Bab 20 - Biaya

251 24 7
                                    

Esok paginya, Margaret dibangunkan Morgan agar tidak terlambat. Matanya yang masih mengantuk dipaksa terbuka. Dia menguap sambil meregangkan tubuhnya.

Tiba-tiba Morgan mengangkat dirinya ala princess, yang membuat Margaret seketika berpegangan pada lehernya. "Waktunya mandi," kata Morgan. Berjalan masuk ke kamar mandi lalu mendudukkan gadis itu di atas kloset.

"Aku akan mandi sendiri. Sepertinya kakiku sudah membaik dari sebelumnya. Jadi tidak masalah," kata Margaret. Dia masih malu jika harus dimandikan untuk kedua kali oleh sang kakak. Well, sebelumnya selalu berusaha mandi sendiri dengan hati-hati walau sedikit lama di kamar mandi. Cukup satu kali saja dimandikan Morgan pada hari itu. Margaret kapok.

"Ya, aku tahu. Kau kuat," sahut Morgan.

"Aku mau berendam." Margaret pindah ke dalam bathtub.

"Jangan lama-lama. Ingat waktu," ucap Morgan.

Margaret menutup tirai bathubnya, melepas pakaiannya satu persatu dan tangannya menyelinap keluar dari tirai untuk menaruh pakaian kotor itu ke lantai, termasuk dengan pakaian dalamnya.

Setelah beberapa saat berendam dengan tenang, Margaret mendengar suara gemericik air shower di sebelahnya. Margaret penasaran lantas mengintip. Dia menemukan punggung kakaknya sedang berdiri telanjang. Seketika Margaret merona, lalu menarik diri dan bersembunyi dibalik tirai.

"Kakak?" panggil Margaret.

"Hm?"

"Aku pikir kau sudah mandi duluan," ujar Margaret.

"Belum. Memangnya kenapa?"

"Kenapa kau mandi di saat aku masih di kamar mandi?" Margaret heran.

"Apa masalahnya?" tanya Morgan.

"Harusnya kita menggunakan kamar mandi ini secara bergantian," balas Margaret.

"Itu membuang waktu saja." Morgan acuh.

"Ya sudah, terserah."

Margaret kembali diam. Begitu pun dengan Morgan. Suasana kamar mandi hening kecuali air yang terus mengucur. Morgan bahkan berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suaranya, ketika sedang melakukan kegiatan rahasia. Ya, dia mengurut bagian bawahnya seperti biasa.

Kebetulan, Margaret iseng ingin mengecek apa yang sedang dilakukan kakaknya, apakah sudah selesai mandi atau belum. Dia mengintip sedikit dari balik tirai, tapi posisi Morgan yang memunggunginya, membuat Margaret tidak bisa melihat kegiatan lelaki itu.

Margaret terus memperhatikan. Semakin lama dilihat semakin Morgan terlihat mencurigakan. Hingga ia melihat sesuatu berwarna putih jatuh di bawah kaki lelaki itu. Mata Margaret berkedip-kedip dengan polos. Apa itu?

***

Tepat sore hari ini Margaret akhirnya bisa berjalan bebas tanpa perban dan kruk lagi. Kali ini dia keluar dari ruang dokter dengan wajah berseri-seri senang. Dia menunduk melihat kakinya. "Aku bisa berjalan!" Margaret senang sekali. Senyum cerianya menular di wajah Morgan. Lelaki itu mengusap kepala adiknya dengan sayang.

"Sekarang aku tidak akan digendongmu kemana-mana lagi." Selama ia harus berjalan menggunakan kruk, di sekolah maupun di rumah, tidak jarang digendong-gendong Morgan meski ia tidak menginginkan.

Terutama saat jam istirahat di sekolah, saat Morgan tiba-tiba menggendongnya karena takut Margaret terlambat masuk kelas, semua mata memandang ke arah mereka. Bahkan lelaki itu mengantarnya sampai ke bangku kelas, di mana aksinya tentu diperhatikan teman sekelas.

Tidak hanya itu, saat jam pelajaran olahraga di indoor, Margaret tidak bisa mengikuti olahraga dan hanya bisa menonton di pinggir lapangan. Padahal hari itu sedang penilaian, di mana nilainya akan masuk ke ujian semester nanti. Namun karena kakinya belum pulih, alhasil nilai Margaret kosong.

"Apa kau tidak suka aku gendong?"

"Tidak!" tegas Margaret cepat.

Mereka mengunjungi ruang rawat ibu. Margaret memandang wajah tidur ibunya. Sudah lama ia duduk di samping ranjang rawat sang ibu, berharap dan menunggu beliau bangun di depan matanya. Sampai akhirnya ia ketiduran dan bermimpi kembali ke masa kecil yang bahagia.

Sementara itu Morgan baru masuk setelah membeli makanan dari luar. Dia mendapati adiknya tertidur sambil memegang tangan lemah ibu. Lantas Morgan menghampirinya tanpa berniat membangunkan.

Lelaki itu menarik kursi lain dan duduk di samping Margaret. Tatapannya memandang wajah tidur itu dengan sorot mata lain. Tersirat kasih sayang tulus di mata Morgan selama menatap adiknya. Sebuah kasih sayang seorang pria kepada wanitanya.

Tidak lama lamunan Morgan buyar ketika seorang suster datang. Dia memberikan kertas tagihan yang diterima Morgan kemudian pergi lagi. Morgan membaca tagihan rumah sakit di tangannya, dan dia terdiam membeku.

***

"Ayah, apa kau punya uang untuk membayar biaya perawatan ibu?" tanya Morgan. Dia bicara empat mata dengan ayah di ruang kerja di rumah.

"Kau tidak perlu memikirkan hal itu. Fokus saja belajar dan masuk ke universitas terbaik," balas ayah sambil sibuk dengan laptopnya.

"Tapi biaya perawatan kita sudah menunggak satu bulan," desak Morgan khawatir. Sebab angkanya terbilang besar.

"Di sini tercatat yang sudah lunas itu perawatan diriku karena paling rendah biayanya. Sisanya tinggal kalian bertiga. Aku lihat biaya perawatan Margaret sudah tertutupi setengah lebih. Dan yang paling mahal adalah biaya perawatan ibu." Morgan menjelaskan. "Apa ayah sanggup?"

"Itu uang yang kecil bagi ayah---"

"Kalau uang kecil, kenapa ayah selalu pulang dalam keadaan mabuk dan belum melunasinya sampai detik ini?" potong Morgan. "Aku akan membantu keuangan keluarga. Setidaknya biaya sekolahku tidak akan membebani ayah."

"Bagaimana caramu?" sahut ayahnya bertanya.

"Aku mengikuti kompetisi akademik. Hadiahnya cukup untuk membayar biaya sekolahku selama satu tahun penuh," ujar Morgan yakin, kemudian keluar dari ruangan tersebut.

"Apa yang kalian bicarakan di dalam?" kepo Margaret seraya memakan kripik kentangnya di depan televisi.

"Hanya tentang sekolah." Morgan berlalu ke kamar. Margaret bangkit dan menyusulnya.

"Apa benar Devon saat ini jomblo?" tanya Margaret.

"Iya, sepertinya begitu," jawab Morgan. Dia mulai menyibukkan diri lagi dengan buku-buku.

"Maukah kau jodohkan aku dengan Devon?" Perkataan Margaret seketika menghentikan gerakan tangan Morgan saat membuka lembar halaman.

"Tidak!" ketus Morgan.

Margaret cemberut. "Kenapa? Aku ingin mengenal lebih dekat dengan Devon," bujuk gadis itu. Rasa sukanya pada Devon belum luntur. Terlebih setelah tahu kalau sekarang lelaki itu sudah tidak memiliki pacar. Semakin membuat Margaret senang dan merasa memiliki peluang untuk mendekatinya.

"Fokus saja pada pelajaranmu. Beberapa minggu lagi ujian, kan? Kalau kau dapat nilai buruk, aku akan memandikanmu selama satu bulan." Itu ancaman. Jelas. Margaret kaget tak menyangka kalimat semacam itu keluar dari mulut Morgan.

"Aku tidak mau!" seru Margaret dengan rona merah di pipi.

Morgan tak menyahut lagi. Dia tampak acuh dan hanya menatap serius ke buku pelajaran.

Margaret mengepalkan tangannya merasa sebal. Akhirnya, dia duduk di samping Morgan lalu membuka buku, memulai untuk belajar dengan keras.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now