini Ronald belum mengatakan kata maaf padanya.

"Tidak ada kata maaf, Margaret. Laki-laki seperti itu hanya menginginkan tubuhmu, bukan hatimu," tekan Morgan, berusaha membuka mata Margaret.

Margaret menunduk. Ekspresinya berubah menjadi murung. Morgan mendongakkan kepalanya agar wajah mereka sejajar. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Margaret pelan.

"Abaikan dia, dan hanya dengarkan perkataan kakakmu. Ini perintah," tegas Morgan. Margaret tidak melihat ada tanda candaan di manik hazel Morgan yang menatap serius. Bahkan tidak ada alasan untuk membangkang pada lelaki ini yang Margaret pahami untuk tujuan baik.

Margaret pun mengangguk patuh. Lalu Morgan memiringkan kepalanya dan mencium sudut bibir Margaret, mengambil sisa makanan yang menempel di wajah gadis itu dengan bibirnya sendiri.

Margaret diam membeku dengan gugup. Dalam sekejap darahnya naik ke wajah. Wajahnya kini merona. Sontak ia mendorong pundak Morgan.

"Sekarang tidur, atau mau aku tiduri?"

***



Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now