Bab 16 - Janji

300 29 2
                                    


"Kenapa kau ke sini?" tanya Margaret. Jarang-jarang kakaknya datang ke kelasnya saat jam istirahat.

"Memastikan kau baik-baik saja."

"Tapi aku memang baik-baik saja. Apa kau sudah makan?" Bel istirahat baru saja berbunyi lima menit lalu, itu berarti kakaknya dapat dipastikan langsung pergi ke kelasnya yang saling berseberangan.

"Aku kenyang hanya dengan melihatmu di sini." Selembut sutra tatapan Morgan pada Margaret saat ini. Tersirat kasih sayang tak terbatas dalam sorot mata sendu Morgan. Sebuah tatapan yang sangat mahal untuk ditunjukkan kepada orang lain, kecuali hanya dihadapan Margaret seorang.

"Apa kau tahu? Aku merasa sangat bersyukur melihatmu ada di depan mataku sejak kecelakaan itu terjadi. Aku pikir malam itu adalah akhir dari segalanya dalam hidupku." Morgan raih tangan kanan Margaret ke pipinya, menahan telapak tangan itu di sana sambil melanjutkan kalimatnya.

"Terima kasih sudah bertahan untuk tetap hidup. Kalau kau pergi, maka aku juga akan mengikutimu malam itu," kenang Morgan merasa haru, terdengar agak berlebihan dalam ucapan tersebut. Namun Margaret tidak menemukan candaan di mata hazel kakaknya.

Margaret tersentuh. Dia usap pipi kakaknya, dan Morgan menutup matanya dengan tenang, menikmati sentuhan itu seperti seekor kucing yang sedang disayang.

"Berjanjilah padaku, kau tidak boleh pergi meninggalkan aku, apapun alasannya," paksa Morgan dalam sekejap tatapannya berubah serius.

"Kakak." Sejenak Margaret ragu untuk menjawabnya. "Hidup dan mati hanya Tuhan yang menentukan. Apapun yang terjadi kau harus melanjutkan hidupmu seperti biasa," tutur Margaret.

"Tidak, berjanjilah," desak Morgan, ia genggam jemari kurus Margaret dengan erat. Sejak insiden yang hampir merenggut nyawa mereka, membuat Morgan merasa sangat takut akan kehilangan Margaret.

Itu pertama kalinya dalam hidup Morgan. Sehingga kini tekadnya sudah bulat. Bahwa sungguh, dia serius saat mengatakan akan menyusul gadis itu jika mati lebih dulu darinya. "Berjanjilah tetap hidup sampai aku mati duluan," kekeh Morgan, tak bercanda.

Margaret menarik napas dalam lalu membuat janji di antara mereka berdua. "Baiklah. Aku akan bertahan hidup sebisaku," pungkas gadis itu, cukup memuaskan hati Morgan yang merasa lega.

Seulas senyum pun terukir di bibir tipis Morgan, kemudian ia cium punggung tangan Margaret dengan segenap hatinya yang dipendam.

Pada saat itu juga, sepasang mata memergoki mereka. Jessica yang hendak masuk ke kelas seketika terhenti kaget. Dia memperhatikan interaksi manis pasangan saudara itu, lalu merasakan sesuatu yang janggal terhadap mereka, namun Jessica sendiri tidak mengerti dengan perasaan curiga ini.

Mengapa ia harus curiga pada kakak beradik itu? Jessica bingung. Yang jelas, setiap kali melihat mereka berdua, Jessica selalu merasa ada sesuatu yang salah di antara dua orang itu. Sebab, Margaret dan Morgan terlalu romantis seperti kekasih ketimbang saudara yang saling mengasihi.

Lua dan Ribella datang dengan tangan penuh bungkus makanan. Jessica tersadar dari lamunan, lalu mereka bertiga menghampiri meja Margaret, sedangkan Morgan segera pamit.

Beberapa makanan dihamparkan di meja Margaret. Mereka membeli banyak macam makanan dari minimarket sekolah, termasuk dengan minuman. Duduk mengelilingi gadis itu, mereka makan bersama sambil mengobrol.

***

Di rumah, Margaret berjalan dengan kruknya lalu duduk di sofa dan menekan remot televisi. Mencari channel yang menayangkan drama romantis setiap seminggu sekali di malam hari. Bahkan ia sudah siap dengan setoples isi stik biskuit sebagai teman menonton.

Sedangkan Morgan masih berkutat dengan bukunya di dalam kamar. Tapi tidak lama kegiatan ini membuatnya bosan, jika tidak melihat Margaret di sisinya. Lantas ia menutup bukunya, bangkit dan keluar dari kamar. Langkahnya ke arah sang adik yang serius memelototi layar televisi.

Morgan duduk tepat di samping gadis itu. "Kenapa tidak belajar?" tanyanya.

"Aku lelah belajar," jawab Margaret acuh, tanpa berpaling dari layar.

"Apa yang kau tonton?" tanya Morgan lagi.

"Drama romantis."

"Tentang apa?"

"Cinta terlarang." Margaret menelan kunyahannya, kemudian menambahkan jawaban. "Antara majikan dan pelayannya."

Morgan mengambil stik biskuit itu dari toples yang dipeluk adiknya, memakan camilan sambil menonton acara yang sama walau ia tidak mengikuti cerita drama itu dari episode pertama.

"Kasihan sekali mereka," celetuk Margaret. Adegan semakin panas karena konflik para tokoh, di mana female lead sedang diancam pistol di depan mata male lead. "Cinta mereka ditentang banyak pihak. Padahal cinta mereka tulus, tapi kenapa harus ada yang melarangnya?" celoteh Margaret sambil terus memakan camilannya.

"Kalau aku jadi wanita itu, aku sangat tersiksa sampai rasanya ingin mati jika memiliki perasaan seperti itu dan harus terjebak dengan cinta terlarang."

Komentar yang dikatakan gadis itu mungkin tidak memiliki arti, tetapi bagi Morgan justru seperti pukulan. Morgan merasakan kesedihan saat mendengarnya. Dia menoleh, menatap adiknya sendu dengan penuh makna dalam.

"Kalau begitu jangan pernah memiliki perasaan seperti itu," sahut Morgan. "Lebih baik bagi male lead saja yang menderita daripada wanitanya yang ikut menderita karena cinta terlarang mereka."

"Kenapa kau jadi sentimen?" Margaret menengok heran. "Tumben sekali bisa mengikuti drama romantis." Nadanya mencibir, lalu ia memasukkan stik biskuitnya lagi di mulut untuk ke sekian.

"Margaret," sebut Morgan.

"Hm?"

Morgan mengangkat kedua kaki Margaret ke atas pahanya, lalu menarik gadis itu duduk mendekat seperti bayi besar yang dipangku. Margaret melongo saja.

"Kau mau apa?" tanya Margaret.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now