Bab 44 - Rencana Kuliah

220 24 7
                                    

Esok paginya Morgan dan Margaret melihat kedua orang tuanya saling diam. Raut wajah ibu mereka terlihat dingin nan masam. Selama sarapan bersama, tidak ada percakapan apapun selain keheningan.

Bahkan tidak satu pun dari orang tuanya yang menanyakan kabar anak-anak mereka. Sampai Morgan selesai dengan sarapan lebih dulu, lalu pamit pergi ke sekolah, disusul Margaret yang buru-buru meneguk air minumnya. Ayah juga, bergegas bangkit tapi pamit pada istrinya walau tidak dibalas.

Sementara mereka bertiga pergi, suasana rumah jadi sepi. Wanita baya berumur empat puluhan itu tidak bisa menghabiskan makanannya pagi ini. Napsu makannya hilang gara-gara pertengkaran dengan suaminya. Dia segera membereskan alat makan mereka di dapur, kemudian masuk ke kamar kedua anaknya dengan niat membersihkan.

Namun, tatapan matanya segera terpaku pada pemandangan yang menggelisahkan: dua ranjang terpisah itu, satu terlihat rapi tak terganggu, sementara yang lainnya berantakan seperti badai telah melanda.

Dia merasa janggal melihat perbedaan ini. Ranjang Morgan, putranya, terlihat seperti tidak pernah ditempati semalam, sedangkan ranjang adiknya, Margaret, terlihat kacau balau. Sebagai seorang ibu yang mengenal betul kebiasaan anak-anaknya, dia menyadari bahwa Morgan dan Margaret bukanlah tipe anak yang rajin merapikan tempat tidurnya.

Harusnya itu bukan hal yang perlu dicurigai karena bagaimana pun dia sudah sering melihat dua perbedaan ini dengan tanpa perasaan aneh. Tetapi entah mengapa hari ini hatinya merasa sangat khawatir, gelisah, seolah akan datang kabar buruk kepadanya.

Dia menggelengkan kepalanya, membuang pikiran negatif yang mungkin muncul karena perdebatan dengan suami, sehingga membuatnya menjadi lebih sensitif terhadap sesuatu yang bersifat emosional. Dia meyakini alasan ini.

Namun, dia semakin bingung ketika menemukan sebuah salep di bawah ranjang Margaret. "Salep apa ini?" gumamnya membolak-balik salep itu penasaran.

***

"Tidak bisa, kak!" bisik Margaret tegas. Rencana mereka untuk mengakhiri hubungan dengan pacar masing-masing harus ditunda dulu. Karena Margaret hampir lupa alasan penting.

"Ronald punya foto kita berdua. Jika aku putus darinya, dia mengancam akan menyebarkan foto itu di web sekolah!" Margaret memegangi kepalanya frustasi. Dia menjelaskan pada kakaknya tentang ancaman Ronald yang nyaris terlupakan.

"Ronald brengsek. Sekali brengsek tetap brengsek," geram Morgan. "Tidak ada cara lain. Kita biarkan hubungan pura-pura itu tetap berjalan, sambil berusaha mencuri foto itu darinya untuk dihapus sampai ke akar," usul Morgan menyalakan tekad.

"Morgan? Aku mencarimu ke kelas tidak ada. Ternyata di sini..." Jessica muncul dari balik punggung Margaret di mana mereka sedang berbicara di taman sekolah di bawah pohon rindang. Tatapan Jessica menatap bingung pada punggung gadis itu sebelum mengetahuinya sebagai Margaret. "...bersama Margaret," gumamnya.

Margaret tersenyum pada teman kelasnya. "Kenapa kau mencari kakakku?" Seketika dia teringat dengan perkataan Jessica kemarin siang yang dengan bangganya bercerita kalau pernah tidur bersama Morgan. Kebohongan Jessica mengubah rasa hormat Margaret padanya menjadi mengasihaninnya dibalik sorot mata yang menatap.

"Aku ingin makan siang bersamanya. Apa kau sudah makan siang?" Sahut Margaret dengan nada yang ramah seperti biasa.

"Tidak, belum. Bagaimana kalau kita bertiga makan siang bersama?" Margaret menyarankan dengan ekspresi ceria.

Namun saran tersebut tidak disukai Jessica karena niatnya hanya ingin berduaan dengan Morgan. Tapi kemudian dia langsung menyetujui ucapan Margaret meski harus menyunggingkan senyum palsu. "Itu ide bagus. Ayo kita makan siang bersama," pungkas Jessica setengah hati.

"Kalian mau kemana? Apa aku boleh ikut?" Tiba-tiba Ronald datang saat mereka akan pergi.

Di kantin sekolah, mereka duduk bersama di meja yang sama. Jessica sengaja duduk berhadapan dengan Morgan agar bisa dengan leluasa memperhatikan wajah lelaki itu. Di sisi Morgan, Margaret juga duduk, berhadapan dengan Ronald.

"Persiapanmu untuk ujian semester yang tinggal menghitung hari bagaimana?" tanya Jessica pada Morgan.

"Tidak ada yang istimewa. Aku selalu konsisten dalam belajar setiap hari," jawab Morgan tanpa ragu.

"Kau sepertinya cukup tenang menghadapi ujian. Semua tampaknya mudah bagimu," sahut Ronald.

"Setelah lulus sekolah, kamu punya rencana mau ke mana?" Jessica menanyakan lagi.

"Mungkin akan kuliah di kampus yang menerimaku," jawab Morgan singkat.

"Tentu saja kampus-kampus bergengsi pasti akan tertarik padamu. Kamu punya banyak prestasi dan otak yang cerdas. Jadi, kampus mana yang sedang kamu incar?" Jessica menunjukkan rasa penasaran, sementara Margaret yang duduk di sebelah Morgan juga menunggu dengan antusias.

"Aku akan mengikuti ujian seleksi online di beberapa kampus besar yang ada di Inggris," ujar Morgan dengan tekad.

Jessica mengangguk. "Mengapa tidak mencoba ke luar negeri?" Pertanyaannya membuat Margaret, yang diam-diam merasa tegang, langsung tertarik. Baginya, berpikir tentang Morgan berkuliah di luar negeri membuat hatinya berdebar. Dia belum siap untuk berpisah dengan kakaknya.

"Aku masih harus mempertimbangkan banyak hal. Kuliah di luar negeri bukanlah keputusan yang mudah, terutama karena biayanya yang sangat mahal dan persaingan yang ketat untuk mendapatkan beasiswa dengan calon mahasiswa dari negara lain dan latar belakang pendidikan yang berbeda," jelas Morgan dengan penuh pertimbangan.

Margaret menoleh pada Morgan yang duduk di sebelahnya, matanya penuh dengan kesedihan yang sulit diungkapkan. Namun, Morgan, dengan naluri persaudaraan yang kuat, merasa seperti bisa merasakan apa yang dirasakan Margaret. Morgan meraih diam-diam tangan Margaret di bawah meja dan menggenggamnya erat, memberikan pengertian tanpa kata-kata.

Margaret merespons genggaman itu dengan merasa hangat, menyadari bahwa kakaknya memahami perasaannya. Bahwa sejujurnya Margaret belum siap untuk ditinggal jauh dari Morgan. Margaret tak mau membayangkan perpisahan mereka karena jarak. Dia remas tangan Morgan, menuntunya untuk memberi penjelasan lebih jelas lagi nanti.

Tanpa disadari oleh Jessica dan Ronald, mereka saling berpegangan tangan dengan erat, menunjukkan kedekatan dan dukungan yang tak terucapkan.

***

Sore yang sepi di sekolah setelah jam belajar berakhir sejam lalu. Dari ketinggian rooftop sekolah, pandangan Jessica menatap ke lapangan di bawah sana. Dia bersidekap sambil memikirkan sesuatu.

"Bagaimana hubunganmu dengan Morgan? Kudengar kalian semakin dekat," komentar Ronald muncul dari belakangnya.

"Seperti yang kau dengar dari orang-orang," sahut Jessica. Ronald tersenyum miring lalu melangkah maju ke sisi gadis itu.

"Apakah itu berarti kalian sudah sejauh itu sampai ke tempat tidur?" Ucapannya bernada agak mengejek tapi dia bertanya sedikit penasaran.

"Mungkin tidak..." Gumam Jessica. Seketika tatapannya menyendu. "Aku hanya membual tentang hal itu hanya untuk membuat mereka iri padaku," bisik Jessica, merasa sedih karena sadar diri telah berbohong.

"Oh ya ampun. Kau terdengar menyedihkan," ucap Ronald kasihan. Langsung dilirik tajam oleh Jessica yang tersinggung.

"Kau sendiri bagaimana dengan gadis pujaanmu itu? Sepertinya dia belum menerimamu dengan lapang dada," sungut Jessica agak kesal pada respon Ronald.

"Pelan-pelan saja. Dia tipe gadis yang harus dipancing secara lembut," jawab Ronald santai.

"Kau ini menggampangkan sekali. Sekali terlambat, baru tahu rasa," dengus Jessica.

"Terlambat karena apa? Toh hanya aku yang paling dekat di sisinya. Sejauh ini tidak ada lelaki lain yang mencoba mendekati gadis itu," kata Ronald.

Tiba-tiba Jessica memiliki ide. "Bagaimana kalau kita taruhan?"

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now