Bab 48 - Taruhan

127 12 1
                                    

"Morgan." Jessica ragu-ragu untuk mengatakan keinginannya. Bibirnya tersenyum malu-malu sambil menunduk. Sedangkan Morgan di hadapannya diam menunggu. "Sudah beberapa minggu kita berkencan. Tapi kita belum pernah benar-benar berkencan. Apakah kau mau menghabiskan malammu bersamaku?"

"Apa?" Morgan kaget seketika. Dia pikir hampir tersambar petir di siang bolong. "Jangan gila, Jessica!" Bahkan tak pernah terpikirkan di benak Morgan untuk tidur bersama gadis lain kecuali adiknya tercinta.

"Morgan, kau adalah lelaki spesial dalam hidupku. Aku hanya akan tidur dengan orang yang kucintai, dan kau adalah cinta pertamaku!" Dengan kata lain mengisyaratkan bahwa dirinya masih perawan sampai detik ini di hadapan Morgan. Betapa lelaki itu sangat istimewa bagi Jessica sampai berani memberikan keperawanannya.

"Aku tidak tertarik untuk menidurimu sekali pun kau masih perawan, Jessica!"

"Tapi kenapa? Bukankah wajar jika tidur bersama dengan kekasih?" Bukan tanpa alasan Jessica mendadak mengajak Morgan ngeseks untuk pertama kali dalam hubungan mereka. Jessica punya taruhan dengan Ronald. Selain itu juga, dia memang menginginkan Morgan secara fisik.

"Jessica, selama ini aku membohongimu tentang perasaanku. Aku mengajakmu pacaran bukan karena menyukaimu. Maaf untuk hal ini. Tapi sekarang, aku pikir hubungan ini harus berakhir." Tidak ada raut penyesalan di wajah Morgan saat mengatakan semua itu. Justru ekspresi kaget terlihat di wajah Jessica yang syok.

Jessica merasa ditampar keras, dan dia tidak dapat bereaksi apapun karena sangat terkejutnya, menyadari selama ini hanya dirinya saja yang merasakan kebahagiaan. "Kenapa kau jahat padaku? Aku mencintaimu dengan tulus, Morgan!" Jessica tertunduk, matanya berair. Hatinya remuk mendengar kalimat itu.

"Sekarang kau sudah tahu kalau aku bukan lelaki yang baik. Aku tidak pantas untuk kau dapatkan, Jessica. Masih banyak lelaki lain di luar sana yang jauh lebih daripada diriku. Kau hanya belum menemukan mereka," ujar Morgan sedikit memberikan kata-kata motivasi, walau sekedar basa-basi sedikit perhatian.

"Hiduplah dengan baik." Morgan pergi. Dia mengabaikan bagaimana perasaan gadis itu yang dengan kejam meninggalkannya. Sejak awal dia tidak berniat berpacaran lama dengan Jessica. Tapi karena sekarang merasa sudah waktunya untuk mengakhiri hubungan palsu ini, Morgan tanpa ragu mengungkapkan segalanya meski tahu itu menyakiti Jessica. Demi kebaikan mereka bersama ke depannya.

"Jam delapan malam," gumam Morgan mengecek jam di ponselnya. "Aku harus menjemputnya."

***

Margaret tampak serius saat menonton film di bioskop bersama Ronald. Meskipun begitu, pikiran Ronald hanya terpaut pada Margaret, bukan pada cerita film itu. Tanpa disadari, dia mencoba meraih tangan Margaret yang beristirahat di sandaran lengan kursi. Tangannya tergenggam sebentar oleh Ronald, namun Margaret segera menariknya kembali dengan tegas, menolaknya. Ronald merasa sedikit kecewa, tapi dia tidak memaksakan diri.

Selesai menonton, mereka duduk-duduk di kafe terdekat sambil menikmati minuman.

"Bagaimana filmnya tadi? Aku tidak bertanya dulu padamu untuk memilih film yang akan kita tonton," kata Ronald menopang dagunya di meja, menatap lurus pada Margaret dengan senyuman manis.

"Tidak buruk juga," sahut Margaret, lalu menyedot minumannya. "Aku ingin pulang." Dia bangkit dan pergi.

"Eh, sekarang?" Ronald menyusul langkah Margaret yang duluan.

Ketika mereka tiba di lobi mall, langkah Margaret melambat bersamaan dengan Ronald yang mengikuti di sampingnya. Ronald melihat arah tatapan Margaret, dan mereka segera menemukan seseorang yang berdiri di seberang.

"Apa kalian sudah selesai?" Morgan menghampiri dengan langkah santai.

"Ya, kami sudah selesai dan akan pulang." Margaret menjawab.

"Kenapa kau ada di sini?" Ronald langsung bertanya. Dia merasa tak nyaman dengan keberadaan Morgan di antara mereka.

"Tentu saja untuk menjemput adikku," pungkas Morgan menunjukkan ekspresi ramah yang dibuat-buat.

"Kau harusnya tidak perlu repot-repot. Aku bisa mengantarnya pulang sampai tujuan," sela Ronald.

"Apa yang salah dari tindakanku? Aku kakaknya, lebih berhak atas dia daripada dirimu. Sadarilah posisimu," tekan Morgan dingin. "Ayo kita pulang." Dia gandeng tangan Margaret, pergi meninggalkan Ronald yang tidak berdaya untuk menahan.

Tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar. Ronald membaca pesan singkat dari Jessica.

[Bisakah kita bertemu sekarang?]

***

"Sudah berakhir. Hubungan kami sudah berakhir!" Jessica meracau, memegangi dahinya dan kepalanya tertunduk dalam.

Gadis itu dan Ronald sedang berada di bar. Duduk berhadapan di meja bundar dengan sebotol miras.

Penampilan Jessica kacau. Itu mengejutkan Ronald saat datang ke sini sesuai permintaan Jessica. Lebih kagetnya lagi, setelah mendengar Jessica bercerita tentang hubungannya dengan Morgan.

"Kalian sudah putus. Lalu apakah taruhan itu masih berlaku?" tanya Ronald, nadanya mengharapkan. Langsung mendapat delikan tajam Jessica dari balik poninya. Jessica berdecak.

"Temanmu sedang stress. Harusnya kau hibur, bukan kau tuntut!" kesal Jessica, lalu menuangkan botol miras itu ke gelas kaca dengan wajah cemberut. Dia minum cairan panas ke tenggorokannya.

"Ngomong-ngomong Jessica, kenapa kau boleh minum miras sedangkan usia kita belum mencapai syarat. Harusnya pelayan di sini tidak membolehkanmu memesan minuman keras," komentar Ronald sejak awal kebingungan.

"Tenang saja. Bar ini milik ibuku. Ibuku juga tidak melarangku untuk minum miras asalkan tidak di rumah," kata Jessica menjelaskan.

"Wow, aku baru tahu itu." Ronald terkesan. "Jadi, bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"

Taruhan itu diucapkan Jessica atas ide gilanya sendiri, siapa sangka kini menjadi boomerang untuk dirinya. Bahwa mereka bertaruh untuk siapa yang lebih dulu di antara mereka yang berhasil tidur dengan pasangan masing-masing.

Oleh sebab itu Jessica memberanikan diri menanyakan hal ini pada Morgan. Jessica berharap, bisa ngeseks dengan Morgan adalah potongan kebahagiaan yang belum dia dapatkan dalam asmara ini. Namun, tidak terbayangkan olehnya akan mendapat respon paling buruk dari Morgan. Tidak hanya dirinya ditolak untuk tidur bersama, tapi perasaannya telah lama tertolak tanpa disadari.

"Aku merasa hancur, Ronald. Hancur!" Jessica menangis. "Aku akui gagal dalam taruhan itu. Tapi kau belum tentu berhasil melakukannya dengan Margaret. Jadi, jangan mengharapkan imbalan dariku sebelum kalian ngeseks," ucap Jessica, menatap serius pada Ronald.

"Bagaimana kalau kami sudah melakukannya?" tantang Ronald.

"Tunjukkan padaku bukti foto kalian bersama," jawab Jessica.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now