Bab 22 - Menunggu

222 23 4
                                    

Ayah menatap Morgan dan Margaret dengan tatapan heran ketika keduanya saling diam di atas kasur. "Kalian sedang apa?" tanyanya.

"Membahas sesuatu, ayah," jawab Morgan, berdiri dengan anggun dan berakting seperti seorang aktor, menghampiri ayahnya di ambang pintu.

"Ada makanan apa di sana?" tanya Morgan, mencoba mengalihkan perhatian.

"Paket burger," jawab ayah.

"Aku mau," kata Morgan sambil menggiring ayahnya keluar dari kamar, berhasil menutup kecurigaan ayah pada mereka.

Saat mereka di meja ruang tengah, Margaret muncul untuk berpamitan pada ayah tanpa menatap Morgan. Ayah sempat menawarkan untuk diantar supir, tapi Margaret menolak. Dia ingin pergi mandiri.

Ketika ia mengecek jam tangannya dan menyadari hampir terlambat, Margaret segera menyetop taksi di pinggir jalan. Dia menyebutkan lokasi yang dituju pada supir, lalu mobil melaju mulus di jalan raya.

Sembari menunggu sampai di tempat tujuan, Margaret mengetikkan beberapa kata untuk dikirim pada Devon, agar lelaki itu tidak menunggu terlalu lama dan kedinginan di luar, terlebih hari ini suhu sedang minus.

Tidak sengaja pandangan Margaret melihat Devon di pinggir jalan, seketika ia meminta berhenti pada supir. Maka taksinya berhenti di pinggir trotoar jalan, dan dengan cepat Margaret menyerahkan beberapa lembar uang sebelum membuka pintu, keluar dari taksi dengan tergesa-gesa.

Dia sedikit berlari menuju Devon yang sedang berdiri, belum menyadari keberadaannya yang mendekat. "Devon!" panggil Margaret. Devon menoleh. "Apa kau sudah menunggu lama? Kenapa kau berdiri di luar? Aku sudah bilang padamu untuk menunggu di dalam saja," kata Margaret dengan serentetan kata bernada khawatir, sekaligus merasa tidak enak telah membuatnya menunggu.

"Aku tidak merasa dingin karena aku memakai sarung tangan dan mantel tebal," balas Devon.

"Ayo kita masuk." Margaret menggosok telapak tangannya. Mereka kemudian berjalan memasuki gedung perpustakaan besar kota.

***

Sekolah hampir tidak pernah sepi, bahkan di akhir pekan. Sebagian dari mereka datang karena mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Namun sebagian lain sedang sibuk-sibuknya bertempur dengan mengandalkan otak mereka, walau suasananya lebih lengang daripada saat jam pelajaran.

Ujian seleksi pertama dimulai, dengan diikuti peserta kimia dari tiga sekolah besar lain yang berdatangan ke sini. Dikumpulkan dalam satu kelas yang sama.

Suasana kelas itu hening dan wajah semua orang menatap serius ke layar komputer. Para peserta kompetisi kimia hari ini sedang mengikuti seleksi untuk lolos ke tingkat kota nanti. Meskipun mereka sesama teman, mereka tetap bersaing satu sama lain demi mendapatkan tiket emas.

Guru pengawas mengatakan bahwa dari delapan puluh peserta kompetisi kimia tahun ini, hanya menerima dua peserta dari masing-masing sekolah dengan nilai tertinggi yang boleh mengikuti ujian final bulan depan. Perhitungan nilai seleksi pun dilakukan secara terbuka dan otomatis, di mana layar tv di depan menampilkan nama para peserta bersama dengan angka poin yang terus berubah.

"Waktu telah berakhir! Angkat tangan kalian dari meja!" Guru memperingatkan tegas. Mereka semua patuh.

Semua mata tertuju pada layar di depan kelas, perasaan mereka tegang saat menunggu kalkulasi angka itu berhenti berputar. Tentu setiap dari mereka berharap lolos. Tetapi, ketika nama familiar muncul di urutan teratas, menempati nomor satu, mereka hanya bisa menarik napas pasrah.

"Morgan."

Lelaki itu kembali mendapatkan urutan pertama sebagai juara paralel khususnya di sekolah ini. Semua orang di sini sudah tahu track record Morgan, murid yang dua kali dapat medali emas olimpiade eksak selama dua tahun berturut-turut, hal tersebut membuat mereka merasa sulit untuk mengalahkannya.

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now