Bab 53

203 24 9
                                    


7 Tahun Kemudian.

Margaret memutar gagang pintu rumahnya dengan lembut. Udara petang yang sejuk menyapa kulitnya saat dia melangkah masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku pulang!"

Di ruang tamu, ibunya duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya ke bantal-bantal empuk. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini terlihat lelah, kerutan-kerutan kekhawatiran yang baru muncul. Matanya, yang dulunya bersinar penuh kegembiraan, kini redup oleh kesedihan yang terpendam.

"Margaret, kamu sudah pulang," suara ibunya terdengar rapuh, terbawa oleh angin senja yang menyusup ke dalam rumah mereka.

Margaret merasa hatinya tergetar melihat perubahan yang terjadi pada ibunya. Meskipun telah lima tahun sejak perceraian itu, luka yang dialami ibunya masih terasa segar. Kekecewaan dan kesedihan telah mengubahnya, merenggut semangatnya yang dulu begitu membara.

"Ya, ibu, aku pulang," jawab Margaret sambil mendekat, memeluk ibunya dengan lembut. Tangannya terasa rapuh di bahunya, mengingatkannya pada kenyataan bahwa waktu tidak pernah berhenti, bahkan untuk rasa sakit.

Ibu Margaret membalas pelukan itu dengan lemah, namun hangat. Ada kehangatan yang tersirat di dalamnya, meskipun hatinya terasa remuk oleh kesedihan yang mendalam.

Mereka berdua duduk bersama di sofa, "Aku membawakan makanan. Apa ibu sudah makan malam?" Margaret meletakkan bingkisan ke meja.

Ibunya menatap bingkisan tersebut dengan sorot mata yang lembut, tersirat kejutan dan terima kasih di dalamnya. "Terima kasih, sayang," gumamnya dengan suara serak.

"Aku akan memanaskan makanan ini untuk ibu," kata Margaret sambil beranjak pergi ke dapur.

Sambil menunggu makanan dipanaskan, ibu Margaret menatap putrinya dengan penuh kebanggaan namun juga kekhawatiran yang tersembunyi di balik raut wajahnya. Dia melihat betapa dewasa Margaret telah tumbuh, menghadapi kesulitan hidup tanpa keluarga yang utuh di sampingnya.

Kembali ke ruang tamu dengan piring yang sudah diisi dengan potongan ayam, Margaret menyuguhkan makanan tersebut ke meja depan ibunya. "Semoga ibu suka," ucapnya sambil tersenyum lembut.

Ibunya tersenyum kecil, seolah merasakan kehangatan dari gestur Margaret.

"Terima kasih, sayang. Kau selalu memperhatikan aku."

Sekarang Margaret terlihat sudah lebih dewasa secara penampilan. Setelah lulus sekolah, dia langsung kuliah di kotanya, namun memilih untuk tinggal di asrama selama empat tahun. Karena tidak mau mendengar percekcokan ayah dan ibu terus menerus saat itu, walau pada akhirnya mereka berpisah setahun kemudian. Selama itu terjadi, Margaret melaluinya sendirian tanpa kehadiran kakak yang jauh di Jerman, meneruskan S2 kuliah kedokterannya dan sampai hari ini Morgan belum pulang kampung.

Tiba-tiba ponsel ibu berdering. "Morgan menelpon," gumam ibu. "Ini panggilan video call." Kemudian ibu menjawab panggilan video itu. Terpampang wajah anak sulungnya di layar ponsel. Suara Morgan menyapa hangat pada ibu. Sementara Margaret terlihat asik dengan makanannya. Dia makan dengan lahap karena kelaparan setelah beraktivitas seharian di luar.

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now