Bab 54 - Rindu Tak Tertahankan

188 26 4
                                    

Perasaan rindu bagai menancap di benak Margaret. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu. Namun, biasanya, untuk menyalurkan kerinduan di hati yang haus perhatian, Margaret sampaikan melalui goresan kuas pada canvas.

Dia terlihat sedang melukis di kamar yang dulu menjadi gudang, sekarang menjadi tempatnya bekerja. Ruangan itu dipenuhi berbagai lukisan karyanya sendiri. Angin sepoi bertiup lembut menerbangkan tirai jendela yang sengaja dibuka.

Margaret tidak memikirkan apapun saat ini, kecuali bayangan wajah Morgan yang melekat di memori. Membimbing tangan lihainya menggambarkan visual Morgan pada canvas. Lukisan wajah Morgan terlihat sudah jelas. Dia hanya memerlukan sedikit polesan warna lagi untuk menyempurnakan.

"Lukisannya bagus." Suara berat berembus dari belakang. Menegangkan punggung Margaret menjadi kaku dan terhenti. "Terlihat mirip denganku."

Seketika Margaret menjatuhkan kuasnya ke lantai, lalu kepalanya menoleh dengan kaku. Tepat di sampingnya, terdapat wajah tampan pria tercinta yang sedang menatap ke arah lukisan. Margaret dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Kemudian pria itu menoleh kepadanya. Membuat wajah mereka hampir tak berjarak lagi. Mata mereka bertatapan. Tatapan lembut masih terpancar dari mata hazel pria itu. Bibir tipisnya tersenyum pada Margaret. "Lama tak jumpa, adikku." Sebaris kata, langsung meluruhkan perasaan Margaret. Mengubah menjadi butiran kecil yang menyesaki pelupuk mata gadis itu.

"Kak Morgan..." Margaret pikir wajah Morgan di depan mukanya saat ini hanya ilusi. "Ah, tidak. Ini pasti hayalanku saja."

"Bagaimana kalau bukan?" sahut Morgan.

"Buktikan padaku kalau kau bukan hayalanku." Margaret menantang. Lalu tanpa segan, Morgan menarik tengkuknya dan mendaratkan ciuman bibir dengan lembut pada Margaret.

Margaret kembali membeku. Otaknya mencerna kejadian ini. Ciuman mereka terlalu nyata. Jadi, Margaret memercayainya, dan langsung membalas ciuman Morgan dengan lebih intens.

Saat kedua tangannya merangkum rahang Morgan, air mata Margaret turun begitu saja. Margaret terharu. Kemudian mereka melepaskan ciuman itu.

"Aku pulang," kata Morgan.

***

Morgan telah kembali ke rumah. Suasana rumah malam itu terasa hangat. Mereka makan malam bertiga. Minus kehadiran ayah tentu. Setelah perceraian itu, ayah yang pergi dari rumah ini, dan membiarkan ibu serta dua anaknya menempati rumah yang dibangun di awal pernikahan mereka.

"Kau sungguh pulang ke negara ini dan tidak akan kembali lagi ke sana kan?" tanya ibu penuh harap.

"Ya, ibu. Aku sudah mendapat izin dan besok lusa bekerja di Guy's Hospital, London." Morgan menjawab dengan tenang sebelum memasukkan makanan ke mulut.

"Sejak dulu aku bertanya-tanya dan selalu lupa untuk ditanyakan. Kenapa kau memilih untuk menjadi dokter?" sambung Margaret.

"Apa kau ingat dulu saat kakimu terluka karena kecelakaan? Kau memberiku saran, dan aku melakukannya sesuai dengan ucapanmu."

Margaret terbungkam. Ingatan masa remaja kembali menyirami memorinya. "Tapi kenapa? Perkataanku tidak serius, mungkin aku hanya asal bicara. Kenapa kau melakukannya?" Margaret kaget. Awalnya dia pikir, Morgan ambil jurusan kedokteran karena memang kakaknya cerdas dan berprestasi. Namun Margaret tak pernah menyangka dengan alasannya.

"Margaret, kau beruntung punya kakak yang cerdas seperti Morgan." Suara ibu berkomentar.

"Tidak ada salahnya, bukan? Aku bisa mewujudkan keinginanmu menjadi nyata." Morgan tersenyum tipis.

Margaret hanya melongo dan masih merasa terkejut. Hingga mereka selesai menghabiskan makan malam lalu kembali ke kamar, Morgan menyeletuk. "Kamar ini tidak jauh berbeda dari dulu." Pandangan Morgan menyapu suasana kamar. Dia merasa terkenang dengan masa-masa remaja yang mereka habiskan bersama di sini.

"Ya. Kau benar. Kamar ini masih seperti dulu," kata Margaret. Dia menutup jendela kamar yang sebelumnya terbuka, tepat saat itu Morgan memeluknya dari belakang dengan erat. Sangat erat.

"Aku rindu padamu," bisik Morgan. Suaranya berubah lembut. "Aku sangat rindu."

"Aku juga," balas Margaret, merasakan wajahnya menghangat.

Kemudian Morgan melepaskan pelukannya, dan Margaret berbalik badan. Morgan kembali mendekapnya kuat-kuat. "Hari-hariku tanpamu di sana terasa berat," ucap Morgan.

Morgan dan Margaret tidak pernah bertemu lagi sebelumnya sejak liburan tiga hari waktu itu. Mereka hanya sesekali berkomunikasi lewat telepon. Selebihnya, sibuk masing-masing. Margaret yang fokus pada ujian kelulusan sekolah dan seleksi masuk perguruan tinggi, sedangkan Morgan lebih giat belajar demi mewujudkan perkataan Margaret untuk membuatnya menjadi seorang dokter.

"Kakak..." Margaret menunduk. Merasa bingung. "Sebenarnya, hubungan kita ini apa?" Tidak pernah ada kejelasan dari Morgan tentang status mereka. Karena lelaki itu tidak pernah menegaskan secara verbal apakah mereka kekasih atau hanya saudara tapi mesra.

"Aku tidak ingin memaksamu ikut bersamaku ke neraka. Oleh sebab itu aku tidak mengatakan apapun padamu tentang hubungan kita yang selalu mengalir seperti air; aku membolehkanmu berpacaran dengan lelaki mana pun. Walau, sebenarnya, aku tidak ingin kau melakukannya."

Margaret mendongak. Dia tatap mata Morgan. "Kenapa? Kenapa kau membiarkanku untuk bersama lelaki lain, sedangkan hatimu sangat mencintaimu?" Matanya berkaca-kaca. Begitu banyak kerinduan dan perasaan lain yang belum terungkapkan selama mereka berpisah.

"Aku juga mencintaimu. Kalau saja kita terlahir kembali, aku tidak ingin menjadi kakakmu." Kembali dipeluknya Margaret dengan erat. Morgan tidak bodoh bahwa jika hubungan mereka dilanjutkan akan semakin gelap. Karena mereka lahir dari rahim ibu yang sama. Tidak mungkin bisa untuk hidup bersama selamanya. Morgan dan Margaret tahu hukum alam itu.

"Bawa aku," kata Margaret. "Bawa aku ke neraka bersamamu." Ucapannya bersungguh-sungguh. Persetan dengan dosa. Margaret tidak mau peduli hal tersebut. Dia hanya ingin Morgan di sisinya sampai akhir hayat.

"Margaret..." Morgan tertegun. Dia menatap ke mata Margaret untuk menemukan keraguan dari perkataan tersebut. Tapi Morgan dibuat terkesan dengan keseriusan adiknya dalam berkata-kata.

"Margaret, kau membuatku tidak berdaya." Diciumnya bibir Margaret dengan lembut. Morgan membawanya ke tempat tidur, menindih Margaret dalam kegiatan panas yang menggelora.

Sentuhan lembut Morgan, embusan napas panas lelaki itu, wajah Morgan yang memerah, keringat yang menetes jatuh ke dada Margaret, hingga erangan Morgan dengan semangat yang menggebu, menyalurkan kerinduannya yang tak tertahankan lagi pada Margaret.

Dia begitu menikmati malam bersama adik tercintanya. Malam panas yang sudah lama tidak mereka rasakan kembali.

***

Ketika Margaret membuka mata, dia tidak menemukan kakaknya di kamar. Sesaat membuat Margaret berpikir bahwa kegiatan semalam bagian dari mimpinya. Namun, begitu menyadari keadaan tubuhnya di dalam selimut yang tak berbusana, disertai jejak lembab di area sensitif, membuktikan kejadian itu nyata.

Di mana Morgan sekarang? Entah mengapa tidak melihat kakaknya saat bangun tidur seusai mereka bercinta, membuat Margaret merasa kesal. Dia seakan ditinggalkan begitu saja.

Margaret kemudian membersihkan diri di kamar mandi, memakai pakaian dan berdandan, sebelum keluar kamar lantas mendapati ibunya sedang batuk-batuk. Margaret menghampirinya dengan khawatir.

"Ibu, obatnya sudah diminum belum?"

Margaret buru-buru mengambil air minum. Saat itu telapak tangan ibunya menunjukkan adanya darah. "Ibu, ayo kita ke rumah sakit." Margaret tahu ibunya menderita penyakit tuberkulosis.

"Di mana kak Morgan?" Margaret celingukan di sekitar rumah.

"Morgan pergi daritadi," jawab ibu. "Ibu tidak mau ke rumah sakit. Obat dari dokter sudah cukup membuatku merasa lebih baik." Ibu menolak. Dia segera mengambil pil kemudian meminumnya.

"Ibu..." Margaret bingung dengan kondisi ibu yang tak kunjung sembuh. Lalu dia mengambil ponsel dan menelepon Morgan untuk menanyakan keberadaannya saat ini.

***

*btw itu nama rumah sakitnya beneran ada. Bisa dicek di internet.

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now