Bab 59 - Galeri

125 22 6
                                    

Perhatian Morgan teralihkan ke kerumunan orang di gedung galeri. Morgan tak begitu menyukai seni tetapi melihat beberapa lukisan yang dipamerkan itu mengingatkannya pada Margaret. Sehingga tanpa sadar kakinya melangkah masuk dan berjalan perlahan sambil melihat-lihat pameran lukisan di dinding.

Di tengah banyaknya orang yang melihat, Morgan mendengar percakapan pengunjung lain yang berada di dekatnya.

"Lukisannya seakan-akan hidup. Kudengar dia pelukis baru."

"Apa dia seorang pria? Kuharap pria tampan."

"Tidak, dia seorang wanita cantik. Salah satu kolektor terkenal membeli lukisannya dengan harga mahal."

"Karya siapa yang kau sukai?"

"Belakangan ini aku sering memperhatikan karya pelukis muda itu. Namanya Margaret."

Morgan tertegun mendengar nama adik perempuannya disebut. Dia seolah melepas dahaga di tenggorokannya dan mendadak bersemangat untuk mengetahui lebih lanjut tentang obrolan orang di samping.

Morgan pun nimbung di tengah percakapan mereka. Dia menanyakan pendapat mereka tentang pelukis bernama Margaret. Morgan ingin memastikan apakah benar orang yang mereka bahas adalah adiknya atau justru orang lain dengan nama yang sama.

"Di mana kita bisa bertemu secara langsung dengan pelukis itu?" tanya Morgan. Perasaannya berdebar-debar membayangkan sosok adik perempuannya.

"Nanti malam akan ada acara. Para pelukis ternama diundang untuk melakukan wawancara di sini," kata salah satu orang itu.

Morgan merasa telah mendapat informasi yang menarik. Kemudian dia pergi dari tempat itu, masuk ke dalam mobilnya seraya memberi perintah pada bawahan melalui telepon. "Carikan identitas asli pelukis bernama Margaret." Setelah mengatakan itu, Morgan menjalankan mobilnya.

Morgan menyetir di jalan raya kota London yang ramai sambil terus membayangkan wajah Margaret. Dia semakin tidak sabar untuk bertemu dengan adik perempuannya.

Tidak lama kemudian layar di dashboard menampilkan data yang dikirimkan dari bawahannya barusan. Terlihat pesan masuk yang dapat Morgan baca sekilas, memberitahukan kalau permintaannya telah berhasil ditemukan.

Morgan mendial tombol di layar dashboard itu, membuka file dan seketika menampilkan curiculum vitae, lengkap dengan foto formal. Terpampang wajah Margaret di layar tersebut. Begitu mengetahui harapannya terwujud, bahwa dia tidak salah orang, Morgan semakin merasa senang luar biasa.

"Margaret, aku tahu kau menghindariku. Tapi kali ini aku tidak akan melepaskanmu," gumam Morgan penuh keyakinan.

***

Sejak siang itu Morgan tidak pulang ke apartemen. Bahkan apartemen itu bukan tempatnya untuk pulang meskipun dia sudah menikah. Tidak pula pulang ke rumah keluarga.

Melainkan menyewa kamar hotel untuk sekedar istirahat dan berbohong pada Jessica kalau dirinya lembur. Seperti saat ini di mana dia duduk di sofa kamar hotel sambil mencari tahu lebih detail tentang Margaret di internet.

Dapat dia simpulan kalau dalam beberapa bulan saja gadis itu telah mendapat perhatian media sejak lukisannya dibeli kolektor ternama dunia. Namanya langsung melejit dan menjadi perbincangan dalam sekumpulan pecinta lukisan di seluruh dunia.

Tiba-tiba layar ponselnya menyala, menunjukkan panggilan dari Jessica. Morgan menghela napas seolah fokusnya jadi terganggu oleh panggilan mendadak tersebut. Lantas dengan berat hati dia menjawab.

"Morgan, aku ke rumah sakit, tapi kata mereka kau sudah pulang duluan," kata Jessica.

Morgan tak ingin kebohongannya ketahuan, mencari alasan lain. "Aku memang tidak ada di rumah sakit. Tapi aku sedang bersama dengan para kolega. Jika tidak penting, jangan meneleponku." Morgan mengisyaratkan untuk menutup telepon.

"Oh, begitu. Baiklah. Jam berapa kau akan pulang?" tanya Jessica lagi.

"Aku tidak tahu. Kalau urusan di sini sudah selesai, aku akan pulang," jawab Morgan.

"Baiklah." Suara Jessica terdengar kecewa. Tapi kemudian sambungan telepon diputus segera.

Morgan menghempaskan ponsel itu ke sofa di samping. Dia kembali tertunduk menatap layar tablet di pangkuan. Sejenak mengecek jam tangan di pergelangan tangan, Morgan merasa harus bersiap-siap mulai sekarang. Acara akan dimulai dalam satu jam ke depan.

Morgan bergegas mengganti pakaiannya. Dia memakai pakaian serba hitam dengan mantel sewarna. Kemudian mengambil kunci mobil dan pergi keluar dari kamar hotel.

Jaraknya dari gedung hotel ke aula galeri tidak jauh. Sepuluh menit menggunakan mobil, Morgan tiba di lokasi. Terlihat orang-orang yang akan masuk harus melalui pemeriksaan di pintu masuk, dengan menunjukkan kartu khusus. Untungnya Morgan sudah menyiapkan hal itu.

Sehingga dia dapat dengan mudah lolos, masuk ke dalam gedung galeri yang ramai dengan para awak media dan pengunjung. Morgan berjalan melewati mereka dengan tenang, namun matanya melirik sekitar dengan gelisah. Berharap dapat menemukan Margaret secepat mungkin.

Beberapa orang sedang diwawancarai. Mereka dikerumuni seperti semut pada gula. Namun Morgan tahu tidak ada Margaret di antara kerumunan itu. Ketika langkahnya melewati sekelompok wartawan di sudut galeri, suara familiar terdengar di telinganya.

"Terima kasih atas pujiannya. Aku memang menyukai seni setelah beranjak dewasa."

Suara seorang wanita yang manis. Morgan mematung kaget. Dia langsung menoleh, tetapi para wartawan yang mengelilingi sesuatu membuat pandangan Morgan tidak bisa melihat siapa yang sedang diwawancarai mereka.

Akhirnya Morgan menyelinap di antara wartawan, hingga tatapannya terpaku pada wajah cantik di depan mata. Margaret. Benar, itu adalah adik perempuannya. Margaret!

Namun Margaret tidak menyadarinya. Dia tampak menikmati dirinya diwawancarai dengan beragam pertanyaan.

"Ada rumor yang mengatakan kalau lukisan anda terinspirasi dari seseorang yang istimewa. Apakah itu kekasih anda?"

"Apakah anda melukis berdasarkan perasaan atau pekerjaan?"

Margaret mulai tidak nyaman. "Maaf itu pertanyaan pribadi." Dia berjalan perlahan, diikuti beberapa wartawan yang terus melempar tanya.

"Apakah benar anda akan menikah? Dengan siapa anda menikah?"

Margaret hanya tersenyum. "Jangan menyebar gosip yang tidak benar. Aku permisi." Margaret segera kabur dari mereka. Padahal dia di sini hanya untuk bertemu dengan para pelukis lain, tapi rencana itu tampaknya harus ditunda karena keadaan begini. Selain itu, pelukis lain juga terlihat sangat sibuk meladeni wartawan.

Margaret memutuskan untuk pergi ke lorong galeri yang sepi. Bersandar pada dinding sambil menghela napas lega. Dia di tengah-tengah mereka seakan tidak bisa bernapas.

"Margaret."

Margaret tersentak karena kaget. Dia berpikir ada wartawan yang menyusulnya, tapi saat berbalik badan, betapa terkejutnya gadis itu melihat Morgan di depan mata. Margaret tak bereaksi selain hanya mematung menatap Morgan.

"Margaret..." Suara Morgan bergetar. Dia merasa terharu sampai ingin menangis. "Akhirnya, aku menemukanmu," kata Morgan penuh dengan rasa syukur yang tulus.




Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now